Putih yang menyamar hitam-Chapter1
~Aku
tidak ingin mendengar apapun untuk hiburan, terdiam
sambil berusaha mencinta adalah langkah mencari aman~
Barangkali aku sudah kehilangan senyumanku sejak
sepuluh tahun lalu. Barangkali juga saat itu aku telah kehilangan kebahagiaanku
sepenuhnya. Aku sangat tidak menyukai tempat ini. Sudah sangat lama tapi aku
tetap saja belum bisa menerima keadaan. Kepulan asap bisa menjadi lamunan yang
panjang saat aku menatapnya. Rintik hujan bisa menjadi nanar bening di mataku.
Terik siang bisa menjadi sayatan pisau pada perasaanku. Dan melihat daun yang
selalu gugur aku sangat senang, setidaknya ada makhluk lain yang sedang
menderita bersamaku.
Bukan hal sulit ketika harus mengabaikan hal di
sekitarku. Aku sungguh tidak menyukainya, mengapa harus repot-repot seolah
menyukainya? Aku bukan musuh dalam selimut yang tersenyum di depan lalu menusuk
dari belakang.
Akan kukatakan jika aku tidak menyukainya, menusuk
dari depan terasa lebih memuaskan. Aku bisa tertawa sepuasnya di hadapan musuh.
Tapi entah mengapa sampai saat ini aku tidak juga mengerti apakah tempat ini
musuh atau tidak. Walau terus dalam lamunan duka mengapa ia berbaik hati
merawatku? Akan lebih baik jika aku hanya berdiam diri seperti ini.
Tak apa jika perempuan sepertiku mulai terasa
menyedihkan, sudah sangat terbiasa dengan sepuluh tahun pengalaman yang
menyedihkan. Perempuan tua itu tidak pernah mencariku. Apa dia sangat ketakutan
dengan segala kesalahannya? Seharusnya ia bertanggung jawab atas tersiksanya
aku, tapi
kurasa dia telah
menghilang atau akukah yang telah menghilang dari hidupnya? Mungkinkah kami
saling melenyapkan diri sambil menghapus jejak kaki yang masih tersisa secuil? Sungguh tidak adil bagiku,
sedikit pun tidak adil; tapi bagaimana lagi selain menjalani saja?
Aku tidak ingin mendengar apapun untuk hiburan, terdiam sambil berusaha
mencinta adalah langkah mencari aman.
“Coba keluarkan sepeda motor itu dengan baik Nesta!” pinta lelaki
tua itu padaku.
“Keluarkan saja sendiri!” Kudorong
sepeda motor yang ada di tangan hingga membentur lantai dan menyisakan puing
semen yang tertekan.
“Nesta mau ke mana kau? Nest dengar Nest!” teriaknya dengan nada tak habis pikir.
Kualunkan langkah kaki secepat mungkin. Tangan
bergerak lincah meraih semua semak belukar yang menghalangi jalan. Hutan ini
masih menjadi pilihan saat hati mulai menyerah untuk mencinta. Tempat dimana
aku bisa mengumpulkan tenaga agar mampu memulai kembali. Kembali berusaha mencintai. Hanya
ditemani suara serangga sudah terasa cukup. Kaki yang sangat kotor tanpa alas,
tangan yang tergores oleh semak belukar juga rambut bermahkotakan dedaunan yang
menempel terasa sangat menyedihkan. Ingin menangis, tapi malah tawa yang muncul.
Mungkin air mata
tidak mampu lagi melukiskan situasi yang kualami. Tawa yang memilukan.
“Nesta dari mana aja?”
Tanpa menggubris pertanyaan perempuan yang ditakdirkan
untuk melahirkanku itu aku berjalan menuju dapur mencari sesuatu yang bisa
menghentikan teriakan di perut kosong ini. Aku memang sering melakukannya.
Berlari menuju hutan saat merasa lelah, lalu pulang dengan perut keroncongan
yang menyiksa dan
tetap tidak ingin menjawab
pertanyaan siapapun. Juga masih tanpa cinta.
“Aku mau pulang ke Medan,” sahutku sembari menyendok makanan.
“Bukannya masuk sekolah lima hari lagi? Kok cepat pulangnya?” tanya Mamah
sembari membantuku memuat sayuran ke piring.
“Ada kerjaan. Bilangin sama Papah Nesta harus pulang besok!”
“Nanti Mamah bilangin biar diantar ke terminal.” Rautnya
terlihat pasrah dan tak mampu lagi memberi tanya ataupun sanggah.
Aku sendiri merasa miris dengan
sikapku. Ia telah bertaruh nyawa untuk memberiku kesempatan singgah di dunia.
Kini ribuan kasih sayang coba ia susupi secara perlahan. Namun, yang kurasakan
hanya amarah, benci dan kepalan tangan yang sangat ingin meninju. Bahkan air
matanya tidak akan pernah menjadi luka untukku. Apa tindakanku salah?
Keadaanlah yang membentukku sedemikian rupa.
Klik link dibawah ini untuk lanjut ke chapter 2:
https://sastradankarya.blogspot.com/2018/08/putih-yang-menyamar-hitam-chapter-2.html
Bagusss,, 😘😘😊😊
BalasHapusChapter 2 nya kapan?
hehehehe makasih. ini lagi ditulis chapter 2 nya. tungguin ya. dan mohon dukungan komentarnya :)
HapusKalimat nya bagus,apalagi kata katanya..
BalasHapusDi tunggu chapter 2
heheheheh makasih banyak. mohon dukungannya terus ya, untuk chapter selanjutnya juga
HapusCeritanya seperti nyata banget��
BalasHapusAda satu kalimat nih yang aku suka"aku pikir menjadi pendiam adalah tanda kedewasaan"
Btw ditunggu chapter keduanya yah kak ☺
#salamprobaind
hehehehe makasih ruth eva. sng bgt dgn semua komentarnya. bantu share jg ya ruth. chapter 2 akan segera terjun
HapusBagus.suka bacanya����
BalasHapusDitunggu chapter 2 nya ya?? Semangat terus����
makasih estu. ehehehe nanti bantuan untuk chapter 2 nya jg ya. butuh dukungan nih
HapusBagus ceritanya,seakan nyata.
BalasHapusSepertinya cerita ini pengalaman pribadi ya hehe
Ditunggu cerita selanjutnya ya,
makasih melll.... iya crita slanjutnya nyusul ya. ini masih chapter 1 nya chapter 2 segera dtg
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusWaww menarik ceritanya,kisah nyata bagett tu ea
BalasHapusChapter 1 aja seru baget ceritanya,gimana lagi chapter ke 2 nya tu pasti lebihh ok, jadi penasarann baca yg ke 2 tuu
wkwkwkwk iya chapter 2 nya nyusul ya kakak kakak tercantik
HapusJujur aku malas membaca. Tapi ceritanya lumayan menarik
BalasHapuskomentar yang menyakitkan. kini aku mengerti mengapa jujur itu terasa menyakitkan
Hapusunch turang unch bgt
BalasHapushehehehehehe
HapusAndai keberuntungan mau berpihak secara adil mungkin akan sedikit melegakan. Ada seseorang yang mengatakan bulan dan bintang selalu hidup berdampingan. Saling berbagi cahaya untuk menerangi dan saling berbagi rasa untuk melengkapi. Bulan dan bintang memang selalu bersama setiap malam. Tapi dibelahan bumi lain matahari sedang berusaha menerangi dan berusaha sempurna walau sendiri. Jika matahari merasa sedih dan kesepian cahayanya akan sedikit lebih redup dari sebelumnya. Pernahkah bulan dan bintang berniat untuk menemui matahari atau sekedar menitipkan pesan semangat melalui angin yang berhembus? Kurasa tidak. Matahari akan selalu sendiri.
BalasHapus_mungkin satu hal yang tak pernah kita tau dan kita pahami, kalau bulan dan bintang sangat berniat untuk menemui matahari yang kesepian. Namun bulan dan bintang sudah tau dari awal kalau mereka tidak akan bisa saling menemui dan tegur sapa satu sama lain.
>ku suka itu
makasih :)
HapusKembangkan terus sena simbolon
BalasHapuskeren kok
Kembangkan terus sena simbolon
BalasHapuskeren kok
Makasih banyak bang anto hehehehe
BalasHapus