Putih yang menyamar Hitam-Chapter 6

Vacum of Love
~Aku sedang tidak
membutuhkan seorang kekasih, teman saja sudah cukup menginspirasi~
***
Setelah berhasil meninggalkan masa
SMA, status baru yang kami sandang adalah pengangguran senyampang; alias
pengangguran sementara. Sebagian
orang terlihat sibuk privat sebagai kuda-kuda menghadapi ujian masuk universitas,
beberapa orang lagi malah tenggelam menulis lamaran kerja secara bertukas-tukas.
Terlepas dari semua kegiatan yang
orang lakukan, aku hanya diam tanpa ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Sedikit membosankan memang,
tapi aku lebih menyukainya. Bukan tidak hirau atau berujud angkuh, namun sebuah
bisikan mengatakan kursi di universitas negeri telah dipersiapkan untukku. Lucunya, aku
percaya pada sugesti kalbu.
“Kalau tidak ikut privat, lebih baik pulang
kampung. Mereka pasti merindukanmu,” saran Bibi yang masih sibuk merapikan
kue tart sisa selamatan.
“Apa Bibi sedang mengusir kucing malang
ini?” godaku sembari mengganggu kegiatannya. Wanita berparas lembut itu
langsung meletakkan kue di atas meja, merogoh saku celana dan meraih sebuah
benda yang tidak terduga.
“Kalau ucapan Bibi membuatmu merasa
terusir, apa
kalung ini cukup
sebagai permohonan maaf?” Aku segera membalikkan tubuh sebagai tanda terima dan Bibi pun
mengaitkan hadiahnya pada leher yang tidak terlalu jenjang. Kini kalung
kupu-kupu berwarna perak telah sepakat untuk tersemat.
Tok…tok…tok…
Bukankah ini sudah cukup larut
untuk sebuah ketukan pintu? Aku tahu ini bukan jadwal Paman untuk pulang. Berani
sekali orang itu merebut quality time
kami! Semoga yang datang bukan pribadi yang mengecewakan. Moodku akan rusak karena telah terusik oleh hadirnya. Kukecup pipi
Bibi, lalu melangkah ke arah pintu utama. Aku mendapati seseorang yang cukup
berharga dan syukurlah aku tak jadi marah.
“Kau terlihat semakin tua, kerutan di
mana-mana. Apa
ini hari ulang tahunmu?” Raka menciptakan suara cempreng dan menyembunyikan wajah
di balik boneka beruang.
Aku segera meraih boneka berbulu
halus itu, lalu kudekap; warnanya coklat gelap. Aroma parfum menyeruak dan
memberi efek tentram yang enak. Ini adalah hadiah pertamaku dari seorang
lelaki. Sekalipun sudah sangat dekat dengan Farhan, kami hanya memberi
traktiran kala usia bertambah.
Sweet
seventeen tahun lalu, aku hanya mendapat hadiah dan perayaan kecil dari
keluargaku di Medan. Aku tidak suka acara besar-besaran yang hanya akan
menyulitkan. Kedua orang tuaku bahkan tidak pernah melayangkan sebuah ucapan.
Mungkin mereka lengah atau malah tidak
siap dengan pengabaianku; sayangnya aku tidak memerlukan penjelasan.
“Kau tuan rumah yang buruk, masa tamu
tidak dipersilahkan duduk!?” Lagi-lagi aku hanya mengulum senyum seraya
mempersilahkannya masuk. “Ehem… ehem…
kok tenggorokanku rasanya kering ya?” kodenya untuk menyuguhkan minuman.
Aku masih tidak mengeluarkan suara
apa-apa. Aku kehabisan kata. Kesan berbeda setelah umur berada di angka 18
tahun, sungguh membuatku tertawan. Kuletakkan pemberian Raka di atas salah satu
kursi yang masih tersisa. Aku beranjak ke kamar dan berbisik pada Bibi tentang
siapa yang datang. Ia hanya mengangguk seolah tidak perlu turut. Tujuan
terakhir adalah dapur tempat menyiapkan minuman hangat. Jam sudah menunjukkan
pukul 11 malam, jadi teh akan menjadi pilihan yang cermat.
Kusiapkan juga masakan Bibi yang masih
tersisa. Raka pasti belum makan. Ini adalah hari selasa dan ia pasti baru
pulang kerja. Meski sudah lelah, ia masih menyempatkan diri untuk singgah. Perempuan
lain akan sirik, sebab perhatiannya sangat memikat. Dalam seminggu Raka bekerja
selama lima hari, dari pukul 15.00 WIB-22.00 WIB. Sebelum kerja, Raka akan
kuliah dari pagi sampai siang. Bukankah lelaki ini sangat idaman? Pekerja berat,
namun tidak lupa menyisihkan waktu untuk sahabat.
“Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?”
“Aku sudah terbiasa, enggak usah kaku
gitulah. Lagian semenjak
dunia tercipta, aku
sudah menunggumu dengan cinta.” Tangan Raka dilipat pada dada.
“Sekarang jurusan teknik elektro
belajar hiperbola dan gombalan ya?” tanyaku seraya meletakkan nampan di atas
meja.
“Wih ngodein minum, malah dapat makan juga ya!” soraknya dengan
antusias. Perut yang keroncongan membuatnya lupa dengan pertanyaan.
“Nanti nggak kukasih makan, nangis-nangis kau kelaparan.” Raka cengengesan
dan segera menyantap makan malam.
Kulihat ia sangat lahap dan hampir
tidak mengunyah apa yang masuk ke mulut. Sedikit miris melihat tampilannya yang
lusuh karena belum sempat ganti baju. Mungkin tetesan keringat telah meresap ke
seluruh pakaian, tapi aroma tubuhnya masih saja menenangkan. Keringat laki-laki
memang memberikan kesan yang sulit terabaikan.
*
“Bagaimana dengan pacarmu? Sudah
baikan?” Seperti yang telah kukatakan pada Farhan sebelumnya, Raka sudah menjadi
milik perempuan lain. Aku tidak memiliki rasa untuk Raka, jadi sungguh hatiku
tidak apa-apa.
“Mana mungkin dia tidak memaafkan
laki-laki setampan ini. Emang akunya aja yang malas minta maaf, nanti
ujung-ujungnya malah berdebat,” ujar Raka setelah meletakkan gelas teh yang sudah
kosong.
“Namanya juga perempuan, wajar dong. Semua perempuan senang
diperjuangkan, jangan lupa itu!” sabdaku padanya.
“Termasuk kau?”
“Aku juga perempuan Raka,” tuturku
dengan santai.
“Maksudku... apa kau masih berharap
sesuatu dari Sata? Atau
seseorang telah menggantikan posisinya?” Raka mencondongkan badan ke depan. Aku tahu kini
ia sangat penasaran karena aku sudah tidak pernah lagi membahasnya sejak
perpisahan.
“Aku belum menemukan tempat untuk
berlabuh.” Kudekap boneka yang berada di kursi sebelah dan tatapan samarku menuju
angan.
Tentu dengan hati yang masih kosong
aku berlayar di tengah laut yang sedang tenang. Ombaknya sedang tidak kuat,
hanya mengalun lembut seolah menidurkan awak kapal. Jika terus seperti ini, akan lebih baik tanpa
pemilik. Biarkan saja cinta ini kosong tanpa ada yang menjadi tuan
atasnya. Aku sedang tidak membutuhkan
seorang kekasih, teman saja sudah cukup menginspirasi.
Aku suka setiap kosakata yang terbubuh di setiap kalimat ceritanya. Hal itu yang akan mengajarkanku untuk belajar menambah perbendaharaan kata biar bisa paham apa maksud dari setiap kosa kata yang dibubuhkan.
BalasHapusMembaca mungkin bukan hal yang berat namun niat ini semakin menjadi jadi untuk lebih banyak belajar lagi, apakah aku akan berhasil melakukannya? Akan kucoba. Percayalah aku pasti bisa melakukannya.
_terimakasih buat ceritanya kk Sena :)
kosa katanya semakin rumit
semangat belajar untuk setiap kosakata yang baru kamu ketahui ya.
BalasHapus