Putih yang menyamar Hitam-Chapter 12




Diikuti Tanya

 

~Tidak ada yang bisa kuberi, selain peluk yang meringankan nyeri~

***

Sudah dua bulan aku tidak pernah keluar untuk sekadar menikmati hidup. Dunia kampus membuat waktu bermain menjadi terbatas, tapi hari ini aku berniat melakukan ajang balas dendam dan di sinilah kami sekarang. Kulihat tawanya dari pondok yang akan kami sewa. Samar-samar terdengar bahwa kesepakatan telah dibuat. Dengan senyum hangat Raka menyelesaikan percakapan, lalu bergegas menghampiriku yang sedari tadi dibiarkan.

Setiap hal telah berulang-ulang mendapat pemeriksaan untuk memaksimalkan penampilan, tapi setelah mengetahui tujuan, semua berujung penyesalan.

“Seharusnya bilang kalau kita pantai, jadi aku bisa menyesuaikan pakaian, keluhku dengan memasang wajah cemberut.

“Maaf aku tidak kepikiran, kau bisa menggunakan jaketku biar lebih nyaman.” Raka terlihat merasa bersalah dan mulai melucuti jaket dari badannya. Lalu menyodorkan dengan senyuman.

Aku mendengus kesal sambil melilitkan jaket berwarna hitam pada pinggang. Jika ada sedikit inisiatif, mungkin mulut bisa mengantisipasi kejadian. Mengombinasikan kaos oblong dengan rok selutut menghalangiku menikmati kebebasan. Angin terus melambai menebarkan kesejukan.

Andai saja tadi aku memakai celana jeans, pasti kaki sudah berlari gembira menikmati setiap jengkal pasir yang bertebaran. Ini pertama kalinya aku ke pantai, tapi yang bisa dilakukan hanya duduk di pondok sembari memandang ke arah air yang sesekali bergerak menjadi ombak.

Masih kesal? Gimana kalau kita memesan makanan?” tanyanya untuk memastikan.

“Tentu saja. Semua yang kurencanakan tidak bisa terealisasi. Bahkan nyata tidak bisa mendekati ekspetasi!” Aku terus menunjukkan muka muram. “Ya sudah pesankan aku seafood yang banyak dan enak!” Akhirnya Raka mengiyakan apapun yang kuminta, ia tidak berani melakukan penolakan. Salahnya sendiri karena membuatku begini.

Raka lari mendapatkan ibu yang tadi diajak bicara, tapi dengan keperluan yang berbeda. Ia terlihat antusias ketika  wanita paruh baya itu menunjukkan sebuah menu. Cukup menarik, di tengah wisata pantai, menu juga tersedia. Sekarang kami harus menunggu pesanan datang dan membarenginya dengan perbincangan.

“Aku dipindahkan ke bagian pengecekan barang. Tugasku jadi sedikit lebih santai, katanya dengan raut bahagia.

Wah… bagus kalau begitu! Kuliahmu bisa jadi lebih maksimal. Selamat ya.” Tanpa sadar aku sudah kembali ceria.

Mungkin mudah bagi Raka karena semangatnya yang tidak pernah pudar. Sebuah keyakinan pernah diucapkan, gelar sarjana akan diraih dengan uang hasil kerja keras. Aku menghirup lagi aroma tubuh yang masih sama.  Bukan bau yang berasal dari parfum, tapi sebuah aroma keberuntungan.

“Apa sekarang kau berubah jadi penguntit?” Seorang yang kukenal memotong dengan tudingan.

Abangda!?” lirihku masih dalam keadaan tak percaya.

Entah mengapa senior itu bisa menemukan kami. Yang pasti, saat ini ia berada di hadapanku sambil menuduh juniornya sebagai penguntit. Raka hanya tertegun dalam diam. Ia tidak memiliki respons apapun. Aku menjadi sedikit gelagapan.

“Sekarang ikut aku! Penguntit harus lebih dekat dengan target.” Tanpa memperdulikan Raka yang mulai memasang wajah tak suka, Bang Depo meraih tanganku untuk mengikutinya. Sangat tidak sopan. Tanpa meminta ijin ia membawa milik orang lain. Ah… maksudku sahabat orang lain.

Ini bukan kampus, jadi Abang tidak bisa memberiku perintah semaunya! Aku terus berusaha agar terlepas dari jerat yang mengikat. Oh tidak… bahkan di kampus pun ia tidak berhak lagi memberi intruksi.

Protesku tidak mendapat gubrisan. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Apa sekarang dia mulai sadar akan kesalahannya?

Eh betina goblok! Apa kau tidak bisa menyesuaikan style dengan tempat?” Bang Depo berbalik dan memperhatikan tampilanku dari atas sampai bawah dan ia menemukan rok yang masih dibalut jaket Raka. “Jangan-jangan kau sengaja menarik perhatian cowok yang samamu tadi? Mau berapa banyak lagi tuduhan yang dibuat? Sungguh aku hampir hilang kesabaran.

“Bukan urusan Abang! Memangnya jika seseorang mengajak jalan, kita tidak boleh menggunakan pakaian terbaik? Penampilan bukan hanya ditujukan untuk menarik perhatian, tapi juga menambah kepedean.

Aku tahu tidak akan ada kesempatan untuk kabur, akhirnya kutawarkan sebuah kesepakatan karena berdebat hanya akan membuang waktu dan tenaga. Lelaki itu memasang tampang kemenangan. Aku tahu maksud senyum barusan. Tidak banyak yang diminta, hanya sebuah traktiran penyelamatan atas tersesatku kemarin. Aku harus menunggu sampai ikan bakar habis dimakan. Tak apalah, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih.

Beberapa kali Bang Depo menawarkan untuk ikut makan, tapi bagaimana mungkin aku berselera kala hati terus bertanya? Pikiran terus mengarah ke Raka, ia pasti akan marah. Saat seperti ini aku tidak bisa bertindak selain mengikuti arus yang menerjang. Setelah nanti ikan bakar ludes, aku akan berlalu meninggalkan lelaki picik ini.

*

Aku melihat Raka termenung sendirian, posisi tidak berubah sama sekali, hati menjadi sangat gundah. Dengan keraguan kuhampiri lelaki itu dengan keberanian yang bersusah payah kukumpulkan.

“Maaf, tapi tolong jangan marah padaku, mohonku sembari berdiri tepat di hadapan Raka.

Raka hanya membatu dan tatapannya melayang entah ke mana. Tampak kosong tanpa makna. Kucoba menghalangi arah pandang dengan melambaikan telapak tangan. Merasa terusik ia memalingkan wajah lusuhnya. Aku pun menghela napas sebagai tanda tidak tahu cara menebus salah.

“Aku tahu senior itu nyebelin dan aku salah karena malah mengikuti perintahnya, tapi kemari_ Aku masih berusaha mencari dalih yang tepat.

Raka berdiri dan tanpa berniat memberi aba-aba, ia seperti memelukku dengan cinta. Tubuh ini dihantamnya keras. Tidak sakit, tapi sangat mengejutkan untuk jantung yang tadinya berdetak normal. Seketika saja pita suara menjadi bisu, aku kehabisan kata-kata. Badan terasa semakin tertekan. Detak jantung berhenti sejenak lalu mengamuk dengan sangat hebat. Hawa sekeliling menjadi hangat, namun sesak. Anggota tubuh menjadi kaku seperti lidah yang telah keluh. Pelukannya sangat kencang, seperti cengkeraman takut kehilangan.

“Jangan pergi dengannya seperti itu! Aku cemburu Nest. Suaranya menjadi parau tak berdaya.

“Ra... Ra... ka.... Ribuan tanya menghujam logika secara bersama.

“Aku sudah menyukaimu bahkan saat kau masih mengharapkan Sata. Sungguh aku takut kehilanganmu.” Selama ini Raka menyimpan sebuah rahasia besar. Aku tak mampu menyuarakan kata.

Aku balas pelukannya tanpa alasan yang bisa dimengerti. Dengan sebuah senyuman kututup kedua mata ini. Aroma tubuhnya semakin merasuk ke dalam kedamaian. Kami pulang dalam bungkam, seolah yang terjadi barusan hanya fiktif belaka. Raka pun hanya fokus mengemudikan sepeda motornya.

Waktu terasa lebih lama berlalu, detik juga ikut melambat. Angin malam mulai terasa mencekam, kupeluk tubuh tegap yang masih terlihat kaku. Tidak ada yang bisa kuberi, selain peluk yang meringankan nyeri.

Bahkan setelah sampai di rumah keadaan semakin terasa canggung dan berat.

“A-ku langsung pulang. Raka tidak berani mengarahkan maniknya padaku. Laju motornya pun hilang dari pandang.

Keadaan seperti ini sangat tidak menyenangkan. Setelah Raka sampai di rumah hanya sebuah pesan singkat yang disampaikan. Itu membuat aku tidak memiliki alasan untuk membalas pesan. Kata-kata Raka masih terngiang di telinga. Untuk hari ini biarlah sampai di sini.

***

Kalau Raka mencintaiku, mengapa harus ada perempuan lain yang mengisi hatinya? Sungguh aku belum punya keberanian untuk menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Hari ini nongkrong dengan teman-teman anehku akan dimulai. Kuharap mereka bisa menenggelamkan bingung dalam pikiran. Siska dan Gema sudah menunggu di salah satu halte simpang kampus. Senyuman terbaik kutebar ke arah mereka, teman baruku.

“Senyum enggak bisa menghapus kesalahan, celetuk Gema ketika kaki sudah saling berhadapan.

“Sudalah Gema, maafkan saja Nesta,” bela Siska seperti malaikat titisan surga.

WHAT!? Kau gimana sih? Tadi kau yang nyuruh pura-pura marah sama Nesta. Sekarang kau lepas tangan gitu aja? Nggak ada akhlak! amuk Gema.

Merasa telah dipermainkan kutatap Siska dengan penuh kecurigaan. Sambil mengerutkan dahi kusipitkan sedikit mata ini. Sebuah alibi yang ingin kudengar tak kunjung keluar, yang muncul hanya cengiran dan tentu sekarang aku paham apa yang sedang terjadi. Gema sudah merasa tidak sudi menunjukkan mata pada Siska, segera kucairkan suasana.

Sepertinya kita tidak akan jadi ke taman, lebih baik aku pulang…, ancamku dengan cara yang sangat sederhana.

JADI!! Sangat kompak, meski satu sama lain saling galak. Sorakan mereka mengundang perhatian manusia yang sedang berlalu lalang. Orang-orang di halte juga melempar pelototan yang membuat mereka berdua menundukkan kepala, dengan cepat tangan kanan memberhentikan angkot yang lewat.

Kami menaiki angkutan umum tersebut, rutenya akan menuju salah satu taman di pusat kota Medan; bukan yang biasa aku dan Raka kunjungi. Selama perjalan kulihat Gema masih menyimpan kekesalan. Walau tidak bicara tatapan sinis terus mengarah pada Siska. Tawaku tidak tertahankan, kucegah dengan katupan ke dua tangan. Siska masih dalam posisi tidak bersalahnya. Ia mengabaikan wajah menakutkan dari perempuan di sampingnya. Sungguh mengerikan sekaligus menggelikan.

Setelah berdiam diri kurang lebih 20 menit, akhirnya kami sampai juga di tujuan. Siska sangat antusias menikmati taman. Ia segera berlari ketika aku memberikan ongkos yang tadi dikumpulkan. Ia mulai bertingkah layaknya anak kecil. Kami segera menyusul gadis remaja yang tidak tahu malu itu. Dengan sangat sigap Gema menarik pergelangan tangannya.

“Urusan kita belum selesai! Peringatan dari Gema membuat Siska merinding, bola matanya hampir saja jatuh ke tanah.

“Aduh duh sakit tahu! Maaf deh, janji enggak akan buat Gema marah lagi, kecuali dalam keadaan terpaksa. Siska sayang banget sama Gema, ungkapnya dengan nada kekanak-kanakan serta menggemaskan dan Gema sudah melepas cengkeraman.

“Terpaksa? Sayang? Cihh… kalimatmu itu sangat menjijikan, ujar Gema yang semakin merasa marah. Siska tertawa dan segera menjaga jarak dari amukan badak. Sesekali dilemparnya ledekan dari lidah yang menjulur.

Akhirnya kami menikmati taman meski Siska sedikit was-was dengan ancaman Gema. Tidak ada yang spesial dari tempat ini. Lebih pantas disebut lapangan dibandingkan taman. Tidak ada bunga, hanya beberapa pohon besar yang menjulang tinggi di pinggiran. Banyak fasilitas olahraga yang disediakan. Kami mencoba satu persatu tanpa tahu cara menggunakannya dengan tepat. Gema mulai bisa menghilangkan rasa kesal di hati. Senyuman dari bibir berlipstik pink itu merekah dengan sangat indah.

Dari awal bertemu dengan Gema, aku sudah menyadari bahwa ia gadis yang sangat menarik. Perpaduan make-up di wajah menambah nilai menawan. Siska juga terlihat unik dengan penampilan kekanak-kanakannya; sungguh sangat imut. Paras yang lucu membuat manik tak ingin berpaling. Aku sangat senang bisa berteman dengan mereka. Kuharap pertemanan ini berlanjut ke tahap sahabat.

Untuk lanjut ke chapter 13, klik link di bawah πŸ‘‡
https://sastradankarya.blogspot.com/2020/05/putih-yang-menyamar-hitam-chapter-13.html

Komentar

  1. Balasan
    1. π™ΌπšŠπš”πšŠπšœπš’πš‘. π™½πšŠπš—πšπš’πš”πšŠπš— πšπšŽπš›πšžπšœ πš”πšŽπš•πšŠπš—πš“πšžπšπšŠπš— πšŒπšŽπš›πš’πšπšŠπš—πš’πšŠ 𝚒𝚊.....

      Hapus
  2. Ada lagu bilang seperti ini " Lebih baik sakit gigi dibanding sakit hati" Kasian banget LiaπŸ₯Ί

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)