NOT FOR SALE

           


“Aku enggak mau kita begini terus. Kamu bisa dapat laki-laki yang lebih dari aku!?” Yako memandangku dengan sangat serius.

            Aku terus memasukkan minuman ke dalam mulut, meski kutahu kembung mulai menyusup. Membuang muka adalah cara terbaik agar mampu menahan sakit. Ini bukan pertama kali kami mendiskusikan hal ini. Aku tidak ingin larut dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Karena bila itu terjadi, lagi-lagi aku akan patah hati.

            Saat ini aku sedang didera berbagai masalah, termasuk hal yang sedang ingin pacarku diskusikan saat ini. Kehilangan pekerjaan, teman, perhatian keluarga dan perasaan baik-baik saja membuat aku tak mengerti apa yang sebenarnya sedang kubutuhkan. Aku sedikit melirik mulut Yako yang masih sibuk mendumel, sedang aku mengalihkan telinga untuk tidak menangkap kata. Setidaknya hati harus terjaga agar tak menambah luka.

            “Kamu dengar enggak sih apa yang aku bilang!? Udah budek sekarang!?” Yako menarik tanganku yang asyik menggenggam sebotol minuman. Mulut hanya diam tidak ingin mengeluarkan sepatah kata pun. Kutarik kembali tangan dan melanjutkan aktivitas pengalihan. “Aku pikir kamu bisa diajak diskusi,” ungkapnya putus asa.

            “Kamu berharap aku jawab apa?” Aku masih tidak mau memandangnya. Namun, mata telah berkaca-kaca, semoga saja tidak ada yang tumpah. Nada suara terdengar datar, bahkan hampir tak mampu menggambarkan perasaan. “Hal ini bukan pertama kali kita perbincangkan. Jalan pikiran kita berbeda, sekalipun aku kasih pendapat, kamu enggak akan menerima. Begitu juga sebaliknya, kita dua keras kepala.”

            “Lan, coba pikirkan kembali, kamu lebih dominan dalam hubungan ini. Kalau kita jalan, kamu lebih banyak yang bayar, semuanya dari kamu. Aku laki-laki, seharusnya bisa kasih kamu lebih.”

            Aku tahu, dia begitu tersiksa. Bukan hanya pernikahan, pacaran juga bisa mendapat masalah keuangan. Sekarang ia mengharapkan frekuensi kencan semakin diminimalisir. Dari ucapan ia juga seperti berharap aku mencari kekasih yang lebih baik. Padahal aku hanya butuh seseorang yang bisa diajak bertumbuh bersama. Memang iri saat melihat teman yang rutin malam mingguan, diberi kado oleh pacar dan diromantisi setiap saat. Namun, jiwa tahu keinginan bukan jawaban dan kebutuhan harus jadi pilihan.

            Hati sedang hancur berkeping-keping. Aku tidak butuh harta yang berlimpah, bahkan sekalipun dia tidak memiliki apa-apa, aku akan tetap memilih mencinta. Beliau pekerja keras, punya mimpi besar dan menghargai sederhanya impianku. Kriteria yang terbilang lebih dari cukup. Waktu belum berpihak, kesempatan belum datang, situasi dan kondisi juga belum menunjukkan pembelaan, tapi aku percaya Yako akan menjadi masa depan yang hebat. Aku hanya perlu menemani dan memberi semangat hingga sampai di puncak.

            “Kamu bisa dominan kalau nanti sudah mendapat pekerjaan. Aku butuh kamu, bukan uangmu. Nanti aku bakalan ngabisin semua uang yang di dompetmu. Aku hampir kehilangan semuanya, sekarang tinggal hadirmu yang kuharapkan.” Aku benar-benar sudah tidak tahan. Tangisku pecah dan tak beraturan. Seperti hampir gila, kenyataan sedang tidak menyenangkan.

            Sontak Yako membenamkan wajahku ke dalam telapak tangannya yang tak terlalu besar. Kami sedang numpang di sebuah minimarket yang menyediakan tempat duduk di terasnya. Yako tidak suka tangisan, bukan karena tidak mengerti perasaan perempuan. Hanya tidak ingin orang di sekitar mengira ada pria brengsek yang telah macam-macam. Aneh, kali ini ia membiarkanku menangis sampai tenang.

            “Udah sini!” pintah Yako ketika aku memaksa wajah terangkat. Tangannya juga mengusap kepala dengan lembut. “Sepertinya aku tidak bisa lagi mengungkapkan apa yang menjadi kegelisahanku ke depan. Gini aja kamu nangis, dasar cengeng!” Yako tertawa kecil.

            Aku hampir tidak bisa lagi berpikir. Diskusi kali ini selesai tanpa sebuah penyelesaian. Tidak ada keputusan yang berhasil diambil. Kami hanya larut dalam diam. Kalau boleh jujur, Yako ada benarnya. Aku mampu mendapatkan yang lebih baik. Tak jarang kenalan yang mengira aku jomlo menyatakan perasaan secara terang-terangan. Mulai dari yang kaya, berpendidikan tinggi, angkatan laut-darat, beriman, tampan, bahkan paket komplit.

            Kalau mau, sudah dari dulu aku jadi pacar mereka. Perasaanku bukan untuk dijual, tapi untuk membangun kebersamaan. Semoga Yako bisa paham, sebab tak ingin meributkan hal yang menambah luka dalam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)