PEREMPUAN MURAHAN
Aku mulai tidak mengerti tentang perbuatan konyolku belakangan ini. Rasanya seperti terikat dengan dunia yang sudah menggila. Ada yang benar-benar hancur dalam hati, tapi tak mampu keluar sebagai pemenang. Aku masih begitu terbuai dengan berbagai kenikmatan dunia dan masih bisa bersembunyi dibalik kata-kata baik yang selalu kupegang.
“Aku masih tidak
habis pikir dengan semua hal yang laki-laki itu telah lakukan padamu,”
keluh pacar baruku. Mulutku hanya hening saat semua kecewa ia luapkan. “Tapi bagaimana pun, pernikahan bukan hanya
tentang tempat tidur berukuran 2x3 meter,” ucapnya mengakhiri rasa tidak
terima.
Kala itu, ia terlihat sangat manis dan penuh rasa simpati
yang luar biasa. Dengan sangat cepat, aku telah membuat kesimpulan bahwa
sosoknyalah yang akan kubutuhkan di masa depan. Meski sesekali hati dan pikiran
masih suka mampir sekadar mengenang masa lalu, aku harus berpikir logika
tentang calon suami yang tepat. Aku begitu haru dengan sikap baiknya yang terus
menghampiri. Aku adalah si keras kepala yang cukup sulit dinasehati, namun ia
begitu sabar memberi arti kasih yang sesungguhnya.
Suatu hari aku berpura-pura sedang bahagia. Bahkan untuk
hari-hari selanjutnya pun memang begitu. Seolah masih bangga dan memamerkannya
kepada publik. Tentu ia masih memperlakukanku dengan baik, mengalah pun selau
menjadi bagiannya. Hanya saja ada yang berubah dari pola biasa. Hari itu aku benar-benar saling berhadapan
dengan kekasih baruku. Semua baik adanya, tapi tempat dan situasinya tidak bisa
dibilang begitu.
Aku terengah-engah setelah adegan berjam-jam yang
menguras tenaga. Ia masih di atas dan aku masih tanpa busanaku. Kami berbincang
banyak hal, bahkan masih membahas arti tempat tidur berukuran 2x3 meter yang
pernah ia bicarakan. Siapapun yang melakukan adegan barusan dengan lelaki ini,
akan merasa bahwa ia harus segera menikahinya. Hari itu, aku pun berpikir
begitu. Pikirku melayang tentang rumah tangga yang akan kami bangun.
Pertengkaran adalah hal wajar yang akan dialami setiap
pasangan dalam menjalin hubungan. Ketika aku merasa ia sedang jahat, memori
tentang kamar sewaan kembali muncul mengecam perasaan. Apakah ia masih menjadi
sosok yang baik dalam ingatan? Sedikit banyak aku tahu bagaimana ia memperlakukan
mantan kekasihnya. Meski pada akhirnya ia menerima tentang hal bodoh yang
sering kulakukan dengan mantanku, pada awalnya ia marah dan berkata mantanku
adalah lelaki jahat. Lalu, apa kabar dengan yang pernah ia lakukan denganku
hari itu?
Semua sama saja bukan? Ia menikmati tubuh kekasihnya, aku
juga dinikmati oleh masa laluku dan kini kami saling menikmati satu sama lain.
Indah bukan? Aku masih terus berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. aku
belum berani keluar dari zona saat itu. Aku hanya menilai diri ini dan sama ia pun
juga. Bukankah memperkuat iman adalah tujuan utama? Lalu mengapa kami sembunyi
dibalik dosa yang berlimpah? Apakah memang sungguh ia akan membawaku pada
keselamatan? Mengapa yang terlihat kini ialah kemunafikan? Ia masih sangat
baik. Keluarga juga suka padanya. Tapi mungkin rasa suka itu akan hilang jika
mereka tahu putri cantik mereka telah dinodai.
Menurutku, aku adalah salah satu perempuan murahan. Aku
yakin pacarku pun menganggapku begitu, MURAHAN.
“Mungkin ia masih butuh menikmati tubuhku.” Begitulah
kalimat yang melintas di otak, kala ia masih bersikap manis padaku. Kala
suaranya belum menyorakkan aku perempuan gampangan. Tinggal menunggu saatnya
saja, aku akan terluka ketika dicampakkan atau bisa saja sekadar dicintai
dengan tidak seharusnya.
Sampai saat ini yang merobek hati ialah sang penciptaku.
Ia begitu mempesona, aku masih saja rajin ibadah, masih juga memposting ayat
rohani di sosial media. Namun, aku masih belum bisa lepas dengan kebodohan. Aku
juga mulai berkompromi, bahwa sekadar ciuman itu biasa dan pasti Tuhan maklumi.
Dalam hati kecil, ada yang menangis karena dengan sadar aku sangat tahu, bahwa
semua sudah salah dari awal.
“Hai mantan, apa kabar?” tanyaku kala sedang menertawakan
dosa kami yang sama.
Komentar
Posting Komentar