NEGOSIASI DENGAN TUHAN

 


Tidak pernah terpikir untuk memulai pekerjaan yang tidak sesuai jurusan dan keahlian, bahkan ini bukan hobi atau mimpi yang masuk dalam daftar rencana. Awalnya hati menolak, tapi si penawar kerja datang terus untuk meyakinkan ini tidak akan terlalu mengikat, hanya perlu menjalankan yang ada di kontrak.

          Kak Hana menanyakan berulang-ulang, apakah keputusanku sudah bulat? Lalu dengan lembut penjelasan segala kemungkinan telah tersampaikan dan beliau akhirnya mendukung dengan berat hati. Aku tahu ia khawatir, lelaki itu baru saja memperkenalkan diri dan tidak ada informasi lebih.

          Hari demi hari telah berlalu, ini adalah bulan keempat aku menjadi seorang tenaga pengajar di bimbingan belajar milik personal. Menjalani sebuah pekerjaan yang tidak diimpikan menjadi kesulitan terbesar. Sebelum pergi bekerja menghela napas panjang, setelah pulang pun harus melakukan hal yang sama. Aku selalu percaya, seberat apapun rintangan, kalau itu hal yang disukai, semua akan baik-baik saja. Sekarang berjuang keras menjadi mengikis jati diri. Kemudian sebuah masalah datang dan menjadikan pikiran makin kelam.

“Pengen banget sih Kak, tapi orang tua enggak ngasih. Lagipula aku masih ada kontrak kerja sampai bulan enam.” Aku menolak tawaran dengan rasa menyesal.

          “Kakak hanya memberi solusi buat apa yang sedang kamu alami. Kakak takut masalah ini akan memberatkanmu di waktu mendatang.”

          Ingin berhenti, tapi sebuah coretan di materai menjadi bukti sebuah tanggung jawab. Namun, setelah dua minggu tawaran kerja kutolak, pemutusan hak kerja pun menghampiri. Mencari kerja di kota Medan bukanlah hal yang mudah, mencari setiap hari bukanlah jaminan diterima. Saingan di mana-mana, jurusan tidak sesuai, virus sedang melanda Indonesia dan semua hal semakin memberatkan. Puji Tuhan, aku bukan satu-satunya orang yang terluka karena berstatus pengangguran.

          Dengan beberapa sahabat, mencari lowongan bagai sedang acara reunian. Tertawa, menari bersama di taman, terpelongo melihat bill makan siang yang mahal, berlatih hingga larut malam, menjelajah sampai kaki belang,  saling menguatkan meski sebenarnya sama-sama suram, bahkan mendoakan agar tetap bertahan. Empat bulan berlalu tanpa hasil, akhirnya kaki benar-benar menyerah.

          “Kalau misalnya Kakak kasih, kamu yakin dikasih ijin!?”

         “Dikasih ataupun tidak, aku akan tetap pergi Kak. Kalau tidak ada ongkos, aku akan cari pinjaman. Capek minta duit bulanan mulu.”

          “Tapi Dik, ijin orang tua itu penting,” tegur Kak Hana dengan lembut.

          “Iya Kak, nanti minta ijin kok. Tapi kalau enggak dikasih juga, aku harus nekat,” kataku mantap.

          “Ya sudah, ini ada lowongan, coba kamu kirim surat lamaran dulu.”

          Tidak menunggu lama repons surat segera dibalaskan. Esok pagi harus interview online. Kak Hana tidak pernah memberitahu bahwa mereka adalah universitas milik orang Korea, tangan gemetar karena kemampuan bahasa Inggris yang hancur berantakan. Aku mengeluh dan mendapat tusukan.

          “Mau sampai kapan bahasa Inggrisnya kamu hindari!?” Kak Hana membuat aku tersadar, ia benar, zona nyaman harus berakhir.

          Sahabat menjadi pendukung terbaik, ia lulusan pendidikan bahasa Inggris dan siap membantu. Seharian berlatih tanpa mengenal henti dan lesu. Tidur tidak nyenyak karena waktu terasa cepat berlalu.

          Sinyal tidak begitu berpihak, beberapa laptop tidak mampu diajak kompromi, ponsel tidak mau ikut campur, yang sudah dipelajari keluar dari isi kepala. Tidak ada yang bisa diandalkan, napas panjang menjadi sebuah peyakinan tidak lagi bisa mengandalkan dukungan dan diri sendiri. PASRAH!

          Sekitar pukul sembilan malam aku mendapat email, tidak percaya diri membuat sahabat harus mengartikan pesan; aku diterima. Bagaimana bisa? Bukankah saat wawancara semua berantakan? Hambatan selanjutnya datang, persetujuan orang tua yang begitu merepotkan. Dimarahi, diceramahi, tidak dipercayai, semua kata-kata penolakan terdengar jelas dari telepon. Setelah perdebatan panjang dan masih dalam keadaan marah, akhirnya mereka akan mentrasferku uang jalan.

          Tak apa, yang penting sudah dikirimi uang. Lambat laun mereka juga akan menerima,” yakinku dalam hati.

          Inilah aku, di tempat yang menerima segala kekurangan dan sesuai dengan jurusan. Aku menggantikan seorang senior yang diharuskan kembali ke kota Medan.

          “Kak, ingat enggak enam bulan lalu nawarin aku kerjaan? Masih ingat di mana aja?” tanyaku pada Kak Hana.

          “Satu di STT Jakarta Dik, satunya lagi tempat kamu bekerja sekarang.”

          Aku terpelongo tak percaya. Tuhan telah merencanakan ini dari awal, senior sebelumnya hanya bekerja selama empat bulan. Tuhan telah memakainya untuk menjaga tempatku. Berulang kali aku bernegoisasi dengan Tuhan, tapi ternyata ditolak mentah-mentah. Bukan karena Ia tak sayang, karena rencana-Nya paling sempurna. Ada kesulitan, tapi detik itu juga dipermudah; banyak kekurangan, tapi detik itu juga Dia bilang tak apa-apa; banyak pertimbangan, tapi detik itu juga Dia tunjukan kuasa-Nya.

          Aku hanya seorang anak, yang kadang tidak mengerti maksud Bapa. Namun, kasih sayang-Nya begitu nyata hingga semua telah dipersiapkan dengan sangat sempurna. Kesempatan tidak datang dua kali, tapi kesempatan kedua selalu ada jika Ia mengkehendaki.

          Sekarang aku sadar, Ia tidak pernah main-main ketika memberiku sebuah tawaran. Ia selalu bersungguh-sungguh ketika mempersiapkan masa depan. Aku tidak lagi takut kehilangan sebuah pekerjaan, tidak lagi takut ketika harus mengalami jutaan penolakan; asal Kristus bersamaku, semua akan baik-baik saja. Kehilangan hanya akan membawaku pada sesuatu yang lebih besar, penolakan hanya akan menuntunku pada sesuatu yang lebih indah dan Tuhan tidak pernah salah menuliskan cerita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)