Juara Kedua-Senna Simbolon

“Di, kamu belum kasih jawaban apa-apa loh sama aku!”

“Soal apa?” tanya Hardi tanpa menoleh ke belakang, suaranya bercampur dengan angin malam.

Hardi terlalu fokus menghindari lubang-lubang yang terbentuk akibat rusaknya aspal jalanan. Setang motor dibelokkan memasuki sebuah daerah yang semakin familiar bagiku.

“Soal permintaanku di tempat makan tadi.”

Buku-buku jari mulai mengeluarkan keringat dan diremas kasar karena rasa gugup yang tak tertahan. Tidak ada suara, semua hening seketika, tidak juga dengan aku yang ingin sekali segera mendapat kejelasan.

Aku menghela napas panjang dan memilih memandangi punggung yang berbalutkan kemeja biru muda itu. Telunjuk mulai mengurat huruf-huruf yang terlintas di kepala. I-L-O-V-E-Y-O-U.

Tiba-tiba lelaki itu menghentikan sepeda motornya tepat diujung gang. Mesin kendaraan tidak dimatikan, Hardi menoleh ke belakang. Hal tersebut membuatku sedikit terkejut. Sepertinya ia sudah siap menggubris permintaanku. Jantung mulai berdebar menanti kata yang akan keluar dari mulut manisnya. Bibir mungil mulai bergetar dan aku sudah bersiap dengan sepasang indra pendengar.

“Menurutmu apa tujuan dari pacaran?” Matanya begitu lekat mengunci pandangan lawan bicara.

“Yahh untuk mengenal lebih dalam!”

“Terus apa lagi?” tanyanya lagi dengan nada introgasi yang lembut.

Aku mulai mengigit bibir bawahku sambil mencari-cari jawaban di dalam kepala yang sedang dangkal. Lelaki itu masih sabar dan tenang menanti alibiku.

“Komitmen! Ya komitmen!” jawabku sedikit lantang sembari mempelototi matanya yang teduh.

“Rin, tidak ada lagi hal yang perlu kamu tahu dari aku! Kamu sudah kenal aku luar dan dalam. Keluargaku, pekerjaanku, teman-temanku, semuanya udah kamu tahu. Bahkan kamu lebih kenal aku daripada orang tuaku sendiri. Masalah komitmen, aku sudah pernah bilang akan menikahimu setelah lulus nanti. Kalau kita pacaran, siapa yang akan menjamin kita tidak akan putus? Kita akan saling kehilangan Rin! Apa kamu mau?”

“Aku enggak mau lihat kamu sama perempuan itu lagi!” Aku merunduk malu dan kecewa. Harga diri sebagai seorang perempuan sudah tidak ada lagi.

Seminggu lalu, Hardi baru saja putus dengan kekasihnya. Ia mencariku untuk mencurahkan rasa patah hati. Ini bukan kali pertama, aku dan dia sudah bersahabat selama 4 tahun. Persahabatan kami dibungkus oleh embel-embel komitmen menikah setelah sama-sama wisuda; selama itu pula ia telah gonta-ganti pasangan.

Aku tidak tolol, kami telah membicarakan hal ini sebelumnya. Hanya saja kehadiran perempuan terakhir telah menciptakan rasa takut kehilangan. Aku yakin Hardi tidak akan dilepaskan begitu saja. Tatapannya penuh kelicikan dan niat bersaing begitu jelas tersirat. Beberapa kali aku telah bertemu dengannya sebagai seorang sahabat untuk lelaki yang kucintai.

“Rin, apa kamu sudah tidak percaya aku lagi?”

Tangannya mengelus pipiku dengan lembut, warna merah merona mulai memenuhi wajah yang kini menjadi hangat oleh cinta. Hembusan angin ikut ambil bagian dalam menciptakan suasana teduh. Di ujung gang yang gelap dan sepi, Hardi mengecup keningku. Bibirnya yang lembut dan sedikit basah begitu terasa di kulit. Aku memejamkan penglihatan, momen ini harus abadi di dalam hati.

“Kamu yakin tidak akan kembali dengannya lagi?” tanyaku yang masih dalam perasaan campur aduk.

“Apa aku pernah membohongimu?”

Walau masih ada yang mengganjal, aku menggelengkan kepala dengan lemah. Ia selalu jujur padaku, bahkan latar belakang perempuan yang sedang berkencan dengannya akan selalu sampai di telingaku.

Hardi merasa telah selesai menenangkanku, lalu kembali mengendari sepeda motor menuju rumahku. Ini sudah sangat larut, para tetangga sepertinya sudah berada di alam mimpi. Keberanian telah muncul ketika tarikan napas selesai, kedua tangan kulingkarkan pada tubuh Hardi. Aroma woody dari parfumnya begitu terasa di hidung, pelukan semakin kukencangkan.

“Di, aku murahan banget ya?”

Pertanyaan konyol itu muncul begitu saja. Padahal tanpa bertanya sekalipun aku sudah tahu jawabannya. Aku perempuan murahan! Perempuan yang rela menurunkan harga diri demi menjadi pacar Hardi. Aku begitu agresif untuk memulai suatu hubungan; hasilnya pun ditolak mentah-mentah. Murahan dan menyedihkan.

“Jangan tanyakan lagi Rin? Aku sudah bilang berulang-ulang, kamu paling berharga di hidupku.”

Andai seluruh dunia mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hardi, aku yakin mereka akan mengerti mengapa aku begitu memperjuangkan cinta ini. Motor sudah berhenti lagi, padahal rasanya belum cukup untuk bersama.

“Di, sebentar lagi ya! Aku masih rindu.” Aku belum siap melepas kehangatan.

“Aku harus pulang Rin sayang, aku janji akan menemuimu lagi besok!”

“Di, katakanlah! Aku tahu alasanmu yang sebenarnya. Kamu sudah balikan lagikan dengan Farah?”

Aku tersenyum kecil merasakan sentakan di tubuh Hardi. Ini sudah cukup untuk menjelaskan semua karena memang benar aku sungguh mengenalnya. Sebelumnya hal ini masih praduga saja, kini sudah jadi nyata. Kali ini Hardi sudah tidak berniat berkutik. Ia mematung di tempat sambil larut dalam pikiran sendiri.

“Di, kamu tahukan aku paling tidak suka dibohongi!?”

Aku melepaskan tanganku dan turun dari boncengan. Hardi tidak bersuara, tapi getaran kengerian dari tubuhnya bisa kurasakan. Setelah dua langkah, sebuah cengkeraman menarik pergelangan kanan. Aku menatap Hardi yang sudah berkaca-kaca, matanya merah dan tubuhnya jadi tegang seperti akan dieksekusi mati.

“Aku sudah tidak punya kekuatan untuk selalu jadi juara kedua Di. Lagipula aku sudah tidak seistimewa dulu lagi. Jujur saja, kamu mulai mencintai Farahkan!? Aku bisa melihat itu dari banyaknya alkohol yang kamu minum saat patah hati.”

Cengiran kecil terbentuk pada sudut bibir mungil berwarna merah mawar. Aku menghempaskan tanganku agar terlepas. Kepedihan begitu terasa, setetes darah tampak mengucur dari bekas tancapan kuku Hardi.

Aku memasuki rumah tanpa berbalik, tapi begitu pintu tertutup, tangis memberontak hebat. Helai demi helai rambut tercabut karena jambakan. Kali ini aku benar-benar gila.

ARRRRRGGHHHH!!!” Deru napas mulai tidak beraturan. “Aku akan membunuh siapapun yang merebut Hardi dariku!”

Suara langkah kaki terdengar menjauhi pintu. Itu Hardi, lelaki yang sangat kucintai.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)