CERPEN-BATAK TOBA-MANGOKKAL HOLI
Menuju
Kesempurnaan
Tatapan
lelaki paruh baya itu kosong. Tangan kanan menopang dagu yang sebenarnya tidak
terlalu berat. Setiap lima menit sekali napasnya terhela. Setelah berjam-jam
dengan kesibukan lamunan, ia tak kunjung mendapat solusi untuk masalahnya. Hari
itu sudah pukul 10 pagi, namun bapak lima anak itu tidak kunjung beranjak ke
sawah. Beban pikirannya terasa lebih berat seiring bergantinya hari. Sedari
bangun ia hanya mengambil posisi untuk melamun. Aroma air liur masih menyengat karena
belum dibersihkan, rambut masih acak-acakan dan perut mulai keroncongan. Meski
telah mengomel berulangkali, lelaki itu tidak sadar suara beringas dari
perutnya.
“Ini kopi dan sarapanmu
Pak Arta!” Istrinya yang tidak ingin terlibat dengan pemikirannya menaruh
segelas kopi dan singkong rebus di meja kecil yang terbuat dari kayu. Suaminya
sama sekali tak merespons, padahal gemuruh perut sudah mengganggu gendang
telinga seisi rumah.
“Pak Arta yang nggak mau
laginya kau makan?” Perempuan itu mendengus kesal dengan pengabaian suaminya.
“Iya Mak Arta biarlah
di situ, nanti kumakannya!” Seolah tidak peduli, suaminya melanjutkan larut
dalam lamunan panjang. Ia tidak sadar matahari akan naik tepat di atas kepala.
Sungguh teriknya pun tak lagi berpengaruh pada kesadarannya.
“Kau tengoknya jam itu
Pak Arta? Dang tu balian be ho!?”
Masih tidak terima, istrinya sedikit berteriak tepat di telinga suaminya.
Tingkah kepala keluarga ini akan mengurangi pemasukan. Sawah mereka
terbengkali. Semua pekerjaan tertunda dan sang suami masih berkutat pada
pemikirannya sendiri.
“Ribut kali Mak Arta
ini. Yang nggak kau tengoknya aku lagi mencari solusi untuk masalah ini?”
Sambil mengusap-usap telinga, lelaki itu masih tidak terima dengan perlakuan istrinya.
Ia sedikit kesal, namun masih dalam batas wajar.
“Masalah? Bagimunya itu
masalah. Udah berulang kali kubilang samamu, nggak perlu hal-hal kayak gitu
dikerjakan. Buang-buang duit, buang-buang tenaga dan nambah dosa pula.” Sungguh
masalah suaminya bukan menjadi masalahnya.
Sedari
awal perempuan itu sungguh tidak peduli akan rencana yang menurutnya hanya
takhayul belaka. Sedari ia remaja, perempuan bernama Asi itu telah menganut
Agama Kristen yang kuat. Baginya tidak patut berkompromi dengan dunia. Mempercayai
hal mistis adalah omong kosong belaka baginya. Tapi ia tidak pernah tahu
bagaimana ia dapat menikahi lelaki bernama Dame sekitar 20 tahun yang lalu.
Dulu Asi merasa tidak bisa hidup tanpa Dame, sekarang saat masalah yang
menyangkut imannya dipertaruhkan, Asi hampir tidak bisa hidup dengannya.
Perceraian juga bukan solusi yang tepat, hal itu juga dilarang dalam agama,
apalagi ia telah menjadi ibu dari ke lima anak. Dua anak perempuan dan tiga
anak lelaki. Ia perempuan yang cukup beruntung. Keturunanya sudah lengkap, maranak dan marboru. Semua tidak pernah
terpikirkan olehnya, hingga setelah sekian lama menikah, Dame menjadi kalut
dengan pemikirannya sendiri. Dame lahir dengan adat yang masih kental mengikat.
Semua tradisi dari nenek moyang, masih berusaha dilakukan keluarganya. Dulu
suaminya masih sepakat untuk melakukan musyawarah terkait adat yang akan
dilakukan. Jika istrinya mengatakan boleh barulah mereka melaksanakan. Namun
jika tidak, Dame sepakat untuk tidak mengadakannya. Antara defenisi terlalu
cinta atau suami takut istri kelihatannya. Permasalahan kali ini sangat
berbeda, Dame tidak meminta persetujuan apapun pada Asi. Dorongan dari
adik-adik Dame membuatnya terpengaruh hebat. Tidak lagi didengarkannya omongan
istri. Hal tersebut membuat Asi memendam amarah, namun tidak terlalu dipublish. Ia lebih memilih diam
daripada menimbulkan pertikaian. Tapi yang pasti, ia tidak ingin ikut terlibat.
Adat kali ini akan mengganggung hubungannya denga Tuhan yang Maha Kuasa.
“Aku ini cucu panggoaran. Seharusnya sebagai istri kau
dukung suamimu ini, bantukan cari solusi bukan ngomel sana-sini.” Ia menggeleng
dan menyeruput kopi yang mulai sedikit dingin.
“Dengar ya Pak Arta!
Kau itu kepala keluarga. Anak-anak juga perlu makan, bayar uang sekolah dan kau
ingatnya boru kita si Arta? Tiga
bulan lagi dia tamat SMA dan harus lanjut kuliah. Yang kau pikirnya bisa bayar
uang kuliah pake daun ubi?” Suara terdengar menimpali dan seakan mengajak
suaminya berpikir.
“Taunya aku Mak Arta.
Tapi kalau kau bantu aku mikir, kan cepat selesai masalahnya.” Lelaki itu
mencoba meluluhkan kerasnya hati Asi yang masih tidak peduli. Sayang sekali,
selain permasalahan agama semua hal harus dipikirkan dengan logika.
“Untuk hal lain maunya
aku mendukung keputusanmu, tapi untuk yang satu ini jangan kau harap perubahan
komitmenku. Cobalah kau pikir! Dimana letak kebenarannya? Sai na asing-asing do karejom.”
“Mak Arta, udah
kuceritakannya samamu kalau aku didatangi opung kita dalam mimpi. Lagian bukan
cuman aku ajah yang didatangi, Edamu pun udah berulang kali memimpikan opung. Jadi
kayak mana lagi kubikin? Nanti kalau enggak kita kerjakan, nggak dapat berkat
kita, enggak sehat-sehat kita. Kalau jadi terkutuk kita kayak mana?” Ia masih
ingin sekali istrinya peduli serta mau menyetujui. Sampai-sampai mimpi adik
perempuan yang menjadi adik ipar istrinya di bawa-bawa.
“Ahhh banyak kali
cakapmu! Cemana pulak orang mati bisa memberikan keluarga kita berkat?
Dagingnya ajah udah hancur dikuburan, nyawanya entah udah di mana. Buka dulu utok-utokmu itu Pak Arta!” Karena
semakin tak habis pikir, tangan Asi mulai berani menunjuk-nunjuk kepala
suaminya.
Dame hanya terdiam dan berusaha menjaga kalimat pertengkaran
tidak keluar. Bolak-balik ia menghela napas agar tidak menimbulkan emosi karena
perlakuan istrinya mulai tak sopan. Terdiam tanpa jawaban, membuat Asi tersadar
bahwa suaminya telah memasuki suasana tak senang. Ia mulai merapikan sarungnya
agar tidak berbelit sana sini. Lalu ia duduk lembut di samping suaminya. Tangan
mulai mengelus bahu sang suami. Asi juga was-was kalau suaminya meledak. Bisa
saja setan sedang hinggap. Ia tidak ingin hubungan mereka terteror
ketidaknyamanan hati. Sudah hampir sebulan permasalahan ini merengangkan
hubungan mereka. Berbicara seadanya, bahkan ketika tidur mereka saling
membalikkan badan. Raut wajah lembut mulai dipasangnya perlahan. Semoga kali
ini suaminya bisa mengerti atau malah ia yang akan mengikuti kehendak suami.
“Pak Arta, kita sudah
menikah selama 20 tahun lebih. Kita selalu sepakat untuk memusyawarahkan
sesuatu, apalagi hal itu menyangkut adat istiadat. Kau satu-satunya orang yang
kenal sama jiwaku. Aku tidak mau melakukan kesalahan dan sampai hati mendukakan
Tuhan. Adat Batak itu baik adanya, aku juga menganutnya. Tapi, sebagai seorang
yang beriman kita juga harus bisa memilah mana yang benar dan sejalan dengan
Tuhan. Tidak semua warisan nenek moyang itu mengandung kebenaran dan tidak
semua harus kita lakukan.” Suaminya masih tidak bereaksi sama sekali. Ini
adalah kata-kata awal yang dulu Asi sering sampaikan saat mereka belum menikah.
Kata-kata yang di “iyakan” suaminya agar mereka bisa merajut kasih di kemudian.
Dengan sabar istrinya pun melanjutkan. Ia tahu cinta tidak perlu diteriaki,
jika bisikan saja sudah cukup untuk membuat saling mengerti. Amarahnya yang
tadi pun sedikit ia sesali. Ia tahu itu bukan cara yang tepat untuk melunakkan
apalagi memenangkan hati Dame.
“Ketika menikah dulu,
aku setuju kita diadati, mangulosi, margondang sama menjalankan dalihan natolu karena memang baik
adanya. Semua tujuannya jelas dan memberikan kesan kehangatan antar saudara dan
keluarga. Diajarkan menghargai dan menghormati pihak keluarga yang lain. Aku
juga berdarah Batak Tobanya Pak Arta. Tapi alangkah baiknya segala sesuatu kita
pilah terlebih dulu. Enggak semua kebiasaan masyarakat Batak harus ditiru.
Tirulah yang baik-baiknya.” Begitulah Asi, sangat kuat pendirian. Setiap
kebiasaan belum tentu baik, tapi yang baik tentu harus dibiasakan.
“Tapi Mak Arta, kurang
nyata apalagilah mimpi kami ini? Udah nya sampe dua orang yang memimpikan.
Kalau misalnya gegara ini keluarga kita jadi nggak tenang macam mana?” Mimpi
yang dialami Dame terasa sangat nyata. Mimpi itu datang kepada dua orang
sekaligus. Hatinya serasa gelisah dan tak tahan.
“Pak Arta gadak orang
mati bisa memberikan berkat. Gadak orang mati yang bisa mengutuki. Kalau udah
meninggal, udah di surga opung itu sama Tuhan. Yang datang ke mimpi kalian itu
iblis yang menyamar jadi opung.” Tanpa sadar suaranya sedikit lebih meninggi dan
elusan kedua kali segera mendarat, semoga bisa mendamaikan.
“Masih belum bisa
kuterima omonganmu itu. Dang masuk dope
tu pikiranku Mak Arta.” Sungguh hati belum bisa menerima dengan sepenuhnya.
Suaminya sudah tidak bisa lagi memakai logika. Apakah ia harus percaya atas
perkataan istrinya kali ini? Saat semua orang berkata A, istrisnya malah
berkata B. Apakah kebenaran ditentukan oleh banyaknya keberpihakan? Semua
sangat sulit dimengerti. Tidak mungkin hanya pemikiran Asi yang benar. Ia pasti
salah untuk kali ini. Semua orang akan melakukan kesalahan pada suatu hari.
“Kayak mana kalau kita
buat kesepakatan?” Solusi terakhir pun dilayangkan. Tidak ada lagi yang dapat
diperbuat, jika hanya berdebat tidak akan ada sepakat.
“Kesepakatan na songon dia i Mak Arta?” Meski sedikit ragu, Dame
yakin ini satu-satunya jalan yang membawa pada kewarasan. Kesepakatan yang akan
mendamaikan kedua belah pihak. Kalau mereka mau saling mendengarkan, pasti akan
ada dukungan. Sejenak Asi mulai berpikir dan dengan spontan Dame pun ikut menirunkan. Tidak butuh waktu lama ia sudah
mendapatkan jalan keluar.
“Ahhh…!” Senyum
cemerlang menghiasi wajah yang sedari tadi kesal.
“Kayak gini ajalah Pak
Arta. Kita doakan ajalah dulu masalah ini ya, bagus-bagus kita minta petunjuk
sama Tuhan. Kalau mimpi lagi kau
didatangi opung, barulah kita buat acara mangokkal
holi itu.”
“Bah iya juga, mantap
ini kesepakatannya. Setuju aku, tapi kalau misalnya mimpi lagi, dari mana lah
kita dapat uang untuk ngasih makan orang satu kampung, buat kuburan marsemen
dan nyewa gondang pun mahal kali. Padahal sepeser pun gadak uang. Dan kayak
mana kita bilang sama orang Adek dan Inang?”
“Biayanya kan bukan
dari kita ajah. Tapi dari adek-adekmu juga. Nanti coba kupinjam juga uang si
Uli. Maunya dia itu bantu. Kita buat jugalah kesepakatan sama mereka.”
“Bah betulnya kau Mak
Arta? Bakalan kau dukungnya aku? Nanti malam ke rumah Inanglah kitta ya.” Tatapan dame menjadi cerah bersinar. Kini
istrinya mau mendukung dan malah membantunya untuk meminjam uang dari adik Asi
yang kerja di Jakarta. Ia sangat salut dengan istrinya yang mampu mencarikan
solusi. Inilah yang membuat Dame semakin jatuh hati setiap hari. Namun,
tanggapan Ibu Dame belum bisa dipastikan. Dame sangat berharap, malam nanti
bisa meyakinkan Ibu serta Adiknya agar mau menyetujui.
Asi hanya mengangguk dan segera masuk ke rumah. Dame juga
segera mengangkat cangkul untuk pergi ke sawah. Meski jam makan siang telah
menanti, perasaan senang membuat semangat meluap. Lagipula sarapan ubi dan kopi
dari istri tercinta sudah mampu mengganjal perutnya sampai sore nanti.
Di sisi lain Asi juga merasa sedikit lebih lega, ia berharap
suaminya tak diserbu mimpi lagi kala gelap. Ia sampai menawarkan pinjaman dari
adiknya, padahal ia takut kalau mimpi akan kembali. Tapi ia yakin, Tuhan akan
menjawab doanya. Jika terus membiarkan suaminya melamun dalam pikir,
besok-besok mereka takkan makan lagi. Ada dua hal yang tidak akan Asi lakukan
mengenai Adat Batak, jiarah kekuburan sebagai permohonan berkat dan mangokkal holi tentunya.
Mangokkal holi
hampir sama intinya dengan meminta berkat kepada orang yang sudah mati atau
nenek moyang mereka. Upacaranya akan dilakukan besar-besaran, satu kampung akan
diundang untuk makan, memakai musik godang khas Batak Toba dan kuburan nenek
moyangnya akan dibongkar. Setelah dibongkar, tulang belulang akan dibersihkan,
diberi daun sirih atau rokok sebagai sesajen dan mengubur kembali tulang
belulang pada tempat yang baru. Tempatnya akan dibuat sangat bagus, di semen
bahkan dikeramikin. Layaknya rumah kecil yang tergolong mewah. Padahal isinya
mayat. Keluarga akan meminta berkat dilindungi oleh arwah nenek moyangnya. Hal
ini pun dilakukan jika arwah datang lewat mimpi dan meminta dipindahkan ke
tempat yang lebih baik. Orang Batak juga percaya ini akan membantu arwah nenek
moyangnya menuju kesempurnaan, akan meningkatkan martabat.
Bukan
memindahkan kubur yang Asi tolak, bukan pula tidak hormat kepada nenek
moyangnya. Tapi, meminta berkat itulah yang menjadi masalah. Sebagai seorang
perempuan berdarah Kristen yang kuat, berkat hanya datang dari Tuhan. Jika
sampai ia meminta kepada mayat, itu artinya ia menduakan Tuhan. Logika Asi pun
masih jalan, tidak mungkin orang yang mati dapat menjaga keluarganya apalagi
memberi kebahagiaan. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan begitu besar,
memberi makan satu kampung bukanlah perkara murah, makanannya pun tergolong
mewah. Harus menyembelih kerbau atau babi yang diternakkan. Uang dari mana?
Anaknya pertamanya sebentar lagi kuliah, modal besar juga harus dikeluarkan.
Tapi simpanan tabungan belum ada sama sekali. Semoga Tuhan masih membersamai.
Semoga Tuhan membantunya untuk melunakkan hati mertua dan para adik iparnya.
Akhirnya malam pun datang seperti biasanya, tapi degup
jantung Asi membuat semua seolah-lah terlalu cepat. Ia takut sekali pada Ibu
mertuanya yang galak. Bagaimana cara meluluhkan hati seseorang yang tidak
terlalu menyukainya? Asi yang berpendirian teguh dan memiliki pemikirin
sendiri, menjadikannya asing bagi keluarga. Menantu keluarga yang satu ini
tidak bisa mendukung sepenuhnya kegiatan keluarga. Ia juga telah dianggap
merubah pemikiran Dame. Kini anak sulung keluarga itu terpaut jauh dari
lingkaran kebiasaan keluarga. Asi dan Dame mulai duduk, tatapan keluarga seakan
telah menghakimi deluan. Asi menyamankan posisi duduk, menarik napas, meminta
pertolongan Tuhan dalam hati. Maksud kedatangannya pun mulai disampaikan. Tapi,
Ibu Dame sudah tahu untuk apa mereka datang. Hal tidak menyenangkan dari
permohonan menantunya.
“Inang,
udah kami bicarakan mengenai acara untuk opung itu. Jadi, kasih dulu kami waktu
2 minggu untuk menentukannya. Kalau datang opung ke mimpi Pak Arta sekali lagi.
Kami setuju ini diadakan, kalau enggak kami tidak usah ikut andil.” Seisi rumah
bungkam. Semuanya enggan menggunakan pita suara. Hanya Asi yang masih mampu
bicara, bahkan Dame tunduk seperti tak berani unjuk.
“Si
Arta juga mau kuliah sebentar lagi Inang. Perlu biaya banyak. Kuharap Inang mau
merima permohonan kami ini. Jika mimpi itu datang lagi, aku janji nggak akan
komentar lagi untuk acara selanjutnya. Bahkan aku akan turut serta di
dalamnya.” Keyakinan Asi sudah sangat kuat.
Hanya
Asi lah menantu yang berani menentang keputusan keluarga ini. Tidak peduli akan
menjadi kesulitan untuk diri, menjadi orang yang benar adalah tujuannya hidup.
Menyenangkan hati semua orang sekaligus adalah kemustahilan. Lagipula baik
belum tentu benar dan yang benar sudah tentu baik, meski pahit, meski pelik surga
cukup menjadi jaminan. Ia segera beranjak, memberi instruksi ikut pada Dame
lalu menyalami Ibu mertuanya yang dingin dan masih diam. Ia tidak peduli akan
konsekuensi dunia ini, lebih baik ditolak di dunia daripada ditolak di surga.
Musyawarah ini harus ditutup dan mau tidak mau Keluarga Dame harus sepakat
meski tak memberi respons. Itulah Asi yang sangat ketuhanan.
Komentar
Posting Komentar