MERAYU TUHAN

By Senna Simbolon

Untuk memastikan kenyataan, aku melakukannya berulang-ulang; menutup mata, menggeleng kepala, dan membuka kembali pandangan. Semua orang terdekat masih di sana, memberikan senyuman menggoda juga tepuk tangan meriah. Itu artinya ini bukan mimpi. Ah tidak, akan kupastikan sekali lagi! Jemari dengan nail art bernuansa cream dengan beberapa tempelan kristal kecil mulai dijadikan senjata. Perlahan tapi pasti, otak memerintah  untuk memberikan tekanan paling maksimal saat menjepit kulit tangan.

“AAAA!” teriakku sembari mengusap bagian tangan yang sakit. “ADUDUH bego banget sih!” tambahku lagi.

Saat asyik menetralkan rasa tidak nyaman di tangan, tiba-tiba otakku menyadari satu hal. Hening. Bahkan seingatku tadi ada suara musik yang mengalun riuh, kini malah hilang entah ke mana. Aku mendongakkan kepala yang tadinya menunduk ke arah pergelangan. Semua undangan tampak bingung melempar pandang padaku. Aku menyengir kecil sembari melirik beberapa sudut untuk untuk mencari pertolongan. Hah, itu dia! Wanita paruh baya dengan kebaya berwarna berwarna coklat menyala.

“Tenang Bapak/Ibu semua aman, kita lanjutkan acaranya lagi!” ujarnya mencairkan suasana dan benar saja perlahan-lahan musik mulai mengalun lagi dengan merdu.  Suara berisik dan tawa orang-orang mulai kembali mengencang.

Perempuan penolong itu datang tergopoh menghampiri diriku yang masih duduk di bangku. Aku memilih terlebih dulu menjelaskan.

“Maaf ya Mah, tadi cincinku nyangkut ke kebayanya. Pas aku tarik ternyata sakit, jadi refrek teriak.”

“Tapi kamu tidak apa-apakan? Benar-benar ya, kemarin kan sudah Mamah sarankan pakai cincin yang polos aja, gak usah ada permata-permatanya gini, suka nyangkut kalau pakai kebaya.”

“Ya namanya juga suka. Eh Mah, itu tamu dari mana?” tunjukku pada segerombolon manusia yang baru memasuki ruangan.

Kedatangan mereka menyelamatkanku dari omelan panjang. Wanita di sebelahku langsung pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Kutatap punggungnya yang tegap karena memakai kamisol senada.

“Mamah habis bilang apa sayang? Tadi aku lihat dia seperti mengomel,” ungkap kekasihku yang baru kembali dari urusan alam sambil mengusap perutnya yang kurang nyaman.

“Emang kapan Mamahmu tidak mengomel!?” tanyaku untuk menghindari jawaban.

“Ya kamu sama Mamah sama aja sih, cerewet,” balasnya seolah sudah begitu paham.

“Nah itu dia, yakin mau meneruskan acara ini? Pernikahan itu seumur hidup loh, kamu akan tersiksa dengan mulut pedasku,” godaku dengan kedipan mata.

“Emang bisa dibatalin? Uang sinamotmu yang sudah kukasih bisa dibalikin juga?”

“Enak aja! Uang seratus juta itu sudah jadi milikku!” balasku merasa kalah.

“Cie mata duitan!” Telunjuknya mencolek daguku.

Sungguh ini tidak bisa dibiarkan, lelaki itu kubalas dengan pukulan kecil. Namun, kami adalah dua orang yang tidak pernah mau kalah. Di bangku pelaminan kami memulai perang, sedang ibu mertua dengan kebaya coklat memberi peringatan dengan tatapan tajam. Meski begitu, serangan kami belum berhenti, hanya memperkecil energi yang dipakai.

Jujur saja, aku memang sudah merasakan sakitnya cubitan tanganku, tapi semua masih tampak tidak nyata. Untuk sebuah mimpi, ini terlalu panjang dari adegan kami dipertemukan kembali.

Empat tahun sudah sejak pertama kali aku menyatakan diri berhenti memperjuangkan lelaki yang kini ada di sampingku. Aku menyerah karena memang tidak ada harapan apapun yang akan membawa kami pada satu tujuan. Saat itu kupikir segalanya telah berakhir, begitupun dirinya, baginya saat itu hubungan kami bukan lagi tentang memperbaiki. Aku kecewa dengan jawabannya di hari itu, aku pun tahu dia kecewa atas segala tuntutanku di tengah ketidakberdayaan dirinya. Kami adalah dua manusia yang berpelukan, tapi saling menancapkan pedang satu sama lain. Kami adalah dua insan yang saling mencintai, tapi belum selesai dengan diri masing-masing.

Sejak saat itu kakiku berhenti berjalan ke arahnya, kakinya pun melangkah ke arah berlawanan. Ke mana saja asal bukan ke arahku, dia akan pergi ke sana. Sedang aku, makhluk perasa yang diam-diam masih berharap, tapi tidak lagi bisa menjadikannya atap. Dia mungkin berpikir, dia bisa lari dariku, tapi aku selalu punya 1001 cara untuk mendapatkan yang kumau.

Setiap malam, kuputuskan merayu Tuhan. Kukatakan pada Tuhan bahwa akulah manusia yang paling mengenal dia dan hanya akulah yang tidak akan meninggalkannya meski sudah tahu baik buruknya. Satu kali aku pernah berhenti merayu Tuhan, sudah terlalu lama, tidak juga ada jawaban, dan aku mulai merasa semua semakin usang. Bertahun-tahun tidak mau tahu, tanpa kuduga, Ata pulang kepelukanku dan menumpahkan apapun tanpa terkecuali. Lagi-lagi aku jadi manusia yang paling tahu siapa dirinya, termasuk dia yang menggantikanku untuk merayu Tuhan kala itu.

“Ta, aku masih penasaran, kenapa pada akhirnya setelah bertahun-tahun kamu tiba-tiba mendoakan aku lagi?” bisikku ke telinga yang satu-satunya berfungsi.

“Aku tidak tahu, saat itu seperti ada magnet yang memaksaku.”

“Jadi ini paksaan!?” ulikku sedikit lebih dalam.

“Benar, aku dipaksa dan ini akan menjadi paksaan yang paling kusyukuri.”

“Ta…”

“Iya?”

“Aku masih tidak menyangka bisa menikah denganmu hari ini!”

“Aku juga tidak menyangka, Cia!”

Ata menggenggam tanganku erat, pandangan diarahkan ke seluruh tamu undangan. Kalau saja saat itu aku menyerah dan tidak merayu Tuhan, mungkin kisah kami sudah benar-benar usai tanpa kelanjutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)