Putih Yang Menyamar Hitam-Chapter 3
Puing yang tersisa
~Semua tergantung kesepakatan ke dua belah pihak. Kalau ke duanya saling
nyaman dengan tidak saling sapa, lalu di mana letak salahnya?~
***
“Kirimkan Nesta uang bulanan. Segera!” Begitulah
telepon itu kumulai dan kuakhiri. Tidak perlu berdrama, mengucapkan cinta dalam dusta.
Seperti kataku kemarin, salah satu kesalahan mereka
adalah terlalu baik padaku. Sejauh apapun aku melangkah, kebaikannya selalu menjamah. Siapa yang tidak tahu bahwa
sudah menjadi tugas orang tua membiayai kehidupan anaknya? Itu jika si anak bersikap manis, sedangkan aku? Selalu memaksa, tidak ada basa-basi,
tanpa memelas, dan parahnya tidak mengucapkan terimakasih. Itulah mengapa kusebut terlalu
baik.
“Selamat pagi adekku sayang! Ingatkan,
masih punya utang cerita samaku?” Farhan si pengganggu telah datang membuat rusuh. “Cowok yang kemarin kau bilang udah ada kemajuan?” lanjutnya
dengan nada yang sudah dipelankan, seolah-olah topik rahasia besar tidak boleh
terbongkar.
“Udah, sekarang giginya jadi tonggos. Maju sekitar lima
sentilah,” jawabku
ngasal. Mata yang disipitkan pertanda respons serius harus kukerahkan. “Udah keburu cewek lain.” Akhirnya
kusampaikan apa yang ingin ia dapatkan.
“Sedih kali nasibmu. Belum juga
jatuh cinta, udah kepepet cewek lain lagi. Ishh… ishh…
jangan-jangan kau kena kutuk Nest, nggak
mau ke dukun aja!?” Farhan mulai berbisik ke indera pendengaranku.
“Yaelah… enggak semiris itu juga kali,”
sanggahku dengan buru.
Jatuh hati perlu waktu dan proses yang panjang, tidak bisa secepat titipan
kilat mengirim barang. Biarkan saja cinta mengalir layaknya air sungai yang bergerak menuju laut. Jika beruntung, tetesan air itu akan sampai
pada tujuan. Jika tidak, ia akan mengalir menuju
jalan yang Tuhan tentukan. Mungkin seorang petani akan mengalirkannya menuju sawah, seorang
peternak ikan akan menariknya ke tambak atau seorang pejalan kaki akan
menimbanya untuk menghilangkan dahaga.
Walau terkadang air telah lelah menerjang
bebatuan yang ada di sungai, bukan berarti perjuangannya membuahkan takdir yang
diinginkan. Satu hal yang pasti, cairan bening itu akan menang selama tetap berperang. Terkadang mereka saling iri
satu sama lain, sama-sama saling berjuang namun tidak semua mendapat yang
diidamkan.
Padahal air yang telah sampai ke laut harus lebih kuat untuk bertarung; mulai dari menerjang karang
yang pagan, hingga mengorbankan rasa
tawar menjadi asin yang tidak mengenakkan.
Suasana pagi
masih terasa, dinginnya udara belum sirna dan saat itulah aku melihat Sata
melangkah ke bangkunya. Ketika dua pasang mata saling bertemu, aku tidak yakin
apa yang harus dilakukan. Waktu tinggal sedikit lagi, tapi suara kami belum juga saling
berbalas.
“Cie
yang lagi pandang-pandangan sama Sata….” Tatapan
kecil kami hanya berlangsung sepersekian detik, tapi makhluk halus ini sudah
menyadarinya. Untung saja setelah meletakkan tas, Sata segera berlalu entah
kemana; mungkin sedang menemui kekasihnya di kelas sebelah. “Bentar lagi hari kelulusan, kalian harus
baikan. Jangan
sampai meninggalkan beban!” usulnya dengan nasehat yang sudah bosan kudengar.
“Aku sama Sata baik-baik aja kok,” belaku
dengan kepura-puraan.
“Jadi dua orang yang dulunya sangat dekat, tapi sekarang nggak pernah saling sapa bisa dikategorikan
baik-baik aja?”
“Semua tergantung kesepakatan ke dua belah pihak. Kalau ke duanya saling nyaman dengan
tidak saling sapa,
lalu di mana letak salahnya?” Argumen bijak pun kusampaikan.
“Itu jika kau bisa memastikan, apakah kedua belah pihak memang
merasa nyaman. Apa kau tidak pernah berpikir, apa sebenarnya yang pihak lain
inginkan?” Ucapannya menunjukkan
ketidaksepakatan.
Aku hanya
terdiam dengan pertanyaan Farhan. Sungguh, aku tidak pernah berpikir bahwa
hanya akulah yang merasa nyaman dengan keadaan ini. Tidak pernah aku mencoba
mencari tahu apa yang diinginkan Sata. Mungkinkah ia juga tidak suka dengan
kami yang sekarang? Mungkinkah ia masih menginginkan kami yang dulu? Aku malu
tentang rasaku yang tak terbalas, tanpa kata yang tersampaikan, aku pun diam
dan memutus percakapan.
PLETUKKK…
“Aduh... sakit,” ringisku
sembari mengusap kepala yang telah dijitak. “Aku di mana? Kau siapa? Kau mau apa?
Jahatin aku ya?” Aku pun memulai dialog teaterku. Farhan sungguh tidak
menyukai aku yang tiba-tiba membisu.
PLETUKKK…
“Makanya jangan
mengkhayal mulu, sok
lupa ingatan lagi!” Farhan
membunyikan tempurung kepalaku untuk yang ke dua kali. Merasa tidak terima,
segera kutarik lengannya dan kudaratkan gigitan berbisa.
“AUUUUU… lepasin Nest!!” jerit Farhan
kesakitan, padahal aku tidak menekan gigiku terlalu kuat.
“Itu karma karena jitak kepala
perempuan cantik
yang tidak bersalah,” ocehku sembari meninggalkan dia yang masih
mengusap-usap tangan.
Komentar
Posting Komentar