JAWABAN TUHAN
By Senna Simbolon
“Bagimana mungkin keluargamu bisa diselamatkan, sementara kamunya cuek dan bahkan belum memberi mereka pengampunan!” ucap sang pembicara di atas panggung.
Suasana terlihat sangat
ramai, tapi begitu tenang dan serius. Untuk sebulan ini, memang akan
membicarakan tentang keselamatan bagi seorang Kristen. Bahkan di Minggu pertama
bulan Oktober 2023, catatan doa untuk keselamatan hidup orang yang dikasihi
telah tertempel di papan berwarna hitam. Hampir semua orang terbeban untuk
menunjukan harapan mereka akan perubahan hidup orang terkasih. Papan itu penuh
dengan kertas berwarna biru dan merah muda. Aku melihat puluhan, bahkan mungkin
ratusan ketulusan yang tertulis di kertas.
Ingatanku masih sangat
jelas merekam momen di masa itu. Seseorang memandu dan menyampaikan aturan
dengan semangat yang membara.
“Teman-teman silahkan
pejamkan matanya!” Semua anak muda mulai mengikuti instruksi. “Oke, sekarang
kalian pikirkan satu orang yang ingin kalian doakan perubahan dan
keselamatannya selama sebulan ke depan,” lanjutnya dengan naik turun nada yang
menghipnotis orang-orang. “Bisa keluarga, teman, pacar, atau siapapun yang
butuh didoakan. Tetap fokus, minta pertolongan Tuhan untuk memampukan kalian
dalam tantangan ini!” Hampir tidak ada suara jemaat yang terdengar, semua grasak
grusuk seolah berbisik di telinga Sang Pencipta.
Aku terdiam cukup lama
untuk memilih orang yang akan kudoakan. Lalu satu nama muncul, begitu jelas
terngiang di telingaku. Marlando! Benar, dia adalah adik kandungku yang sudah 2
tahun tidak bertemu dan tidak berinteraksi sama sekali. Bukan karena jarak
maupun minimnya alat komunikasi, tapi kami mengucap sumpah satu sama lain.
Hari itu kami bertengkar
hebat melalui sosial media. Dia yang tanpa basa-basi menyerang pilihan hidup
yang kubuat. Karena pilihan itu tidak merugikan siapapun, jadi kupilih
menyiapkan serangan balik. Meriam amarah kutembakkan tepat di hatinya. Aku
mengungkit kebodohan yang menghancurkan dirinya dan perasaan keluarga inti.
Suasana semakin memanas, ia kembali menyerang dengan umpatan, maka kuserang
balik dengan hal serupa. Pertikaian itu berakhir dengan deklarasi pemutusan
hubungan.
Sejak saat itu, kami
berhenti saling menyapa, kami berhenti untuk saling peduli satu sama lain. Hubungan
darah rusak begitu saja. Aku mungkin bukan kakak yang baik untuknya, tapi dia
harus tahu betapa kasih ini untuknya. Kebisuan di antara kami kuisi dengan doa
kepada Yesus. Aku selalu berharap suatu hari nanti Marlando dipulihkan, dia
berubah, dan mendapat keselamatan. Namun, berbulan-bulan doa kupanjatkan, tidak
menghasilkan titik terang sebagai jawaban. Setelah setahun berlalu, aku
berhenti, tidak lagi kuteruskan usaha sia-sia itu.
“Bagaimana mungkin keluargamu bisa diselamatkan,
sementara kamunya cuek dan bahkan belum memberi mereka pengampunan!” ucap sang
pembicara di atas panggung.
Aku kembali dari
lamunanku, tidak kumengerti mengapa setelah setengah tahun berhenti, doa itu kembali
kupanjatkan untuknya. Ini sudah Minggu ketiga sejak tantangan mendoakan
kuterima. Masih sama saja, tidak ada perubahan.
“Beri mereka pengampunan
terlebih dahulu, berikan perhatian dan tunjukan kasihmu kepada mereka!”
Pembicara melanjutkan kalimatnya. “Keselamatan mereka ditentukan oleh sikapmu.
Jangan sengaja menghindar dari mereka!”
Seketika tangisku pecah
entah kenapa. Aku memang bukan kakak yang baik. Saat dia terpuruk akan jalan
hidup yang salah, aku malah menjadikannya sebagai tameng untuk mempertahankan
pilihanku. Aku seorang kakak, harusnya aku lebih paham situasi dan bisa lebih
mengayomi. Namun yang kulakukan adalah, menghakiminya. Seolah aku alah Tuhan,
kubukankan semua kesalahan Marlando saat itu. Bagiku itu bukan kejahatan,
melainkan benteng pertahanan.
Cairan bening dari
kelopak mata dan indra penciuman mulai kuusap cepat dengan selembar tissue.
Alirannya sangat cepat dan menghancurkan bahan penyerap berwarna putih. Kata-kataku
tidak keluar, ia hanya mampu terucap di dalam dada. Aku berinteraksi pada Sang
Kuasa.
“Tuhan Yesus, aku memang
keras kepala, aku sangat salah atas perbuatanku waktu itu. Aku mau menurunkan
ego untuk memperbaiki hubungan kami berdua. Aku sudah tidak menghindar lagi,
tapi aku masih tidak bisa mengiriminya pesan. Dia memblokirku Tuhan, aku belum
bisa pulang dari perantauan, aku takut tertolak ketika datang ke sana. Kini
sisanya sudah berada di luar jangkauanku, sakit sekali Tuhan Yesus. Tidak ada
lagi cara yang bisa kulakukan. Tolong, aku harus bagaimana!?” Aku sesenggukan,
bahkan sampai doa bersama selesai, orang-orang pasti akan menyadari situasiku.
Aku ingat sekali pernyataan
dari seorang keluarga yang berkata bahwa, ‘Adikmu itu keras kepala, apalagi
dia laki-laki, ego mereka sangat besar. Tidak akan ada permintaan maaf dari
mulutnya. Berbaik hatilah! Saat adikmu memulai percakapan, anggaplah itu sebuah
permintaan maaf!’. Lucu sekali bukan!? Aku dipaksa menerima kenyataan ini.
Aku memang salah, tapi adikku pun salah, harusnya kami saling menurunkan ego
untuk minta maaf.
Selama perjalanan pulang,
renungan panjang begitu panjang. Aku mengkhawatirkan segala sesuatunya. Sudah
tiga minggu, tapi tidak ada kuasa yang bekerja atas hidup dan hati adikku.
Hingga cahaya terang berganti bulan yang termaram. Aku mendapat sebuah pesan
text dari nomor tak dikenal.
+62838-7876-5xxx Shalom
malam kak, Aku
mau nelpon boleh? |
Kupandangi pesan
tersebut, sembari menerka-nerka siapa pengirimnya. Kuobservasi bagian profil,
tertulis ‘Nardo’. Aku membunuh ekspetasi di dada, mungkin ini pesan mahasiswa dari
kampus tempat aku bekerja. Kubalas singkat, namun cukup ramah.
Tidak berapa lama, sebuah
panggilan video masuk dan aku cukup gugup. Kalau seorang mahasiswa, mengapa tidak
pakai panggilan suara saja? Kutenangkan diri, kuusap gambar berwarna hijau di layar
ponsel ke atas. Aku terkejut, sosok yang tadi pagi kutangisi di gereja sedang
menatapku sambil tersenyum malu-malu.
“Shalom kak, apa kabar?
Maafin aku ya kak, aku salah. Tidak seharusnya aku bersikap begitu ke kakak
waktu itu. Aku…,” kalimatnya terus mengalir, seakan sedang membacakan naskah di
lembaran kertas yang digenggam tangan.
Saking tidak percayanya,
aku terngaga begitu lama, aku menangis, hati menjerit hebat. Tuhan membukakan
jalan yang bahkan kukira tidak akan pernah menjadi sebuah jalan. Bahkan aku
mendengar kata ‘maaf’ yang katanya sangat mustahil kudapatkan.
Aku hampir tidak bisa
berkata-kata. Jawaban Tuhan datang tanpa terduga. Usaha yang kukira sia-sia
berbuah dan enak rasanya. Aku tahu Yesus itu besar, tapi mengapa hati masih saja
ragu?
“Maafkan aku Tuhan, maaf
tidak percaya akan kuasaMu. Kau mengubah semua dengan begitu mudah. Terima
kasih telah mengembalikan adikku,” lirihku dalam hati sembari masih memandangi
wajah familiar di layar ponsel.
Hatiku seketika mendendangkan
pujian dan pengharapan. Ketika waktu Tuhan telah tiba, kita akan menuai
jawaban.
‘Pa
bila Tuhan, sudah berfirman, maka semuanya jadi
Selama
Kau besertaku, kumelihat ada mujizat setiap hari
Selama
kumenyembahmu, kupercaya mujizat masih terjadi
Lukas
18:27 Kata Yesus: “Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah.”
Ayub
5:9 “Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan yang tak
terduga, serta keajaiban-keajaiban yang tak terbilang banyaknya.”
Yeremia
32:27 “Sesungguhnya, Akulah TUHAN Allah
segala makhluk, adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk-Ku?”
Komentar
Posting Komentar