Putih yang menyamar Hitam-Chapter 13
Tersesat Rasa
~Kutatap langit yang bertabur bintang, bulan terlihat ikut mendampingi; saat ini matahari pasti sedang kesepian~
***
Kami berpisah karena arah rumah yang berbeda. Aku melangkah menyusuri jalan yang mulai di terangi lampu jalan. Aku tidak langsung menunggu angkot yang tadi Gema arahkan. Rasanya aku masih ingin menikmati malam yang panjang. Kaki melangkah lurus tanpa belokan agar tidak terjadi yang tak diinginkan; yaitu tersesat. Aku berharap kebersamaan tiga gadis aneh terus bertahan. Saat menikmati tawa sekelompok perempuan yang sedang bergandengan, sebuah getar membuyarkan lamunan.
“Farhan!? Ah…!” Aku tersadar masih berada di tempat umum. Kupelankan suara kegirangan. “Kangen banget samamu, kapan pulang ke Medan?” tanyaku tanpa basa-basi soal kabar.
“Eitss… santai aja dong suaranya ha… ha….” Tawanya menggema di telinga. “Sekarang aku sangat sibuk bekerja. Jadi banyak waktu yang harus disita,” lanjutnya menjelaskan.
“Udah pulang enggak tahu kapan, ngabarin aku juga jarang. Katanya Abang, masa meluangkan waktu untuk adeknya pun susah. Das_” Suaraku tercegat oleh perasaan yang mengganjal. Aku tidak lagi merasakan keberadaan lawan bicara di seberang.
Kutatap layar yang sudah menghitam. Ternyata ponselku sudah mati, aku lupa mengisi daya karena terburu-buru tadi pagi. Walau mendengar suaranya akan menambah rindu, tapi aku masih ingin bergurau . Farhan sedang berusaha sangat keras, kuharap impiannya bisa terwujud. Sekarang kami harus berjarak sejenak.
Banyak teman semasa SMA yang kurang beruntung karena tidak mendapat bangku di perguruan tinggi negeri, salah satunya Farhan. Karena keterbatasan biaya dan juga nama swasta yang tidak terlalu diminati, Farhan memilih bekerja selama setahun ke depan. Selanjutnya, kesempatan mencoba masih bisa diperjuangkan. Bukankah aku cukup beruntung dengan usaha yang tidak ada sama sekali? PTN bukan hanya tentang kepintaran, tapi juga keberuntungan.
Helaan napas menyadarkanku akan keadaan sekitar. Di mana ini? Aku sedang tidak berniat untuk tersesat. Karena tidak suka membuka mulut pada orang yang tidak dikenal, sebuah halte menarik perhatianku untuk singgah. Mengapa rasa lelah jadi terasa? Dinginnya malam pun berubah menjadi musuh, padahal tadi kami masih bersahabat dan saling membisik dengan hangat.
Dua jam lebih aku duduk di sini, membuat kesabaran habis di makan malam. Aku memiringkan kepala pada tiang halte, aku mulai menutup mata yang dipaksa istirahat oleh uapan. Rindu yang tak tahu untuk siapa, datang lagi menghadang. Seperti biasa ia menimbulkan rasa yang tidak terlukiskan dan memaksa cairan bening keluar dari pelupuk mata. Suara kubendung agar tidak menarik perhatian.
“Wah parah nih betina, hobinya nyasar mulu!” Sebuah sepeda motor yang berhenti di depan halte membuatku membuka mata dan mengangkat kepala. Lalu dengan cepat kuhapus derai air mata.
“Abangda….” Aku tahu seorang penyelamat sudah Tuhan kirimkan. Aku menangis karena haru.
“Malah nangis, bocah… bocah! Kenapa nggak nelepon aku untuk minta bantuan, bodohnya minta ampun, malah tidur pula tadi? Kalau dijahatin preman gimana!? Goblok... Goblok... Goblok!” Kubiarkan telunjuknya menekan-nekan keningku. Aku menyadari ketololanku.
“Lowbat,” jawabku singkat.
“Aku akan mengantarmu pulang. Lain kali kalau berpergian pastikan baterai ponselmu terisi penuh. Aku nggak mau kau kena masalah.” Bang Depo yang baik hati pasrah tak berdaya.
Aku tidak tahu mengapa ada perempuan sebodoh diriku. Kantuk yang sedari tadi tertahankan akhirnya tidak bisa diajak kompromi lagi. Kusandarkan kepala pada punggung lebar Bang Depo, tubuhnya tidak beraroma seperti Raka, tapi kenyamanan lebih terasa. Lalu ke dua tangan memegang erat bajunya. Bukan bermaksud mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi aku sudah tidak bisa mengelak lagi. Aku yakin setiap orang pernah terserang kantuk yang tidak tertahankan.
*
Kulambaikan tangan sambil memasang senyum untuk mengiringi kepergian Bang Depo. Aku memandanginya sedikit lebih lama. Bahkan setelah suara sepeda motor tidak terdengar lagi, aku masih menatap jejaknya.
“Mau sampai kapan mandangi dia? Apa sekarang kalian pacaran?” Aku berbalik kala menyadari sosok yang tak terduga ada di teras rumah. “Pakai acara sandaran lagi, kenapa enggak peluk aja sekalian? Murahan!” Ucapannya memang pelan, tapi menusuk sampai ke dalam.
“STOP! Iya aku murahan, sampai-sampai pacar orang pun kudekati.” Aku tidak ingin berdebat lebih panjang, biarkan dia puas mengataiku. Semoga Bibi yang sepertinya sudah terlelap tidak mendengarku berteriak.
“Besok sehabis pulang kampus, temani aku ke acara pernikahan teman kerja.” Raka segera mengeluarkan motor dari samping rumah. Aku terpelongo dengan penuturanku barusan. Kutatap langit yang bertabur bintang, bulan terlihat ikut mendampingi; matahari pasti sedang kesepian.
Raka pulang tanpa penjelasan yang tersampaikan dan aku tidak memberi lambaian. Aku juga segera masuk dengan kunci cadangan. Kurebahkan diri di pembaringan. Masih terbesit segudang tanya tentang Raka. Aku memberi coretan abstrak pada buku harian.
https://sastradankarya.blogspot.com/2020/05/putih-yang-menyamar-hitam-chapter-14.html
π
BalasHapus:)
HapusNiceπ
BalasHapusmksh dekku. baca terus ya karya kakak hehehe
HapusKeren-keren sen
BalasHapusdh bisa jadi penulis dirimu
kayak bg mura*batu
Semoga bang. Amin amin. Semoga doa abang juga membersamai π ya
HapusUwuwuwuwu cinta bisa juga mengenali pemiliknya ☺☺
BalasHapus