MENTARI
Aku baru saja menuruni tangga untuk sampai ke lantai dasar kantor. Hari ini rasanya sangat lelah dan ingin sekali segera merebahkan tubuh. Helm segera kupasang begitu sampai di parkiran, kunci motor telah menancap pada tempatnya; tapi suara mungil mengalihkan perhatian.
“Oyen!
Oyen aku bawa makanan nih!” seru seorang gadis dengan riang.
“Meong…!” Entah dari mana kucing itu
muncul begitu saja, padahal tadi tidak terlihat sama sekali. Ia telah mengenali
suara pemanggil.
Mentari,
ya nama gadis itu Mentari. Ia karyawan baru di kantor, periang, ramah dan mudah
tersenyum. Perempuan asal Sumatra itu telah diajak berkeliling untuk
mengenalkan diri pada staff lain oleh Pak Detro, bagian HRD. Aku tidak mengerti mengapa semesta membawanya ke mari, sejauh
informasi perkenalan yang kudapat, ini kali pertama ia tinggal di pulau Jawa.
Helm
yang tadi telah terpakai, memilih untuk dibuka kembali. Aku duduk di tangga
kecil dekat parkiran, memperhatikan tingkah seorang manusia yang sedang berbagi
kasih. Aku hanya mendengar dari rekan lain, ia selalu menyisakan setengah bekalnya
untuk dibagikan. Tidak cukup sampai di situ, ia juga tidak akan malu meminta
sisa tulang ikan atau daging dari rekan lain sebagai tambahan.
Meski
selalu diberi makan oleh Mentari, kucing itu semakin terlihat kurus setiap
harinya. Mentari hanya mampu memberi makan sekali sehari. Dulu Oyen selalu
diperhatikan oleh Pak Jei karena beliau juga pecinta hewan, tapi beliau sedang
ada tugas di kota lain untuk setahun ke depan. Kini si bulu oranye hanya bisa
mengharapkan belas kasihan Mentari.
“Oyen
jangan dipilih-pilih, nanti mati baru tahu rasa,” celetuk Mentari dengan nada
lembut, namun dibumbui kata yang menusuk.
Betapa
kagetnya ketika telinga menangkap kalimat barusan, kejam sekali. Aku penasaran
mengapa ia selalu konsisten memberi makan Oyen, aku juga penasaran mengapa ia
tidak membawa kucing itu saja pulang bersamanya? Pak Satpam sudah sering sekali
mengajukan saran barusan (aku tidak sengaja mendengarnya beberapa kali), tapi
Mentari hanya menggeleng dan tersenyum.
Dengan
keberanian yang terkumpulkan, kaki melangkah untuk memuaskan rasa penasaran.
“Hai
Mentari, ngasih makan kucing lagi ya?” tanyaku basa-basi. Mentari membalas
dengan senyuman manis, gigi rapinya membuat ia semakin menawan. “Tidak mau
dibawa ke rumah saja?”
“Belum
punya rumah Pak, masih ngekos.”
“Ya
itu maksud saya! Kasihan dia, sudah mulai kurus dan dekil. Pak Jei akan kembali
tahun depan.”
“Tidak
usah deh.” Bola matanya menatap Oyen dengan kasih yang begitu dalam.
“Kenapa!?”
Hari ini jawaban harus kudapatkan. “Kamukan begitu suka sama si Oyen.”
“Cinta
hanya akan membawa kerumitan Pak.” Mendengar jawaban, kerutan di dahi muncul. Ia
mengerti dan sedikit menambah penjelasan. “Cinta tidak akan terlepas dari
kehilangan Pak Rey, dan kehilangan hanya akan menimbulkan kesakitan.”
“Sore
Pak Rey, tumben sekali ikut melihat si Oyen makan?” sapa seorang Satpam.
“Katanya
Pak Rey akan mengadopsi si Oyen Pak,” cengir Mentari merebut bagianku untuk
berbicara.
“Eh
tidak-tidak Pak, saya alergi bulu binatang,” Mentari memandangku curiga. “Hah,
saya tidak suka binatang.” Akhirnya aku jujur juga.
Aku
masih bingung kesimpulan dari jawaban Mentari tadi, tapi bila diteruskan, aku
takut dianggap terlalu ingin mengurusi kehidupan orang. Ia gadis yang menarik,
tapi mungkin ia memiliki trauma; barangkali itu adalah cinta terdalamnya. Aku hanya
khawatir, bahwa setelah ini Mentari akan membohongi perasaannya sendiri. Saat
ini saja sudah jelas terlihat ia begitu mencintai Oyen, tapi ia tidak mau
mengakuinya. Bahkan kucing itu dulu tidak bernama, kini satu kantor
memanggilnya Oyen; nama yang diberikan oleh Mentari, karyawan yang belum genap
sebulan bergabung di sini.
Gadis
ini penuh misteri dan luka pahit yang masih melekat tajam.

Komentar
Posting Komentar