Kesaksian singkat I
Begantung pada kasih-Nya
Senna
Simbolon
Aku kurang menyukai pekerjaan yang Tuhan berikan, tapi
aku bersyukur dengan semua pengalaman, maka dengan sukacita tetap kukerjakan.
Di tengah sibuknya rutinitas harian, aku masih harus menyelesaikan naskah untuk
diikutkan perlombaan. Aku mengejar semua dengan mengerahkan tenaga ekstra,
belum lagi melawan rasa lelah ketika baru sampai di rumah bukanlah perkara
mudah. Sebelum tertidur mata tertuju pada Alkitabku yang sudah lusuh, sayang
sekali aku mulai mengabaikannya belakangan. Aku bekerja mati-matian hingga
larut malam, tapi waktu untuk Tuhan tidak kusediakan.
Pikirku, Tuhan akan mengerti posisi mimpi yang sedang ingin
diraih. Janji demi janji kuungkapkan pada Dia yang telah menuntun sampai titik
ini.
“Tuhan Yesus, setelah nanti tulisanku selesai, setelah
nanti aku udah mampu beradaptasi dengan kerjaanku yang ribet ini, aku janji
akan kembali luangin waktu untuk Tuhan, aku janji akan mengerjakan semua disiplin
rohaniku dengan baik. Aku akan menikmati lagi waktu mengobrol panjang dengan
Tuhan,” kataku setiap kali melewatkan kebersamaan dengan Dia.
Hingga suatu pagi aku mendapat pesan dan panggilan.
“Maaf, sepertinya Abang harus memberhentikan kamu, ini bukan salahmu, hanya
saja………….”
Aku menitikkan air mata dan tetap mendengar dengan baik
semua alasan yang diberikan. Semua rasa bersalah tertuju pada kedua orang tauku
yang telah berusaha memberikan segalanya. Semua hal yang mendukung pekerjaanku,
termasuk sebuah sepeda motor. Aku tak yakin mereka akan berkata ‘tidak
apa-apa’. Hampir sebulan aku menyembunyikan berita pemecatan itu, hingga uang
yang menipis memaksaku memberanikan diri.
“Tak apa-apa nakku, ini untuk mendewasakanmu. Jangan
diam-diam gini lagi, biar ada guna kami sebagai orang tua untukmu! Jangan
nangis, nggak ada anak Tuhan cengeng-cengeng! Nanti kalau uangmu habis bilang
ya,” sambut Ayahku dengan penghiburan dan aku malah terisak tak berkesudahan.
Naskah yang berniat kuikutkan lomba akhirnya selesai di
detik-detik terakhir. Aku tersenyum membaca tulisan ‘YESUS’ di dinding kamar.
Surat lamaran juga sudah kukirimkan pada berbagai perusahaan yang membuka
lowongan, saking banyaknya aku tak lagi ingat nama-nama perusahaannya. Aku
tidak memilih-milih pekerjaan, asal aku yakin mampu bekerja dan sesuai
kualifikasi, tapi tetap saja mendapat pekerjaan di kota Medan bukanlah sesuatu
yang mudah. Ada beberapa yang memanggilku interview,
tapi setelahnya tak ada lagi informasi lanjutan.
Biarpun begitu, aku tiba-tiba merasa sangat bersyukur
pada Tuhan. Kalau bukan karena seijin-Nya aku diberhentikan, mungkin naskahku
tak selesai untuk dilombakan; kalau bukan karena Dia yang melembutkan hati
kedua orang tuaku, mungkin aku sudah terkena ocehan. Semua berbalik dari apa
yang kutangiskan. Aku membuka Alkitabku, mulai mendisiplinkan diri dengan semua
jadwal pribadi dengan Tuhan. Saat teduh mulai terasa menyenangkan, penyembahan
yang kumulai serasa tak ingin dihentikan, aku berbicara dengan sangat gamblang
dengan Tuhan. Aku menikmati-Nya. Suasana yang sudah lama kutinggalkan, rasanya
seperti menemukan kembali napas kehidupan.
Satu buah panggilan menyuruhku untuk datang interview dan aku terpukau dengan
seorang Direktur yang turun tangan langsung menanyaiku, tutur kata yang sangat
lembut, sikap yang ramah dan bijaksana membuatku habis kata.
“Dulu juga saya memiliki karyawan keuangan yang tidak
mudah dalam menempuh pendidikan. Orangnya pekerja keras, tapi sekarang dia
sudah bekerja di perusahaan yang lebih besar. Kami masih sering bertukar kabar.
Oh ya, di sini kita tidak pandang agama, semua bagi saya sama. Seminggu lagi,
HRD saya akan menghubungi kandidat terpilih. Kalau pun nanti kamu yang
terpilih, semoga tempat ini adalah tempat terbaikmu, jikalau pun tidak, percaya
Tuhan sudah siapkan tempat terbaikmu. Semangat terus!” Direktur itu membuat
mata saya berkaca.
Kalimatnya mengingatkanku pada sosok Kristus yang selalu
berusaha ada meski saya berusaha menjauh. Rasa bersalahku semakin besar, selama
ini ada Ia yang kuabaikan. Tuhan memberi semua hal baik yang belum tentu orang
lain dapatkan, namun berkatNya kugunakan sebagai alasan untuk tidak saling
bermesraan. Betapa berdosanya aku pada Bapa. Aku pulang dan memohon ampun
dengan sungguh. Renungan pagi kubaca untuk mengisi hari dan seolah Tuhan
berbicara langsung dengan sebuat ayat:
Yohanes 16:24, “Sampai sekarang
kamu belum meminta sesuatu pun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima,
supaya penuhlah sukacitamu.”
“Tuhan, Engkau benar, setelah semua yang kudapat dari-Mu,
aku mulai mengandalkan diri sendiri. Aku tak lagi merasa perlu campur
tangan-Mu. Sekarang aku memohon dan meminta, bantu aku memulihkan hidupku,
bantu pulihkan hubungan kita yang sempat menjauh,” ucapku dengan tangisan.
Aku satu-satunya yang beragama Kristen saat interview, aku tidak mengerti apakah
kalimat Direktur itu tanda penolakan atau penerimaan. Sampai saat ini aku masih
menantikan jawaban. Namun, kali ini aku menunggu dengan keihklasan, aku
menunggu dengan penuh penyerahan. Apapun yang Tuhan pilihkan, pasti ada maksud baik
di dalamnya.
~Tuhan
sanggup memberimu semua dalam satu waktu yang sama, Ia pun sanggup mengambilnya
kembali dalam sekejap mata. Maka, tetap bergantunglah pada kasih-Nya agar
hidupmu tidak sengsara.~
Komentar
Posting Komentar