APA RASANYA TERTOLAK? (Bukan hanya soal cinta)

           


Aku sedang menikmati hobi yang belakangan mulai kugeluti. Aku termenung di keramaian. Tidak ada hal atau kejadian yang melintas di kepala, hanya perasaan tidak berguna dan tidak diterima oleh siapapun. Walau dalam keadaan melamun, kegiatan sekitar masih terlintas dengan jelas.

            “Raiya, he Raiya!” Delima menyodorkan air mineral dalam kemasan botol.

            “Makasih.” Aku sama sekali tidak terkejut, kehadirannya pun kusadari dengan jelas.

Sedang ingin sedikit bicara, mengurangi respons pada sekitar dan lebih memilih menikmati diri sendiri. Dengan gerakan tidak semangat dan penuh kemalasan, kuteguk air demi membasahi tenggorokan yang sedari tadi tidak kuperhatikan kebutuhannya. Delima mengambil posisi duduk yang sejajar.

“Rai, kamu ada masalah?” tanyanya sedikit ragu-ragu. Ia juga terlihat takut salah kata.

“Tidak. Memangnya terlihat begitu?” Kubalas dengan senyuman, semoga ia mampu kuyakinkan.

“Kamu bohong. Semua begitu jelas di matamu.” Ia kembali meneguk minuman. Barangkali agar suasana tidak canggung.

Aku tidak begitu dekat dengan Delima. Hanya saja ada hal penting yang membuat kami harus bersama. Aku tidak ingin menolak, hanya berharap bisa sibuk di tengah menurunnya semangat.

“Ah begitu ya,”  jawabku dengan singkat.

“Raii_” Delima memanggil dengan suara lirih. Aku melempar senyum sembari menatapnya. Aku tahu ia masih punya kalimat untuk dilemparkan, tapi sepertinya ia tak punya daya.

“Tampaknya hujan akan turun. Ayo pulang!” Aku menarik tangan Delima untuk pergi.

Perempuan yang sedang kugandeng benar. Aku sedang ada masalah, lebih tepatnya sedang tidak baik-baik saja. Aku hambar, perasaan serasa memudar dan sebuah kenyataan telah membuatku sadar. Tidak ada yang benar-benar menginginkanku, semua hanya karena butuh dan ada pula sekadar telanjur melibatkan. Keluarga? Aku sering terlibat cekco dengan mereka, anggota di dalamnya juga tidak pernah benar-benar mengharapkanku. Kalau boleh jujur mereka tidak menyukai kehadiranku.

Teman atau sahabat? Mereka tertawa kala kami sedang bersama, tapi saat aku tak ada, semua berjalan sebagaimana mestinya. Mereka tidak bertanya, mereka tidak terlalu peduli dan mungkin mereka senang tanpa kehadiranku. Bahkan ada seorang yang terang-terangan menjatuhkanku.

Kekasih? Ia adalah sosok yang paling menyakitkan. Entah sadar atau tidak, ia tidak lagi memperlakukanku sebagai orang spesial. Jika aku marah, alih-alih membujuk, ia malah pergi. Aku melihat ia begitu senang memakai barang dari orang lain, tapi yang kuberikan hanya diabaikan. Bila kuingatkan, ia menjawab tidak terlalu nyaman. Aku bertanya mengapa yang orang lain berikan mampu membuatnya nyaman? Sebenarnya kalimatnya mulai kasar, aku tidak boleh bertanya lebih dari sekali. Aku tak boleh bercanda, padahal itu selalu ia lakukan dengan temannya. Mungkin dengan aku pergi, ia akan merasa happy. Dia juga tidak ingin bertanya bagaimana hari yang kuhadapi.

Apa rasanya tertolak? Sungguh ingin mengurai air mata, tapi sungguh aku tidak ingin menuntut pada siapapun. Untuk apa? Lagipula mereka sungguh tidak mengharapkanku. Aku hanya dibutuhkan, bukan diharapkan. Hidup tentang seseorang yang menghadirkan keuntungan, bukan menerima dengan sukarela. Aku yakin bukan salah paham, karena orang yang benar-benar cinta tidak akan membuat aku bertanya, apalagi merasa terpisah.


BACA JUGA CEKAT PEREMPUAN MURAHAN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)