KAMU LAYAK DIRATUKAN
By Senna Simbolon
Suasana pagi di area pegunungan memberikan kesan
dingin yang menyejukkan sampai ke dalam jiwa. Pinggiran kolam berukuran 10x4
meter menjadi tempat duduk nyaman sambil memandangi alam yang sedang
cerah-cerahnya. Kedua kaki kumainkan di dalam air, wajah terangkat ke atas, dan
telapak tangan jadi tumpuan. Meski seluruh tubuh basah, tidak membuat aku
menggigil sama sekali, sinar matahari begitu hangat menyinari. Cukup lama aku
berdiam, sampai akhirnya dahi mengerut karena telinga menangkap suara langkah
kaki yang samar. Sinar matahari yang tadinya menghangatkan kulit wajah, terasa
mendung dan membuat aku spontan membuka mata. Sebuah handuk berwarna abu-abu kini
terbalut lembut pada tubuhku.
Lelaki itu tidak mengucapkan sepatah kata, dia berlalu
tanpa sempat kulihat ekpresi wajahnya. Suara enggan untuk menyapa, tapi aku
tahu apa yang dia maksudkan. Aku langsung berdiri dan menyusul secara perlahan.
Kedua tangan memegangi handuk yang sebenarnya cukup familiar. Kini warnanya
sedikit memudar, mungkin panas matahari terlalu sering menjemurnya. Itu kado
terakhir sebelum adanya kesepakatan. Air dari pakaian renang berwana hitam-biru
mulai menetes perlahan. Kaki melangkah kecil-kecil, tapi cukup cepat.
Ata membuka pintu villa yang berwarna putih, kususul
dari belakang sambil mengigil kecil. Beberapa pasang mata lainnya mulai menatap
kami curiga saat baru memasuki ruangan. Tidak kupedulikan, hanya berjalan ke
arah ransel, membawanya masuk ke kamar mandi guna membersihkan diri. Ekor mata
menangkap Ata yang sedang minum dari gelas bening. Sama seperti kebiasaannya.
Pintu tertutup, samar-samar kudengar sebuah
percakapan.
“Ada apa nih pagi-pagi udah romantis aja? Move on
oi move on!” seorang perempuan berceletuk nyaring.
“Udah, kita mau sarapan apa ini!?” tanya Ata menghindari
wawancara.
Shower menyala membasuh tubuh, kicauan di ruang tengah semakin samar
terdengar. Suara musik memasuki telinga dan otak. Semesta memutarnya dengan
sengaja untukku. Alunannya begitu lembut hingga membawaku jauh ke ingatan lama.
Di mana semuanya berawal.
Kala itu aku sedang jatuh cinta dengan manusia
tempramen yang keras kepala, dia juga begitu manipulatif, dan hampir
menggendalikan aku sepenuhnya. Entah bagaimana aku masih saja bertahan dengan
dia, untuk lepas bagaikan sebuah kemustahilan. Tanpa terduga, semesta malah mengirimkan
Ata untuk menyelamatkanku. Seperti kisah klasik lainnya, dia berjuang untuk
membuatku jatuh cinta. Dengan susah payah kuyakinkan pula Ata bahwa hati ini
sudah berpenghuni. Namun, kegigihan mampu meruntuhkan kerasnya hati. Dia
membantuku bebas dari ikatan masa lalu, dia memberi aku keberanian untuk
mengakhiri hubungan.
Aku ingat sekali, setahun setelah dia berjuang,
akhirnya aku sadar telah jatuh cinta lagi. Dia terlalu sempurna untuk dijadikan
sekadar teman.
Dia manusia yang mampu meyakinkan bahwa aku bisa,
bahwa aku wanita luar biasa, aku cantik, aku spesial, aku layak bahagia, aku
layak diperjuangkan, dan aku layak dicintai dengan ketulusan. Bagaimana tidak,
dia begitu ahli dalam memainkan kata saat aku mulai insecure, dia tidak
pernah lupa memuji betapa cantiknya aku, dia yang selalu menghiburku ketika
menangis, dia bilang aku begitu istimewa, aku diperlakukan dengan lembut,
pendapatku didengar, dan dengan aksi nyata dia buktikan perjuangannya.
Dulu aku pikir karakter aktor di FTV dan drama Korea
hanyalah ilusi, tapi bertemu dengan Ata membuatku sadar bahwa ada juga di dunia
nyata. Aku hanya harus menemukannya.
***
“Lia, kalian gak balikan kan!?” tanya seorang teman
yang ikut liburan kali ini. Dia sedikit berbisik sembari memperhatikan Ata yang
lagi sibuk di dapur villa.
“Enggak,” jawabku singkat. Aku acuh tak acuh
mengoleskan toner dan sunscreen ke wajah.
“Mana ada mantan liburan dan jalan-jalan bareng,” sewot
teman lelaki yang tadinya asyik bersenandung dengan gitarnya.
“Iya, aneh banget!” saut teman yang lainnya.
"Udah resiko satu circle," balasku.
Aku tinggalkan mereka di depan cermin dan memilih
mengeringkan rambut dengan hair dryer. Suara mesin yang berisik kugunakan
sebagai tanda menutup sesi introgasi.
Diperlakukan dengan spesial tidak menjamin hubungan
akan terus bertahan. Diperjuangkan mati-matian dengan mengorbankan banyak hal
juga tidak bisa dijadikan jaminan bahwa dia akan selalu begitu sampai akhir. Di
tahun kedua bersama, kami sepakat untuk jadi seorang teman. Tidak banyak yang
berubah, hanya cara kami berkomunikasi dan tanggung jawab yang dipikul sudah
tak sama lagi.
Apa rasanya? Tentu sakit yang hampir tidak tak tertahankan.
Namun, di atas luka yang meradang, kehilangan juga memberikanku pelajaran.
Tidak peduli di mana aku berada, dengan siapa aku bicara, bagaimana diriku; aku
tetap layak diperjuangkan, aku layak diratukan. Setidaknya sekali seumur hidup
aku sudah bertemu dengan manusia yang mengajariku untuk mencintai diri terlebih
dulu. Ke depan, tidak akan mudah bagi orang lain untuk menjatuhkanku, karena
kini aku tahu nilai diriku.
“Lia!” Ata menyodorkan segelas teh dengan ekspresi
datar.
“Lah iya, aneh banget! Kalian udah benaran mantankan?
Apa kalian masih sama-sama sayang!?” seru seorang teman yang dari awal tidak
bersuara.
Aku dan Ata tidak memberi jawaban. Serentak kami seruput
teh dari gelas, rasanya hambar, sesuai dengan kesukaanku. Dia masih saja ingat.
“Minum teh aja bisa kompakan gitu, ehem!”
Benar, aku masih mencintai Ata, bahkan setelah luka pun,
cinta ini malah makin bertambah. Hanya saja, kini aku tahu, tidak ada yang
lebih penting daripada menghargai diri sendiri. Kalau Tuhan menciptakan Ata
untukku, dia akan tetap jadi milikku. Tidak peduli seribu pencuri datang, Ata
akan kembali pada pelukku. Tidak peduli sekeras apa Ata berusaha menjauh,
ingatannya hanya akan penuh dengan aku. Begitulah Tuhan mendesain semesta ini,
yang harus terjadi akan tetap terjadi. Beberapa takdir memang sudah berlabelkan
harga mati.
Komentar
Posting Komentar