Putih yang menyamar Hitam-Chapter 9




 Mahasiswa Baru

 

~Sesekali ia melirikku dengan tawa, sungguh itu membuatku salah tingkah. Untung saja aku tidak tersedak kala senyum manisnya meningkat~

***

Seperti dugaanku sebelumnya, sebuah bangku di universitas negeri datang menghampiri. Aku mengumpulkan rasa bangga yang tak terkira, tapi nyataku tak sesuai ekspetasi. Dunia kampus penuh keribetan yang mengikuti dan kami dipaksa untuk mandiri. Para dosen tidak terlalu ikut andil dalam memberikan pengumuman pada mahasiswa. Senior menjadi pemeran utama yang mengurus juniornya.

Aku tidak tahu bagaimana semua mahasiswa baru bisa mendapat informasi perkuliahan secara terperinci. Ada yang bilang sosial media dapat menjadi penolong yang baik, tapi aku tidak terlalu percaya perantara yang belum pasti kebenarannya. Beruntung, aku dibantu seorang senior yang berbadan tegap dan berpenampilan memikat. Saat ini tatapan melayang pada wajahnya yang sangat cakap dan aku harus memberinya pengakuan mutlak. Tipe lelaki yang akan menjadi incaran di masa kejomloan.

“Eh kau... cepat ikut aku!” pintahnya dengan berlagak. Aku menatapnya dengan ragu, lalu menunjuk diriku. “Iya Nestapa kau, cepat sini!” pintahnya sekali lagi dan aku sedikit redut karena namaku yang tidak diucapkan dengan tepat. Cukuplah cerita hidup ini yang menyedihkan, jangan sampai namaku ikutan.

Tanpa mau mendengar persetujuan, lelaki itu menarik tanganku secara paksa. Langkahnya yang cepat, membuat kaki lelah mengikuti gerakan sepatu coklat. Dia sangat berbeda dari saat pertama kami berjumpa. Sikapnya manis dan tidak berniat membuatku susah, malah segala bantuan persiapan ospek dikerahkannya.

Kita ngapain di sini Abangda?” Aku sedikit panik, karena dibawa ke ruang kelas yang sudah tidak berpenghuni.

Seketika saja jantungku menggebu-gebu serta tak mau lagi tertib. Semakin kencang hingga tidak ada yang bisa kurasakan selain detakan. Ia semakin mendekatiku dan wajah kami berada pada satu garis horizontal. Pikiranku sudah melayang entah ke mana, deru napasnya sangat terasa dan hampir saja ia membuatku kehilangan nyawa. Di tengah kalutnya pikiran, aku masih sempat menikmati semburan udara segar dari mulutnya. Aku kira itu aroma min dari permen karet.

“Catat kembali tulisan ini sampai satu buku penuh?” Mulutnya berbisik ke telinga dan seluruh kesadaranku kembali penuh. Sebuah pena dan buku kosong telah diletakkan di atas meja.

“APA....!?” Sungguh aku tidak melakukan salah, tapi mengapa aku mendapat hukuman? Ah tidak, ini sebuah tindakan keisengan. Apa maksudnya menulis kalimat Terima kasih Abangda Depo udah bantuin Adinda.’ berulang-ulang? Pekerjaan yang tidak masuk akal.

“Kerjakan atau kau tidak boleh pulang!” Dengan terpaksa aku mengalah, membatah pun akan percuma.

Ketampananan yang dimiliki langsung kuhapus dari penghargaan hati. Segera kutulis secepat mungkin, tidak peduli sejelek apa tulisan ini, setidaknya dia menemani hingga finis.

“Ayo sekarang kita pergi.” Bang Depo langsung menarik buku tipis yang sudah terisi semua. Lagi-lagi tangannya menggenggam dengan paksa.

“Pergi lagi? Menulis sebanyak itu membuat lelah, aku mau pulang, tolakku tak mau mendengarkan. Aku pun menarik undur tangan yang tercengkram hebat.

Aku mau mengajakmu makan mi ayam. Jika tidak punya uang, aku yang traktir, sahutnya dengan bangga dan itu berhasil membuatku terperangah. Perangkap apa lagi yang akan membuatku terjebak?

Senior menyebalkan itu menganggap remeh gadis ini. Apa tampangku seperti gelandangan yang tidak punya uang untuk sekadar membeli mi ayam? Setidaknya untuk mentraktir senior tengil itu aku masih punya uang. Sembari memaksa detik cepat berputar, aku terus merasa tidak semangat. Aku dipersilahkan menaiki sepeda motor merek Mio yang tidak sesuai dengan tampangnya. Laju motor itu masih di batas wajar, namun jarak warung kecil itu memang dekat dan kami pun sampai dengan cepat.

“Dunia kampus itu rumit. Kau enggak boleh percaya sama semua orang di sekitar. Semuanya penipu ulung, tapi ada pengecualian untukku, ujarnya ketika pantat menduduki tempat di warung pengap, karena banyaknya mahasiswa yang menimbulkan sesak. Sepertinya, bisnis ini cukup laris.

“Diskriminasi yang merepotkan, pembodohan yang terang-terangan!” omelku sembari menyilangkan ke dua tangan. Namun, Bang Depo hanya tersenyum karena telah berhasil membuatku dongkol tak karuan.

Pelayanan di sini cukup memuaskan, menu yang kami pesan cepat diantarkan. Dalam diam kami menikmati apa yang tersajikan. Sesekali Bang Depo melirikku dengan tawa, sungguh ia membuatku salah tingkah. Untung saja aku tidak tersedak kala senyum manisnya meningkat.

Setelah menerima traktiran Bang Depo, aku segera menunggu jemputan Raka. Mungkin akan sedikit lama karena aku menghubunginya setelah selesai makan. Jika dipikir-pikir lagi, mie ayamnya memang sangat lezat, lain kali lidah akan rindu untuk singgah.

*

Selama perjalanan aku lebih memilih tertidur di boncengan. Pelukan kukaitkan untuk mengantisipasi badan agar tidak terhempas ke jalan. Tidak ada yang ingin kuceritakan untuk sementara, sebab lelah sudah tidak terkira. Raka pun mengerti bahwa aku membutuhkan waktu banyak untuk terlelap. Setelah sampai rumah tubuh lelah ini segera terbaring tanpa membersihkan apapun. Dengan sigap kedua tangan langsung meraih boneka beruang dari Raka. Pikiran seketika melambung melintasi angan malam.

“Sejak kapan anak gadis yang satu ini jadi penjorok?”

Habis badan aku semua rasanya remuk, kegiatan ospeknya benar-benar buat aku capek. Belum lagi senior gila yang ngerjain aku habis-habisan. Awalnya sih bantuin, sampai aku pikir dia berjiwa malaikat, eh ternyata titisan iblis bejat, dengusku membuat pengaduan.

Husttt... sembarang aja kalau ngomong! Mungkin dia suka sama Nesta, jadi dia cari-cari perhatian aja. Mending terima dia, daripada kau nyangkut terus sama pacar orang!?

Apa yang mau diterima dia nyatain aja enggak?”

“Emansipasi wanita. Tidak ada salahnya kalau Nesta duluan yang ungkapkan, gurau Bibi untuk memecahkan keseriusan. Ia berlalu setelah mendaratkan kecupan pada kening yang sudah kehilangan warna aslinya. Terik siang saat ospek tadi, mengubah warna kulit dengan singkat.

Jika suatu hari aku menyukai lelaki itu apa yang harus kulakukan? Menyatakannya pertama kali seperti saran Bibi? Ahhhh.... untuk apa memikirkannya? Aku tidak akan pernah jatuh cinta dengan dia yang membuat hariku penat. Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku hanya mengganti pakaianku dengan sebuah piyama, tidak ada niatan untuk membasuh wajah. Aku segera istirahat agar energi baru bisa terkumpul. Besok stamina akan sangat dibutuhkan untuk menghadapi keisengan.


LANJUT BAGIAN 10

Komentar

  1. Dan perasaan Lia semakin sulit untuk dimengerti.........
    Dan sejenak ku berpikir apa gunanya "jatuh cinta"?

    BalasHapus
  2. begitulah cinta sulit dimengerti, bahkan sekalipun kau telah bersusah paya memahami, itu tetap saja sulit. Jatuh cinta berguna untuk menjadikanmu dewasa. terutama menemukan jati diri. jika dia menyakitimu, apakah kamu masih orang yang sama?

    BalasHapus
  3. Wah apa aku harus merasakan jatuh cinta? Jadi penasaran aku

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)