Putih yang menyamar Hitam-Chapter 7




Tenggat Cinta

~Semakin bertambahnya usia, kami kehilangan apa yang pernah dibangun bersama. Kami menjadi lebih kaku dari yang seharusnya~

***

              Singgah di tempat mereka. Aku mencoba peruntungan, atas misi yang sering kutunda. Kita tidak pernah tahu kapan sesuatu yang telah diupayakan meraih keberhasilan, untuk itu aku mau berusaha selama kesempatan masih ada. Bisa saja kita sukses pada percobaan yang pertama, kelima, ketujuh atau bahkan yang keseribu.

              Sebaiknya Nesta pilih jurusan yang prospek kerjanya bagus, jangan buang-buang waktu untuk hal yang tidak bisa menjamin masa depan. Papah dan Mamah akan bekerja keras untukmu, sapa Papah saat aku baru menyalami tangannya. Apakah ia tidak ingin sekedar basa-basi walau aku tidak menyukainya?

              “Nanti  kupikirkan, jika sempat.” Aku berlalu menuju kamar tidur.

              Kutatap semua sudut rumah tua itu, masih sama dan akan tetap sama. Bahkan perasaan yang berusaha kurubah menjadi cinta pun belum bisa. Kusimpan semua pakaian yang telah dibawa dalam sebuah kopor kecil. Tidak pernah ada niat meninggalkan sehelai baju di tempat ini. Jadi, kubawa pakaianku ketika akan berkunjung dan akan kembali kubereskan ketika pulang. Setiap malam aku selalu berdoa agar tidak pernah kembali, maupun bertemu mereka lagi.

*

              Nest, bisa ngajarin Chika belajar kan?” Mamah menghampiriku yang sedang sibuk berkutat pada layar ponsel.

              “Memangnya Alfan tidak bisa?” Kukunci layar ponselku. Tatapan Mamah mengharapkan aku tidak mengelak. Mungkin ia sedang berharap kami dapat akrab.

              Walau sedikit tidak yakin, aku tetap memutuskan untuk mengajari Chika. Dia adikku yang paling bungsu. Aku memiliki dua adik, Alfan dan Chika. Aku tidak berniat bohong soal tidak pandai mengajari, tapi sampai saat ini hanya Sata yang bisa kubuat mengerti. Sepertinya tidak ada bakat menjadi seorang pengajar.

              Chika Inawa, kelahirannya sungguh tidak terduga. Rentang umur kami mencapai tujuh tahun. Saat itu aku hanya bersikap biasa semata dan tidak terlalu acuh. Mencinta tiga sosok yang ada di rumah ini saja sungguh sangat sukar, lalu Chika datang menambah beban untukku belajar.

              Kuakui, ia sangat berbeda dengan aku dan Alfan. Kami tipikal anak yang lasak, tapi Chika lebih banyak diam. Ketika berbagai juara kami raih dengan mudah, rapor Chika malah penuh warna merah. Kami cukup mandiri, tapi Chika gadis kecil yang sangat manja. Entah mengapa ia berbeda dari kakak dan abangnya. Wajahku mirip dengan Papah, wajah Chika dan Alfan mirip Mamah. Tidak hanya rupa, aku juga diwarisi sikap keras kepala Papah.

              “Chika nggak mau belajar lagi! Capek! Ia melempar bukunya ke  lantai.

              “Ini tinggal sedikit lagi Chika. Kau pasti bisa, dukungku dengan semangat. Wajahnya merengut seakan tidak ingin lagi nurut.

              “Papah... Chika enggak mau belajar lagi! teriaknya pada pembela yang akan membawaku ke dalam masalah.

              Gadis kecil itu berlari mendapatkan Papah. Memang begitulah adanya, di antara kami bertiga hanya Chika yang tidak beruntung dalam dunia pendidikan. Walau tidak terlalu pintar, setidaknya aku dan Alfan selalu masuk peringkat sepuluh besar.

              Aku tidak pernah menyukainya, namun tidak pernah sedikit pun aku mengusik keberadaannya. Bahkan sepatah kata tidak sudi kukeluarkan baginya. Hal terburuk atas kehadiran Chika ialah aku jadi sering bertengkar dengan Papah. Dia menjadi salah satu pemicu aku gagal untuk mencintai keluarga. Bahkan pertengkaran hebat sudah dekat.

              “SUDAH... KALAU TIDAK NIAT NGAJARIN JANGAN DITERUSKAN! bentakan Papah kali ini, lebih kuat. Sungguh, dari awal aku sudah bisa menebak.

              “Apa Papah mau dia terus-terusan bodoh?” belaku atas situasi yang sudah tidak mendukung.

              “LEBIH BAIK BEGITU DARIPADA KAU MEMBUATNYA MENANGIS! Aku sungguh benci bentakan yang terus menikam.

              Emosinya meluap setiap kali mendengar Chika menangis. Di umur yang baru lewat setengah abad, suara lantangnya masih bisa membuat gertak. Sedangkan si pembuat masalah bersembunyi dibalik benteng kokoh, mungkin dalam hati ia sudah tertawa melihat kami yang teradu domba. Jemarinya menggenggam erat kaos Papah, aku memandangnya dengan tatapan hina, semoga ia puas dengan aksi yang membawa petaka. ‘Dasar anak manja!’ umpatku dalam dada.

              “Papah selalu memanjakannya. Papah memang orang tua yang payah, ejekku secara tiba-tiba.

              “SUDAH PAPAH KATAKAN, CHIKA MEMBAWA KEBERUNTUNGAN DALAM KELUARGA. TOLONG BERSIKAP LEBIH BAIK PADANYA.” Suaranya tetap meninggi, seolah tidak ingin mereda sedikit. Dengan sigap Mamah meraih Chika ke kamar.

              “LALU AKU? PEMBAWA SIAL DALAM HIDUP PAPAH!? SEKARANG TERSERAH PAPAH, JANGAN MEMINTAKU LAGI MENGAJARINYA!!” Kini emosi sulit dikendalikan. Pernyataan macam apa barusan? Sungguh orang tua ini sudah gila dan kehilangan akal. Aku pun tidak ingin kalah soal volume suara yang menggila.

              Tidak pernah aku menyangka bahwa kalimat itu akan menjadi duri. Seharusnya hatiku tidak perlu pedih, karena mereka bukan sosok yang berarti. Aku tidak suka dengan pertengkaran yang harus memaksa mulut beradu amarah.

              Sebenarnya Papah yang dulu kukenal sangat peduli dan penuh kasih, sayang ia akan berubah jadi macan kala Chika menderaikan air mata. Papah tidak akan segan-segan melayangkan umpatan pada orang yang menyebabkan gadis cilik itu menangis; tidak terkecuali Mamah. Sungguh anak bontot ini selalu mendapat apa yang diingininya.

              “BIAR SAJA BEGITU. INGAT! KAU BISA SEKOLAH KARENA ADA CHIKA!” Orang tua ini mulai mengada-ngada. Ia masih sangat percaya bahwa takhayul itu benar. Memang setelah ada Chika keadaan ekonomi kami memulih. Namun, itu tidak bisa dijadikan alasan yang pasti. Kalau begini jadinya, akan lebih baik kami tidak mendapat hadirnya.

              “PEMIKIRAN PAPAH SANGAT TOLOL! MEMANGNYA CHIKA YANG BEKERJA MENCARI UANG? MANJAKAN SAJA TERUS  SAMPAI SUATU HARI PAPAH DIINJAK-INJAK! Cih…, pekikku dengan sekuat tenaga.

              NESTA...! KAU SUDAH SANGAT KETERLALUAN.” Pertengkaran kali ini memang sangat sengit dari biasanya. Bukan berniat menjadi durhaka, tapi dibandingkan dengan anak tetangga saja sangat sakit; apalagi secara tidak langsung dianggap pembawa sial.

              Muka kami berdua merah padam dan ngos-ngosan karena suara yang hampir membelah langit-langit. Tidak ada yang mau mengalah, karena kami berdua memang sangat mirip dan buka tipe yang mudah menyerah. Papah memang keras kepala dan buah tak jatuh jauh dari pohonnya.

              “PAPAH YANG KETERLALUAN. SIKAP PAPAH YANG MERASA PALING BENAR, SELALU EGOIS. NESTA NYESAL JADI ANAK PAPAH.”

              Plakkk…!

              Sebuah tamparan mendarat dengan tepat.

              “Seharusnya kalian tidak merusak apa yang dulu kupunya,” lirihku seraya menahan genangan yang sudah berkaca-kaca. Andai saja aku masih bersama dia yang mampu memberiku semua. Namun, orang-orang ini telah menghancurkan segalanya.

              Tanpa berkomentar, Kubiarkan Alfan menjadi penengah. Ia menarikku menjauhi rumah. Tidak hanya pipi yang tertampar, tapi juga benciku ikut tersambar hingga menyisakan hambar.

              Mamah jarang angkat bicara saat aku dan Papah bertengkar. Perempuan itu akan selalu diam dan memilih cari aman atau sebenarnya ia sedang memihak pada suaminya. Entahlah...! Aku tidak peduli, lagipula aku tidak butuh dibela. Aku bisa menang dengan mengerahkan apa yang kubisa!

              “Alfan nggak mau keluarga kita jadi tontonan tetangga, lebih baik kakak di sini dulu sampai emosi kalian reda.” Ia berlalu dan meninggalkanku di ujung jalan, dekat hutan yang biasanya jadi tempatku melakukan pelarian.

              Sebenarnya semua tidak serumit saat ini. Delapan tahun lalu Chika belum lahir. Masih hanya aku dan Alfan yang menjadi anak di keluarga ini. Tanpa kusadari aku mulai mencintai keluarga ini. Papah selalu ada di pihakku, Mamah selalu membela Alfan. Kami sering tertawa dan bercanda. Rasanya sangat adil dengan pendukung yang pas. Kemudian Mamah mengandung Chika. Setelah dilahirkan, perhatian Papah mulai hilang dan aku merasa telah jadi kucing malang. Mata mereka hanya tertuju pada satu arah yaitu Chika.

              Lalu aku gagal lagi untuk mencintai mereka. Bahkan kebencian mulai tumbuh subur setiap harinya. Aku mulai tidak bisa mengontrol emosiku. Menyembunyikan amarah menjadi hal yang paling sulit. Luapannya telah memenuhi cangkir kesabaran. Akar pahit mulai merambat ke seluruh jiwa raga.

              Mereka tidak bisa disalahkan sama sekali. Tanggung jawab masih dilaksanakan dengan baik. Hanya saja, ada yang telah berubah dan aku dipaksa dewasa menghadapinya. Sikap kasar serta  acuh tak acuh dariku, tidak membuat mereka menghentikan tanggung jawab sebagai orang tua. Terlalu baik memang, tapi logika sungguh menolak perlakuan mereka. Aku ingin menjadi satu-satunya pusat perhatian, tapi di sini takkan bisa kudapatkan.

***

              “Kalau sudah sampai kabari. Kakak tahu tidak? Seorang gadis tidak boleh terlalu lama memendam amarah pada Papahnya? ucap Alfan ketika mengantarku ke terminal.

              Terima kasih,” dalihku singkat. Dulu, aku dan dia juga sangat akrab. Saling berbagi rasa untuk mencinta. Semakin bertambahnya usia, kami kehilangan apa yang pernah dibangun bersama. Kami menjadi lebih kaku dari yang seharusnya. Persis seperti yang pernah terjadi antara aku dan Sata.

              Kunikmati perjalanan pulang yang tidak terencana. Awalnya aku berniat tinggal lebih lama, tapi pertengkaran kemarin membuat aku merasa tidak nyaman di sana. Medan mungkin memiliki cerita untuk mencipta tawa.

Komentar

  1. Tentu saja. Semesta memang begitu adanya. Dari awal ia tidak akan bisa bertahan jika sendiri. Semua diciptakan untuk saling menemani. Semesta tidak bersifat individual. Jika malam tiba, matahari akan mengalah untuk menyembunyikan sinarnya sebab ia tahu bahwa sekarang bulan dan bintanglah yang harus berperan menerangi bumi.”

    _Bagaimana perasaan Lia yang sebenarnya tentang bang Yoga?

    BalasHapus
  2. apapun perasaan Lia, minumannya tetap teh botol sosro. heheheheh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)