Putih yang menyamar hitam Chapter 2
Ada yang harus berakhir
~Selagi jarak dan waktu masih berpihak, kunikmati saja puing
yang masih tersisa;
sebelum semua benar-benar lenyap dan tinggal nostalgia~
***
Ini jauh lebih
baik. Helaan napas berpadu menjadi satu kesatuan ucapan syukur. Aku telah
meninggalkan suasana yang
mengerikan, tempat
di mana
seorang gadis bodoh berusaha bertahan. Kesalahan mereka hanya karena memaksaku
mencintai hal baru, lalu
kesalahan selanjutnya ialah mereka terlalu baik padaku. Sejauh apapun kaki
menghindar,
kebaikan mereka akan selalu
menyambar.
Ada seseorang
yang mengatakan bulan dan bintang selalu hidup berdampingan. Saling berbagi
cahaya untuk menerangi dan saling berbagi rasa untuk melengkapi. Bulan dan
bintang memang selalu bersama setiap malam,
tapi di
belahan bumi lain;
matahari sedang menerangi dan berusaha sempurna walau sendiri. Jika matahari
merasa sedih, cahayanya
akan sedikit lebih redup dari sebelumnya.
Pernahkah bulan
dan bintang berniat untuk menemui matahari atau sekedar menitipkan pesan semangat
melalui angin yang berhembus? Kurasa tidak. Matahari akan selalu kesepian dan dipaksa untuk
menerangi hidup orang-orang.
Penyebabnya hanya satu, keberuntungan tidak berpihak dengan seimbang.
“Mamahmu tidak keberatan, kau pulang cepat?”
“Satu minggu di sana Nesta rasa cukup,” jawabku singkat dan padat.
Bibi
menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan
habis kata dengan pendapatku. Semenjak direbut
dari perempuan tua yang sekarang entah di
mana,
aku harus tinggal di sini bersama mereka. Paman sangat jarang di rumah karena harus
bekerja di luar
kota. Seperti anak kucing yang telah kehilangan tempat untuk bernaung, aku akan sangat senang bila diangkat menjadi anak.
Aku memeluknya sangat erat, serasa rindu sangat kuat.
“Apa Nest masih memikirkannya?”
“Perempuan
itu... siapa
yang sebenarnya bersalah?”
Pertanyaan kejutan membuatku kembali memikirkan dia yang mulai samar diingatan.
“Bibi tidak tahu. Bertemulah dengannya kelak,” pinta Bibi sembari mengelus kepalaku yang berada di
pangkuan.
Tidak ada yang
bisa memuaskan pertanyaanku, semua seperti teka-teki. Aku hanya perlu menemukan
perempuan tua itu. Tidak ada yang bisa kuingat, baik alamat, paras atau apapun itu aku telah melupakannya.
Yang tersisa hanya kenangan dan wajah
abstrak yang terlintas di benak. Dia selalu
menggendong, menyuapi dan
menemani tidurku.
Jika seperti ini,
mungkin
rindu yang tidak pernah terobati telah
mati tanpa kusadari.
Aku
pun terlelap
dalam rindu yang masih berharap.
***
“Kapan sih kamu
nggak rindu Medan? Dikit-dikit Medan.
Gimana
kalau nanti
kau dapat kerja atau suami dari luar? Masih tetap ngebet di Medan?”
“Calon karier dan suami aku ada di
Medan. Lihat aja nanti!”
Aku dan Farhan sudah bersahabat semenjak
sekolah dasar. Dulu kami
tetanggaan, tapi karena beberapa
alasan kepindahan pun harus direalisasikan;
lalu kami bertemu
kembali di kelas yang sama sewaktu SMA. Farhan
sangat mengetahui jalan hidupku; semuanya
tanpa terkecuali. Ketika keluhan mulai keluar, senjata ampuh
darinya ialah wejangan
yang berkepanjangan. Medan memang menjadi kota kesukaanku, belum ada yang bisa menandinginya.
“Oh ya, kau udah bisa move
on dari Sata?” Pertanyaan Farhan melayang dengan sangat mendalam.
“Pergi... hilang dan lupakan.”
“Apanya?” Ia masih coba mencari tahu dan aku memilih untuk menjauh.
“Nest, jangan kabur dong!” teriaknya dengan wajah kesal.
Sata
Novondi. Sejujurnya masih banyak rasa yang
tertinggal untuknya. Setiap malam cucuran
air mata keluar
dengan percuma.
Melupakan seseorang bukanlah hal yang sulit, namun kenangan indah menjadi penghambat utama. Sampai saat ini aku
masih sangat bingung mengapa Sata
lebih memilih perempuan lain
menjadi kekasihnya. Cinta memang tidak bisa direncanakan untuk siapa, kapan,
mengapa, dan bagaimana. Semua terjadi begitu saja. Tidak bisa dipilih maupun
dihindari. Tugasku saat ini adalah mengubur
mimpi.
Tidak perlu
menjelaskan apapun, Sata
telah mengatakan semua dengan maniknya.
Dia menatapku dengan cinta, lebih
tepatnya cinta
pada seorang sahabat. Aku menangkapnya terlalu
cepat hingga luput yang
kudapat. Seharusnya jika mata yang mengatakan,
aku harus mengartikannya dengan mata juga.
Memang semua hal tidak selalu sesuai rencana, harus ada lika-liku yang
tercipta. Mungkin hidup lebih menyukai gelombang dibandingkan jalan yang datar.
Aku
sedang berjalan menuju tempat baru. Tidak pernah terbesit di benakku untuk
membenci patah hati. Walau ada banyak hal yang belum bisa kuhapuskan, ada banyak
hal baru yang harus kuciptakan.
Di
kota terbesar ke tiga di Indonesia ini,
sekolah adalah tempat favorit pertamaku. Melihat
berbagai macam ekspresi membuat gembira
bersorak tanpa henti. Selain bisa menjadi diri
sendiri, aku bisa sejenak melupakan misi untuk mencintai. Cinta telah tumbuh
dari hati untuk tempat ini, lebih tepatnya insan yang ada di sini. Betapa banyak teman
yang dapat dijadikan semangat meraih
mimpi. Walau
mentari selalu mengingatkan,
walau
angin selalu membisikkan. Semua misi
kuabaikan,
agar sirna dari ingatan.
“Akhirnya
ketemu juga. Dasar Adek nggak punya
ahlak, nggak sopan, durhaka dan tidak
berperikeabangan!” Ia terlihat
ngos-ngosan saat mendapatiku di kantin yang masih terlihat sepi. Tangannya
mendarat di atas kepala untuk mengacaukan helaian yang menjuntai indah.
“Farhan stop,
berisik tahu!” teriakku pada seseorang yang sangat suka menggangu
dengan kicauan.
“Wihh… udah mulai kalem aja nih. Tahu nggak menjadi pendiam adalah tanda
kedewasaan?” Farhan coba menggodaku yang sedari tadi asyik dengan
lamunan.
“Teori dari
mana tuh? Alexander Graham Bell?
Colombus? Atau Farhan Einsten? Udah ah beliin aku keju sana!” suruhku dengan nada seorang ratu.
“Dasar mak lampir! Bisanya nyuruh doang.” Farhan berjalan ke arah ibu kantin yang mulai
senyam-senyum tak karuan.
Farhan sangat tertarik menjadikanku
adik.
Walau selalu menolak, sebenarnya
batin sangat senang
diperlakukan demikian. Wajah yang menarik dan sosok pendengar yang baik, sangat mendukung untuk gadis yang sering terusik. Lagipula kami telah
bersama sejak lama, jadi tidak ada alasan yang tepat untukku menolak. Ia juga
lebih tua setahun dariku.
“Nih.” Farhan meletakkan enam keju pasta murah meriah
ke hadapanku. “Kok aku mau ya, disuruh-suruh sama kau? Jangan-jangan aku dipelet lagi!?” tanya Farhan
sembari memasang wajah curiga.
“Iya
pelet ikan dan ayam,” sambungku tak mau kalah dari tuduhan. “Lagian enggak usah
ngebacod deh, kalau mau juga bilang!”
Aku menyodorkan satu keju pasta yang tadi ia belikan.
“Gitukan adil.” Wajah Farhan langsung berbinar memancarkan sinar.
“Adil tonggosmu!” ucapku kasar. Aku berkata demikian bukan berarti ia
begitu, hanya saja ini kebiasaan perempuan bar-bar.
Farhan
tertawa melihat bibirku yang mulai manyun ke depan. Ia tahu, kejuku sangat
sulit disentuh. Tak terasa tinggal menghitung bulan
aku akan kehilangan suasana sekolah.
Semua orang akan mulai sibuk dengan kegiatan baru meraih masa depan. Selagi jarak dan waktu masih berpihak, kunikmati saja puing
yang masih tersisa;
sebelum semua benar-benar lenyap dan
tinggal nostalgia. Sembari
menikmati aroma bakwan ibu kantin yang ada di penggorengan, kami berbagi cerita
yang masih dapat diarsipkan.
Setelahnya, aku juga akan memulai misi baru
untuk mencintai tempat baru. Ujian
nasional akan mengakhiri tenggang rasa yang mengharu.
PENULIS PEMULA PART 1
Komentar
Posting Komentar