KISAH KESEKIAN KALINYA
by Senna Simbolon
Walau dengan gaun putih dan heels, aku tetap berlarian kecil di salah satu mall kota Bekasi. Sambil memasang anting yang berwarna senada, sesekali langkah dipercepat. Aku melihat jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul 18.30 menjelang malam. Aku sudah terlambat setengah jam, sungguh di luar kebiasaanku.Sebuah restoran bernuansa ungu mulai
kelihatan jelas, aku makin bersemangat meski remang-remang ikut menaungi
sekitar. Saat tepat di depan pintu, langkah kaki berhenti sejenak, tarikan napas
tanda persiapan kekuatan. Mata liar mulai menyusuri setiap sudut ruangan, aku
menemukan dirinya di sana.
Lelaki itu menggunakan kemeja putih casual. Jantung berdegub kencang, kali
ini tarikan napas terjadi tanpa diperintah. Senyum penantian mulai terlihat jelas
di sana. Kuhampiri sembari menggenggam erat tali tas yang terbuat dari
bulatan-bulatan besi kecil.
“Silahkan duduk!” ucap lelaki
berkulit sawo matang seraya mempersiapkan dudukan untukku yang masih berusaha
menahan getaran.
“Maaf aku terlambat,” balasku
sembari menempelkan bokong ke permukaan kursi.
“Itulah kenapa seharusnya kau tidak
menolak tawaran untuk dijemput. Tapi ya sudahlah, aku sudah pesankan mie ayam
katsu, teh tawar hangat, dan tentu saja tidak lupa, jus alpukat tanpa susu dan less sugar. Kau pasti sudah laparkan!?”
uliknya sembari terus memasang senyum, senyum yang tidak pernah berubah sejak
dulu.
Tanpa ada adegan lempar-lemparan,
dia langsung memimpin doa makan. Lalu kami mulai bersemangat memberi makan
cacing-cacing kelaparan di perut. Aku tidak menyangka dia masih ingat semua
tentangku secara detail, aku cukup terpukau dengan hal tersebut. Setelah
setahun berlalu, kami akhirnya kembali membuka komunikasi, ini adalah pertemuan
kedua setelah pertemuan canggung sebelumnya.
“Aku curiga kau menguntitku. Kenapa
ikut-ikutan pakai baju putih!?” Todongan kulempar untuk mencairkan suasana.
“Kau tahu tidak!? Terlalu kepedean
itu tidak selamanya bagus,” ledek Barata. Lalu ia memulai dengan nada serius. “Aku
tidak pernah percaya sebuah kebetulan, semua hal sudah ditakdirkan.”
Mantan kekasihku itu mengeluarkan
sebuah cincin tanpa kotak dari kantongnya. Jemariku ditarik tanpa ijin dan
dipasangkan lingkaran berwarna emas; Ukurannya benar-benar pas. Tidakkah dia
berniat menanyakan persetujuanku terlebih dulu? Aku masih mematung
memandangnya, tapi dia sudah beralih ke adegan lain, yaitu mengambil map berisi
kertas dari ransel hitam; sama sekali tidak berubah, ke mana-mana selalu dengan
ransel. Dia menandatangani sebuah bagian yang tampaknya tanda persetujuan.
Setelah selesai, dia menyodorkan kertas dan pulpen padaku; ia berharap aku
mengisi satu bagian persetujuan lain yang masih kosong. Kulirik sedikit tulisan
di sana dan aku kenal betul kalimat-kalimat itu.
“Ta…!?” Akhirnya pita suara mulai
bisa diajak kerjasama.
“Na!? Lihat aku!” Tangan hangat
terasa menggenggam jemariku. “Kau bilang, siapapun layak mendapat kesempatan
kedua asal orang itu serius dan mau menyanggupi aturan. Aku sanggup mewujudkan
keluarga April yang kau mimpikan itu!” Barata mengangkat tangan, lalu seorang
pelayanan mengantarkan buket bunga bernuansa biru muda. Dia begitu paham
berhadapan dengan siapa.
“Aku tidak begitu yakin,” ucapku
bingung dan menundukkan kepala. “Aku tak menyangka kau akan seserius ini
menanggapi ucapanku sebelumnya.” Aku menyeruput jus alpukat yang tinggal
setengah.
“Setahun udah cukup buat aku
merasakan konsekuensi dari kesalahanku. Aku sudah banyak belajar dari semua
yang terjadi. Aku tahu terlalu banyak menyakitimu, sekarang saatnya aku
membahagiakanmu. Rasanya sakit banget setelah kehilanganmu. Setiap hari aku
menyesal dan takut jika kau jatuh cinta dengan orang lain. Aku masih
mencintaimu, Na.”
“Aku memang sudah sembuh, tapi
bagaimana jika apa yang kau setujui suatu hari kau ingkari lagi!? Aku tidak mau
membuang waktu untuk hal sia-sia.”
Barata menarik tangan yang tadinya
menggenggamku hangat. Wajahnya layu dan berjalan ke arah luar restoran. Aku
tidak menghalangi, ingatan masih menyimpan semua kebiasaan dari dirinya. Ia
perlu pergi sejenak untuk menenangkan kepala. Mata memperhatikan detail
perhiasan, sangat cantik. Kuraba pelan sambil meyakini diri bahwa tidak akan
ada seorang wanita yang mampu menolaknya. Kalau saja setahun lalu dia tidak
begitu egois, mungkin saat ini kami masih saling memiliki. Anganku melayang
jauh, apa kabar wanita itu sekarang?
“Mama coba ngomong deh sama
orangnya!” Tanpa sadar, Barata sudah kembali dan menyodorkanku sebuah ponsel dalam
mode panggilan video.
“Na… apa kabar?”
“Ba-baik Tante,” jawabku terbata
sambil sesekali melirik anaknya yang kini pura-pura tak tahu apa-apa. Sialan,
aku dijebak! “Ta-tante apa kabar?”
“Tante tahu kalau anak Tante banyak
salah. Bara cerita sama Tante kenapa kalian bisa pisah. Maafin anak Tante ya,
dia memang ada bodoh-bodohnya sedikit. Setahun belakangan, banyak hal terjadi, dia
selalu telepon Tante untuk menceritakan tentangmu, bahkan dia sangat menjaga
jarak dengan perempuan lain. Batin Bara tersiksa, dia tidak bisa membohongi
dirinya, dia sangat mencintaimu.”
“Tapi Tan….”
“Na, Tante jaminannya! Tidak akan
ada pelanggaran lagi. Lagipula Tante sudah mengharapkanmu jadi mantu. Bisakan percaya
sama Tante kali ini!?”
“I-iya Tan bisa.”
“Yesssss!” teriak Bara spontan. Aku
menatapnya tajam.
“Ya udah kalian baik-baik, lain kali
kita lanjut ngobrol lagi. Calon mantu Tante makan yang banyak ya, Shalom.”
“Shalom Tante.” Panggilan berhenti.
“Nih!” Bara menyodorkan kembali
kertas persetujuan tadi.
“Curang banget sih!?” omelku
padanya.
“Kali ini akan kulakukan apapun
untuk mempertahankanmu di hidupku.”
Kusambar kertas dan pulpen yang
masih diarahkan padaku. Jujur aku masih mencintai mantanku ini. Jujur juga aku
setahun belakangan menantikan hal ini terjadi, tapi aku tak menyangka secepat
ini, dan dengan sepicik ini.
Seminggu lalu, aku memberikan buku
tulisan tangan tentang aturan hubungan. Namun, kini Bara mengetiknya rapi dan
memberikan kesan formal dengan tempelan materai. Aku selalu paham bahwa
baginya, perjuangan besar bukan masalah. Di hubungan sebelumnya, tiga tiket
pesawat dan bertukar karir bukanlah masalah. Tapi tetap saja semua sirna di
tahun keempat.
Lalu bagimana dengan kali ini?
Apakah perjuangan akan berhenti di suatu hari nanti!?
“Jangan khawatir! Kali ini hubungan
kita kubawa penuh di dalam Tuhan. Jadi, kali ini tidak akan apa-apa.” Bara
membaca aura keraguanku.
“Ingatlah Ta! Ada 3 hal yang tidak
akan bisa kumaafkan, pertama perselingkuhan, kedua kekerasan fisik maupun
verbal, ketiga, jika kau membuat aku jauh dari Tuhan atau sebaliknya, kita
harus berpisah untuk selamanya. Kali ini akan benar-benar kesempatan terakhir.
Sedikit saja melenceng, kupastikan seumur hidup kau takkan pernah melihat
diriku lagi.” Kuserahkan kertas yang sudah lengkap tanda tangan, ceringai Bara
terlihat jelas.
“Kasar kali anak gadis yang satu
ini,” keluh Bara sambil mengamankan kertas.
Demikianlah kisah lalu dibuka
kembali, dievaluasi, diurai, disepakati, dan ditulis ulang dengan pena dan buku
baru.
#cmd_April2024
Komentar
Posting Komentar