CERPEN PERSAHABATAN-Origami Pereda Perih
Origami
Pereda Perih
Senna Simbolon
Dunia memudar,
suasana terasa lembab. Terasa begitu haru. Aku termenung membaca tatapan matamu
yang basah. Tetesan air mata yang terus jatuh, entah untuk berapa kalinya. Aku
tidak pernah bisa mengubah semuanya menjadi sebuah keceriaan kecil atau mengubah
kelembaban menjadi kesejukan, bahkan mengubah air mata, menjadi mata air. Kau
tertunduk menangis, seakan kau telah rela sejarah
akan bercerita dan memutuskan segala yang akan terjadi. Bibirmu menjadi
gemetar, tak mampu lagi menjelaskan apa yang membuat tetesan air mata itu
jatuh.
Tuhan memang
telah membuat satu kejadian untuk melengkapi kejadian lainnya dan tugas kita hanyalah
sebagai pejalan yang berusaha memenuhi rute yang telah Tuhan siapkan. Tapi
tiadanya titik temu kadang mengharuskan kita mengorbankan sisi lain yang
berharga di mata
keduanya. Asyah.... mengapa luka itu terbenam padamu?
Hidup dengan
segala kemungkinan yang akan terjadi adalah takdir-Nya. Menjalani
kemungkinan itu dengan penuh keikhlasan adalah kunci kebahagiaan. Tapi memilih
komponen dari kebahagiaan hanya dapat ditentukan oleh pejalannya. Namun bukan
tanpa alasan Tuhan setuju atas komponen yang telah berhasil kita pilih. Aku
merasa telah menemukan salah satu bagian yang harus kukumpulkan untuk menjuntai
kebahagiaan hidupku. Aku mencintainya, benar-benar sangat mencintainya. Aisyah
kaulah salah satu komponen itu, dan kehadiran Era, Ifka,
Feta adalah suatu pelengkap
yang komplit untuk pilihan hidupku. Aku menjatuhkan persahabatanku pada
mereka, bukan tidak asing lagi jika aku harus melangkah bersama mereka juga.
“Kalau dilihat-lihat
nih ya, persahabatan kita itu yang paling kompak deh,” usul Ifka.
“ Ya iyalah
personilnya ajah kece badai,”
sahut Era sambil membentuk
jarinya menjadi sebuah pistol dan menghembusnya dengan gaya angkuh.
“Ya enggak lah.
Yang buat kita kompak itu ya saling keterbukaan, jujur satu sama lain, tidak
egois, dan saling menerima satu sama lain,”
bantah Asyah.
“ Bener banget
tuh Syah.” Aku dan Feta
menyetujui perkataan Asyah.
***
Aku
berharap bisa melihat semua ini hingga kelak nantinya kami harus berpisah oleh
arah mata angin yang berbeda. Menyapa sang malam, menyapa sang pagi adalah
simponi yang beradu satu sama lain namun saling melengkapi. Begitu juga dengan
persahabatan ini, perbedaan di
setiap
deburan napas kami selalu beradu, namun
bukan tidak mungkin jika napas yang beradu itu saling mencekam dan berurai
menjadi buliran air yang akhirnya bersatu membentuk sebuah genangan.
“
Syah gimana hubungan kamu dengan Angga udah ada kemajuan belum?” Aku buka
bicara saat semua termenung dengan pikirannya masing-masing.
“Huh...
boro-boro mengalami kemajuan, semalam aja aku sms dia sampai detik ini enggak
dibalas-balas,” gerutunya dengan sedikit
kesal. “Dan parahnya lagi kalian lihat sendirikan? Hari ini dia enggak sekolah. Kalau
mau menghindar bukan gini juga caranya,” lanjutnya dengan mata
menerawang sangat jauh.
“Ya
mungkin ajah dia lagi sakit Syah, kamu enggak
boleh langsung berprasangka buruk gitu dong. Lagian nih ya, dia kan enggak punya alasan kuat
buat ngehindarin kamu, ingat syah kamu itu cantik, baik, pinter, sholeh, uh
lengkaplah sudah kamu borong semuanya. Tapi sayang prasangka kamu itu terlalu
menyiksa kamu sendiri.” Feta ngerocos panjang
lebar, walau dilihatnya Asyah tetap menerawang ke dalam kejauhan.
“Udalah
Fe, mungkin dia lagi dihujani perasaan khawatir. Wajar dong kalau dia khawatir
Angga bakalan ngehindar.” Era
membela Asyah, walau yang terlihat tetaplah penerawangan yang semakin menjauh.
“Kamu
kok belain prasangka buruk Asyah sih? Kamu mau Angga benaran menghindar hanya
karena pemikiran kalian yang negatif itu? Kamu tentu ingat dong Era, ucapanmu adalah doamu.” Feta kembali lagi
meyakinkan bahwa pemikiran mereka itu salah.
“Iya deh, aku
minta maaf. Aku hanya enggak
mau kita seolah-olah menyudutkan Asyah,” terang Era dengan wajah
bersalah.
Aku
dan Ifka hanya cecikan
melihat gencatan antara mereka berdua. Entah apa sebenarnya yang mereka
ributnya. Sedangkan Asyah saja sebagai salah satu topik yang dibicarakan
kelihatannya tak peduli, dia tetap saja menyatu dengan penerawangannya.
***
Pagi
yang cerah cukup memacu semangat kami untuk olahraga di salah satu taman
disekitar perumahan di mana
Feta tinggal. Rasanya
sangat lelah setelah kami berempat berlari-lari dari sekitar satu jam yang
lalu. Istirahat dan mengembalikan ion
adalah hal yang sangat perlu kami lakukan.
“Nih
buat kalian!” Era
menyodorkan beberapa botol air putih pada kami.
“Makasih
Era cantik,” puja Ifka.
“Sekali-sekali
kamu ikut dong olahraga bareng, tiap minggu kerja kamu hanya liatin kita
olahraga lalu memberi minum. Nggak seru tau!”Asyah mulai ngerocos setelah meminum
air putih yang diberikan Era
tadi.
“Aduh
Syah mana mau Era
lari-larian gitu, dia kan keturuan squidward, “ tawa Feta sedikit menggelegar
membuat Era angkat bicara soal
penghinaan atas dirinya.
“Enak
ajah kamu, keturunan bidadari iya,”
balasnya dengan senyum
keangkuhan.
“Udah ah jangan ribut! Tahu enggak ternyata apa yang
Feta bilang benar, Angga sakit dan harus
ribet check up sana check up sini.” Aisyah meletakkan botol
minum yang sedari tadi digenggamnya. “Aku sempat sedih setelah semalam Angga
menuturkan kejadian sebenarnya. Tapi untunglah dia hanya sedikit butuh obat penambah
darah, besok juga dia udah sekolah lagi.”Aisyah menyimpulkan senyum di sudut bibirnya.
Ah alangkah bahagianya
aku melihat senyuman Asyah, mudah-mudahan dia selalu bahagia bersama Angga
nantinya.
“Terus kamu
percaya gitu ajah sama dia? Syah jangan terlalu percaya deh sama dia! Aku
sebenarnya enggak
suka kamu terlalu berharap sama dia. Aku merasa dia enggak baik buat kamu.” Lagi-lagi Era merocos dengan
seenaknya tanpa memikirkan perasaan Asyah.
“Kamu kenapa sih
Er? Hobi banget buat Asyah
sedih!? Jangan suka
berprasangka buruk gitu dong!”
Feta terlihat mulai geram
dengan cerocosan Era.
“Aku enggak berprasangka
buruk, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Angga itu enggak baik buat Asyah.
Udah deh Fet,
enggak usah kamu bela-belain
Angga terus!” Era
berlalu meninggalkan kami. Feta
menghentakkan rahangnya dengan sangat kuat, mungkin perkataan Era sudah sangat
keterlaluan. Sedangkan Asyah hanya tertunduk dan diam dalam lunglai.
Kelihatannya dia juga sangat kecewa dengan ucapan Era barusan. Aku dan Ifka juga ikut diam
dalam keheningan pagi yang disertai hembusan angin lembut.
“Aku takut
kalau-kalau, Era
ada rasa pada Angga.” Feta mulai angkat bicara
saat aku sedang berdua dengannya.
“Maksud kamu apa
sih Fet, enggak masuk akal banget
deh!?” Aku mengerutkan
dahiku.
“Gini ya Dira, Era itu selalu enggak suka lihat Asyah
makin dekat dengan Angga. Faktanya aja, dia selalu nganggep Angga buruk buat Asyah.
Bisa aja kan dia cemburu lalu mencari cara agar Asyah berhenti dekat-dekat
dengan Angga.”
“Kita kan
sahabatan Fet,
nggak mungkin dong Eera
sejahat itu, lagiankan Eera
sangat baik, hanya saja kalau masalah Angga dia agak sedikit sensitif,” tanggapku.
“Terserah kamu
deh Dir, tapi enggak ada yang enggak mungkin di dunia ini.”
*
Kuikuti langkah Era secara perlahan setelah pulang sekoalh.
Aku bukan tidak percaya padanya, aku hanya ingin membuktikan bahwa perkataan Feta itu salah. Kubuntutin Era ke dalam sebuah mall. Dia berhenti tepat di lantai dua, tepat di meja nomor delapan
salah satu tempat makan. Aku menunggu dengan berharap sebuah kepastian. Tak
lama setalah itu, Angga? Apa benar yang kulihat ini? Kukucek mataku
berulang-ulang, berharap yang kulihat adalah sebuah kekeliruan. Ah sial yang
kutemukan tetap Angga dan Era.
Aku tak ingin emosiku meledak di
sini,
akhirnya aku putuskan untuk pulang. Akan kuatur pertemuan dengannya agar tidak
terjadi kekacauan.
*
“Sekarang aku
mengerti mengapa kamu tidak pernah setuju Asyah dekat dengan Angga.” Aku segera
membuka percakapan tanpa menunggu Era
duduk di kursi
tamu.
“Baguslah,
akhirnya kamu sadar juga Dira,
aku cuman tidak ingin Asyah tersakiti.” Era
tersenyum bangga.
“Seharusnya ini
semua tidak terjadi. Aku enggak
mau persahabatan kita hancur, apalagi Asyah
akan tersakiti.”
“Aku tahu itu, tapi setidaknya
dia akan tahu
lebih cepat apa yang sebenarnya terjadi. Dir,
kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi nanti, tapi apapun itu sudah
menjadi keputusan Tuhan untuk menyajikannya.” Era menunduk seolah meyakinkan dirinya atas
kalimat yang baru saja diucapkan.
“Aku bingung
harus menyalahkan siapa. Kalian semua sama-sama sahabatku. Tapi sudahlah ini
sudah terjadi, tidak ada lagi yang dapat kukatakan.” Aku menunduk pasrah.
“Er,
setelah nanti Asyah sudah tahu,
aku ingin kalian berdua sama-sama mengikhlaskan Angga.” Aku berharap dia setuju
denganku.
“Apa maksud kamu
Dir?” Era tercengang dengan
ucapanku. Inilah yang kutakutkan, tak ada yang mau melepas.
“Aku mengikhlaskan Angga? Ha.....ha....ha...” Era tertawa lepas.
***
“Maafin aku
Syah.... maafin
aku. Aku enggak
bermaksud melukai perasaanmu.”
“Sudalah! Jangan
kamu teruskan. Aku kecewa dengan kamu Fet.
Jangan kamu ganggu Asyah lagi! Dia sudah cukup terluka. Aku juga tidak
menyangka segala tuduhan itu kamu jatuhkan pada Era. Tapi apa? Nyatanya kamulah yang
mencintai Angga. Aku enggak
habis pikir sama kamu, tega-teganya kamu berbohong demi Angga? Cuihhh.....
seginikah pertemananmu?” Aku
meludah, merasa jijik dengan perbuatan Feta.
Aku tak
menyangka perbuatannya ternyata sekeji ini. Demi seorang lelaki ia rela menyakiti
sahabatnya. Waktu itu Era
sudah menceritakan kejadian sebenarnya. Era
meminta Angga dan Feta
ketemu dengannya di mall, guna meminta mereka mengakui
kejadian yang sebenarnya pada Asyah. Hanya saja, aku berlalu tanpa menunggu
kejadian selanjutnya terjadi. Aku tak melihat di belakang Angga ada Feta yang berjalan
menyusuli Era
dan Angga.
“Aku enggak mau lihat kamu
lagi!” Asyah pergi dengan penuh isak. Tangisannya pecah bersama larinya yang
semakin cepat.
“Syah.... tunggu!
Maafin aku... Syah please! Aku
bakalan ninggalin Angga.” Feta
menangis dan berusaha mengejar Asyah.
“Stop biarin dia pergi, dan ingat satu
hal! Persahabatan ini tidak
menerima seorang musuh dalam selimut.” Kutarik tanggan Feta agar berhenti melangkah.
*
Kuhampiri sosok
terluka itu tepat dipinggir Danau yang sangat indah, namun tak seindah keadaan
hatinya saat ini. Aku hanya duduk di
sampingnya.
Kubiarkan dia menangis melepaskan luapan amarah. Dunia pun memudar, suasana
terasa lembab.
“Menghidupkan
dahan yang sudah jatuh dan kering lebih sulit daripada memupuk tunas agar
tumbuh dan berkembang.” Seseorang datang memberi burung kertas yang terbuat
dari origami berwarna biru, lalu pergi dengan simpulan senyum yang memberi
sejuta makna. Asyah tersenyum dengan
bibir yang dipaksa menyimpul. Sedang aku, hanya menatap dari jauh.
Komentar
Posting Komentar