PUDAR
By Senna Simbolon
Aku mengerutkan dahi ketika sebuah notif pesan WA
masuk ke ponselku. Perasaan bingung dan tanya mulai bergantian memasuki kepala.
Mengapa belakangan lelaki ini mulai sering memulai komunikasi denganku, selalu
ingin bertemu, dan bercandanya seperti kebiasaan para lelaki yang sedang
mencoba mendekati wanitanya. Bukan, aku bukan membencinya atau tidak menyukai
perlakuannya sekarang, hanya saja itu cukup aneh bagi kami yang sudah berstatus
sebagai mantan. Apalagi aku tahu betul dia sangat tidak suka kalau aku membahas
soal hubungan sebelumnya, ia akan berkata aku sangat suka hidup di
bayang-bayang masa lalu.
Setelah berpisah aku tahu bahwa kami masih saling
mencintai, namun untuk Kembali itu bukan pilihan yang terbaik saat ini. Sebelumnya
aku selalu menunjukkan padanya betapa aku sangat mencintai dan masih
menginginkannya, tapi sepertinya ia tidak menyukai hal itu. Lalu semua berubah
begitu saja.
Entah sejak kapan, aku mulai kehilangan semua minat yang
dulu bergejolak di dalam dadaku. Aku tidak lagi menulis, tidak lagi membaca
buku, tidak lagi mengekspresikan emosi, tidak lagi mengenali perasaan,
melupakan semua mimpi-mimpi dan tidak lagi hidup dalam harapan-harapan yang
dulu berkembang begitu pesat di dalam nuraniku. Hal yang tidak bisa aku terima
adalah, aku mulai kehilangan perasaanku untuk lelaki itu. Banyak orang akan
berkata itu adalah hal yang bagus, bagus untuk seseorang yang harusnya berada
di fase move on; tapi tidak untuk diriku.
Berpisah dengannya adalah keputusan yang telah kupikirkan beratus-ratus
atau mungkin ribuan kali setelah kejadian menyakitkan itu. Benar, aku butuh mencernanya
dengan baik untuk mengurangi sesal di kemudian hari dan terlebih penting, untuk
menjawab apakah rasa sakit yang kurasakan sepadan bila ditukar dengan
perpisahan. Lalu muncullah sebuah kegilaan yang sampai hari ini masih kulakukan
meski aku sudah tidak tahu lagi apa yang sebenarnya kuinginkan. Sejak berpisah
hingga hari ini, sungguh tidak pernah sehari pun terlewatkan tanpa
mendoakannya agar menjadi teman hidupku di kemudian hari. Selama lima bulan
ini, Tuhan telah kudesak untuk mengembalikannya padaku.
Aku dengan sengaja tidak membiarkan diriku melupakannya, tapi
ternyata waktu berkata lain. Hari itu ia datang berkunjung dengan membawakan
buah tangan seperti kebiasaannya ketika kami masih berhubungan. Aku menyiapkan
hidangan yang kumasak dengan sepenuh hati. Diam-diam aku selalu mencuri pandang
sambil mempertanyakan, “sungguhkah aku tidak lagi mencintainya?”.
Kusentuh
dada, ternyata sudah tidak ada getaran sama sekali. Aku kecewa dengan diriku
sendiri, dari banyak hal yang kusukai, mengapa aku juga harus kehilangan minat untuk mencintai
lelaki ini? Kupandangi lagi bunga kering pemberiannya, sama sekali tidak
membuat hati melunak; malah sebuah bisikan menyuruhku untuk membuangnya. Dengan
spontan kugelengkan kepala dengan cepat tanda tidak setuju.
Aku
pun berlalu dangan perasaan yang berangsur-angsur memudar. Untuk sementara
waktu kuanggap saja ini adalah keberuntungan. Bukankah semakin kecil cintanya,
semakin mustahil pula terlukanya?
Komentar
Posting Komentar