AKHIR YANG BERBEDA
By : Senna Simbolon
“Hah!? Iya kenapa?” tanyaku berulang
saat telinga menangkap jelas panggilan yang sudah lama tak kudengar. Hatiku
bergetar seakan ada yang belum usai, padahal berjam-jam yang lalu semua tampak
baik dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku masih belum percaya apa yang
keluar dari mulut manisnya.
“Aku bilang kita naik ke
lantai dua!” teriaknya sedikit kencang.
“Ah iya, maaf!” Aku mendesir kikuk,
sembari menaiki escalator secara perlahan.
Ternyata telingaku sedang
bermasalah, ia sama sekali tidak menggunakan panggilan sayang itu lagi. Aku
harus sadar, semua telah berubah, ceritanya sudah usai sejak tiga bulan lalu. Adegan
aku yang masih tertinggal di belakang, kugunakan untuk memukul-mukul kepala,
aku berharap dia tidak menyadari kesalahan yang kulakukan barusan. Tolol
sekali! Meski ia telah mengulang kata ‘naik’ sebanyak empat kali, indra
pendengarku masih lebih senang memanipulasinya ke kata yang paling kurindukan
sejak lama.
Sepanjang sore itu, aku diam-diam
mencuri pandang dan menatap wajahnya dengan begitu lekat. Ia masih sama menyebalkannya,
ia masih sama pola pikirnya, ia masih sama tampannya, ia masih sama
totalitasnya, yang berbeda hanya, dia bukan milikku lagi seperti dahulu kala. Sementara
ia sibuk berkomunikasi, aku sibuk dengan pikiranku yang berkecamuk dengan momen
empat tahun lalu.
Hari itu matahari telah dijemput
pulang dan digantikan bulan yang terang benderang. Cahayanya menyinari sepasang
manusia yang masih merasakan debar tak karuan di dada.
“Emangya begini saja tidak cukup
ya!?” tanyanya lembut tanpa maksud.
“Tidak! Ini sama sekali tidak
cukup. Aku mau sesuatu yang pasti. Semua jenis hubungan memiliki batasannya
tersendiri. Seorang teman jauh tidak akan mungkin kuajak bercengkrama akrab di
taman, seorang sahabat tidak mungkin kuperlakukan seperti pasangan, jadi jelas
saja, kamu ingin aku perlakukan bagaimana!?” balasku tegas.
Aku sama sekali tidak
memberitahunya bahwa alasanku ingin diperjelas adalah takut melakukan kesalahan
yang sama. Hubungan sebelumnya hanya berjalan oleh janji manis yang tak sudah.
Semua berjalan sampai akhirnya aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menjadi
pengemis di antara kilaunya ucapan buaya. Hubungan tanpa status itu jauh lebih
rumit dari masalah apapun yang pernah kutemui. Ingin marah tapi tidak punya kuasa,
memilih diam malah menyiksa luar biasa. Demi Tuhan, kali ini tidak akan kubiarkan
terulang lagi.
“Kamu benar, ayo kita perjelas hubungan
kita!” ucapnya setelah merenung beberapa detik.
Itu adalah awal dari semuanya,
awal dia menjadi milikku, tanpa perlu ragu untuk cemburu.
*
“Oke, sekarang urusannya sudah
selesai, kamu bisa pulang sendirikan!? Aku akan pesankan ojek online
sampai stasiun.”
Tidak banyak kata yang
tersampaikan hari itu, aku berusaha menahan diri untuk tetap sadar dan tidak
kehilangan arah. Sebanyak apapun aku mencoba lebih lama bersama, semua akan
berakhir sia-sia.
Kereta melaju kencang dengan para
penumpang yang sibuk dengan urusannya masing-masing di dalam. Aku duduk
bersebelahan dengan seorang lelaki yang mungkin umurnya tidak terpaut jauh
dariku. Kuabaikan ia, dan memilih memeluk erat ransel hitam di tangan. Telinga
sebelah kanan mengheningkan lagu-lagu bernuansa kelabu. Aku ikut sibuk dengan
pemikiranku sendiri, ini tentu takkan ada habisnya.
Aku bertanya-tanya sendiri di kepala,
jika bertahun-tahun lalu aku setuju dengan tawarannya, apakah akhir dari
kami akan berbeda? Jika aku tidak takut jatuh ke luka yang sama, apakah kami
masih bersama? Apakah hari ini harusnya aku masih menggenggam erat tangan lelaki itu,
meski dia bukan kekasihku? Atau sejak lama kami telah menjadi asing tanpa harus
menunggu begitu lama untuk saling membanting?
Tiba-tiba pria di sebelah itu melontarkan
sebuah kalimat, “Apapun akhirnya, kamu telah mengusahakan yang terbaik. Jangan
bersusah hati dengan akhir ceritamu!”
Tanpa sempat aku bertanya dan
menyela, ia telah bangkit berdiri dan turun di salah satu stasiun yang tentu
saja bukan tujuanku. Aku memandanginya dari kaca yang sedikit buram diterpa malam.
Retina terus menatap hingga ia hilang dalam gelap.
Aku memilih jalan berbeda, demi
berharap akhir yang berbeda. Tapi ternyata aku masih saja di sana, di genangan
luka masa lalu yang tak pernah usai menghampiri. Aku kalah lagi oleh pesaing lain. Goresan pisau yang sama di bekas luka lama, rajaman kalimat pembela untuk mereka yang durjana.
"Gila ya, kamu jahat banget nggak mikirin perasaan orang! "
Andai mereka tahu kalimat itu tertancap begitu dalam. Mereka ingat perasaan si penganggu, padahal akulah yang hampir terbunuh.
Malam di Januari 2019 sama persis di Desember 2022. Aku hampir lalu, tapi dia sibuk dengan benalu.
Esok, awal seperti apa yang akan kupilih agar tidak berakhir nyeri!? Atau seharusnya aku tak usah memulai?
Yang kusesali, meski begitu terluka, aku masih saja jatuh cinta.
Komentar
Posting Komentar