TOXIC RELATIONSHIP
By Senna Simbolon
Seorang
perempuan terlihat sibuk membalut jarinya yang sedang terluka. Ia terlihat meringis,
tapi juga berusaha untuk tetap tenang. Ujung jari yang sakit didekatkan ke
pipi, rasanya hangat dan ada gerakan nyut-nyutan yang cukup keras. Tusukan yang
dalam memang terasa lebih sakit dibandingkan goresan pisau.
“EH!!
Udah jangan biar aku aja!” teriak si gadis usai meniup jemarinya.
“DIAM
DI SITU!” balas sahabat si gadis saat mulai sibuk membersihkan ceceran darah
yang mewarnai lantai keramik berwarna putih bersih.
Tampak
dengan sangat jelas, warna merah tertransfer ke tissue basah. Ia begitu
lihai urusan bersih-bersih, tapi sepertinya kejadian kali ini membuat hawa
sekeliling tampak mengerikan. Dingin dan mencekam. Dinda yang tidak berani
membantah hanya ambil posisi di sudut ruangan sambil meratapi nasibnya setelah
ini. Wajah lusuh, kesakitan, dan memelas begitu jelas di sana. Seperti sedang
menunggu diberi hukuman, tampak pasrah, dan tidak berani ke mana-mana.
Dinda
merasakan angin berhembus kencang oleh karena sahabatnya yang sedang lewat
tanpa berniat memperlambat kecepatan. Gumpalan berwarna merah menghasilkan
bunyi hantaman yang cukup keras ketikan mendarat tepat di keranjang sampah. Dinda
terkejut dan spontan berlari ke arah kotak putih transparan yang berbahan plastik.
Sahabatnya berpaling, tapi tidak menemukan Dinda di posisi semula. Namun yang
tidak Dinda ketahui adalah, sahabatnya memiliki endusan kuat tentang keberadaanya.
…BUMMM…DINDA
KETEMU…
Sepasang
mata menatap begitu tajam, hela napas Dinda tersenggal seolah kadar oksigen di
ruangan menyusut dengan pesat.
“Mi,
I love him. Ini semua terjadi karena aku duluan yang mulai kok.” Dinda
memberikan klarifikasi terlalu dini.
“Cinta,
cinta, cinta! Makan itu cinta toxic! Kau nggak lihat tanganmu sampai
berdarah-darah gitu!? Kau masih waras nggak sih!? Udah berapa kali sih aku
peringatkan, cari aja yang lain, aku bisa bantu cari kok!”
“Mi,
apa yang sudah aku putuskan, nggak bisa seenaknya aku sudahi. Tidak semudah
yang kau bicarakan. Kami udah lama bersama, sayangku ke dia udah besar.”
“Iya
besar, saking besarnya jadi TOLOL! Lihatkan tadi!? Sempat-sempatnya loh kau
nanyain dia baik-baik aja atau enggak, sementara jarimu lagi berdarah-darah,”
ucap Mia mengingat kejadian Dinda yang tidak sengaja menghempaskan si pelaku
sampai terjatuh. “minta maaf pulak tadi kau tadikan!? Padahal dia yang buat kau
kayak gini.”
“Ya
udah sih Mi, mau gimana lagi. Aku juga nggak paham situasi, dia cuma lagi
ngungkapin perasaan tidak nyamannya. Caranya emang salah, tapikan aku yang
maksa.” Dinda cemberut memandangi Mia, harap-harap dapat pemakluman untuk
kesekian kalinya. “Tangan aku udah mulai enakan kok, jangan marah-marah lagi
ya!”
“Terserah,
capek ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta, susah dinasehatin hal yang
bener, batu. Pokoknya, sekali lagi dia lukain kau kayak gini, aku yang akan
bertindak. Jangan harap bisa lihat dia lagi!”
Mia
melengos meninggalkan Dinda yang masih dengan teori bodohnya tentang cinta.
Setelah memastikan Langkah kaki menuju luar semakin tidak terdengar, Dinda menarik
napas sambil mengelus dadanya; seperti seorang maling yang lolos dari kejaran
warga.
“Iya
sih toxic, tapikan yang salah dua-duanya, jadi harusnya belajar saling
memperbaiki, bukan dikit-dikit mau menghakhiri. Kalau benaran cinta, pasti bisa.
Lagipula cintakan memang sebuah perjuangan untuk memperbaiki, bukan kalau nggak
cocok cari lagi. Emang si Mia nggak akan
pernah paham sih, jatuh cinta aja nggak pernah! Hu….!” Sorak Dinda
sambil memoyongkan bibir dan mengangkat tutup kotak berwarna putih yang ada di
sebelahnya.
Dinda
mengeluarkan sesuatu yang halus dan lembut dari dalam sana. Jari yang sakit
seolah sudah menemukan penawarnya. Elusan lembut mendarat berulang-ulang.
“Udah
sayang jangan dengerin omelan ounty Mia. Ounty mu emang agak
rada-rada. Tangan Mami udah baik-baik aja. Ini bukan salah Gamy kok, kan tadi
Mami yang maksa buat balurin bedak gatal ke badan Gamy. Harusnya Mami peka
kalau Gamy nggak nyaman, maafin Mami ya? Gamy jangan sedih lagi, nanti Mami
kasih makanan yang banyak ya,” ucap Dinda lembut ke depan wajah hamsternya yang
tampak tidak paham apa-apa.
“Dasar
gilak!” teriak Mia yang wajahnya tiba-tiba muncul dari pintu sambil membawa bungkusan
sarapan menuju dapur. Ia sama sekali tidak memandang ke arah Dinda yang sedang
sibuk dengan hamster kecintaannya.
Dinda
membuat gerakan mengejek pada wajah, meski ia tahu sahabatnya tidak akan bisa
melihat ejekan tersebut. Hamster di tangan masih dielus dengan penuh perhatian.
Begitulah Dinda, susah untuk ditegur, meski Mia telah melarangnya memelihara
hewan pengerat sejak setengah tahun lalu. Dinda akan terus merawatnya dengan
cinta, sampai nanti semesta berkata cukup untuk mereka bersama.
Social
Media
Instagram
: @sennasimbolon
plottwis ya kak, keren
BalasHapusIya hahaha, ini beneran pelakunya hamsterku sendiri, makasih sudah mampir ya, semoga terhibur
Hapus