LOVE
Aku masih asyik dengan pikiranku sendiri, menikmati secangkir teh hangat yang nikmat. Meniup, lalu menyeruput dengan sangat hati-hati. Pandangan mengarah pada pepohonan yang ada di depan mata, sangat rimbun dan menyebabkan udara semakin lembab juga dingin. Aku membungkukan tubuh seolah sedang mendekap diri sendiri. Apa rasanya jatuh cinta? Pertanyaan ini kini sering menyusup tanpa diduga-duga.
“Deira,
kenapa kamu begitu terlihat sangat tenang? Apa kamu tidak sedih?”
“Sedih,
sangat sedih.” Kuseruput kembali minuman hangat yang tinggal setengah,
kulayangkan pikiran pada pertanyaan yang sudah-sudah.
“Dei,”
panggil Gino dengan sangat lembut di telinga, aku bisa merasakan udara hangat
dari mulutnya. “Mengapa kamu perlakukan aku seperti ini?”
Aku
hanya diam, aku tidak tahu bagaimana dan air mata sedang berlomba-lomba
membentuk genangan. Aku seperti mati rasa sekaligus ingin menangis tak tahu
kenapa. Tidak ada yang bisa mengerti apa yang sedang kurasakan, bahkan diri
sendiri pun tidak. Aku dan Gino sudah dua tahun berpacaran, bukan waktu yang
lama, tapi tidak singkat juga. Kadang ia sangat perhatian, tapi di lain
kesempatan ia malah seperti orang asing yang sedang tidak ingin aku sayang.
Sudah
sejak lama, aku mulai terbiasa dengan sikapnya yang terlalu respons terhadap
banyak perempuan. Bukan berniat ingin mendua, tetapi ia memang lelaki yang
sangat ramah. Awalnya aku gelisah dengan kebiasaan pasangan, lambat laun aku
mulai hilang kepedulian. Entah hati sudah lelah atau rasa yang telah hilang
jumlah, aku tak bisa memberikan spekulasi apa-apa.
“Aku
sungguh tidak suka kamu mengoleksi foto perempuan lain, aku tidak terima foto
kalian berdua lebih banyak dibandingkan kita.” Tiba-tiba saja ada yang tak
sanggup lagi tertahan, waktunya tumpah dan pecah.
“Dei,
kamu bisa menghapusnya.” Gino memberikan ponselnya dengan gamblang. Padahal dulu
ia begitu marah dan tak suka ketika aku ingin melakukan tindakan itu. Aku pernah
melakukannya beberapa kali dan beberapa foto terhapus dan sisanya tidak diberi
ijin. Belum lagi, hari demi hari foto perempuan itu bertambah saja di galeri,
sedang fotoku dan Gino hanya ada beberapa buah, belum meningkat dari yang
kemarin-kemarin.
“Setelah
aku pergi, kamu akan mengoleksi ulangkan? Jadi rasanya akan sia-sia.”
“Tidak!
Aku akan selalu menunjukkan galeriku ke kamu,” bantah Gino dengan cepat.
Apakah
aku akan percaya dengan kata-kata lelaki ini? Lalu bagaimana dengan hati yang
sudah tak kumengerti inginnya lagi?
“Di
laptopmu ada foto orang lain?”
“Kalau
aku bilang tidak ada, apa kamu percaya?” Pertanyaanku dibalas dengan
pertanyaan. Sungguh aku hanya bisa diam, apalagi yang bisa kukatakan. Namun,
Gino benar belum tentu juga aku percaya bila ia berbicara. Bukankah pembuktian
adalah langkah yang paling tepat untuk menemukan kebenaran? Sekarang aku sedang
tidak ingin membuktikan apa-apa, mungkin larut dalam pikiran sendiri lebih baik
dijadikan pilihan.
alur cerita yang cukup menarik, ditambah dengan rangkaian kata yang begitu baik oleh si pembuat karya...
BalasHapusTerima kasih, semoga karya selanjutnya tetap mampu membuat anda tertarik untuk mampir.
Hapus