Putih yang menyamar Hitam-Chapter 4
Tatapan
terakhir
~Semenjak ada kamu, aku lupa caranya berjalan tanpa tersipu malu. Aku lupa
caranya bermimpi saat sedang tertidur,
karena saat terbangun sekalipun bayangmu sering menyelinap ke alam bawah sadarku~
***
Acara
perpisahan adalah hari di mana semua insan akan tertawa dari pagi hingga petang.
Baik laki-laki atau perempuan akan merias diri hingga jadi sosok yang berbeda;
terutama murid yang telah menyelesaikan masa putih abu-abunya. Mereka akan
sibuk membusungkan dada serta menunjukkan rasa bangga. Para adik kelas juga
akan sibuk mempersembahkan pertunjukan yang berkesan untuk dikenang. Setelah acara
selesai, ratusan tangan akan mulai sibuk merangkul, membenamkan wajah, mengeluarkan
isak hingga membuat lusuh menyeruak.
Semuanya telah selesai. Aku tidak
berhak lagi memiliki waktu dengan orang-orang ini. Puing yang tersisa telah kupakai sepenuhnya. Setiap
orang memancarkan ceria, tidak ada yang terlihat sedih. Hanya ada tangis haru dan bahagia. Kami siap
untuk semua hal baru di masa depan. Bukan bagaimana menjadi sempurna di sana kelak, tapi bagaimana
menjadi yang kami suka.
Ingat! Tidak perlu repot-repot
menjadi pribadi
yang diharapkan orang lain. Cukup seperti yang kau ingin.
Sejenak aku
menarik diri dari kerumunan. Kutelusuri setiap lorong kelas. Ini benar-benar akan jadi
yang terakhir
kalinya. Setiap sudut memiliki ceritanya sendiri. Ada yang dengan kisah duka, bahagia, bahkan kisah unik dan
lucunya. Kaki melangkah secara perlahan, gendang telinga menikmati alunan
musik yang menggema; mungkin nyanyian dari seseorang yang terkira.
Aku sudah berdiri di depan kelas pungkasan,
kubus yang menjadi saksiku setahun belakangan. Tatapan mata merasuk pada kisah
masa lalu. Dulu sebelum semuanya berakhir tidak pernah terpikir akan merindu. Aku memilih
kelas ini sebagai tempat terakhir yang kutelusuri karena akan membutuhkan waktu
paling
lama untuk
mengenang. Kejadian yang pernah terjadi, terulang kembali dalam
lamunan.
Ternyata semua harus tertinggal. Mimpi indah yang pernah kubangun untukmu harus
segera pergi, sebab sesuatu yang baru telah menjemput dan ia bernama visi.
“Mau sampai kapan mandangin kelas kita?” Aku
terperanjat kala lelaki yang dulu kucinta, mendekat dengan hangat.
“Aku... aku… aku hanya_” Sungguh aku
seperti layangan putus saat melihat sorot mata yang memancarkan cinta. Mungkinkah
rasa masih ada? Aku bersyukur karena ia melempar tanya.
“Hati membawamu ke sini?” Sata
melanjutkan kalimatku dengan apik. Ia masih mengenalku dengan baik. Anggukan
kepala kuaktifkan seraya memberi senyuman. “Apa kabar sekarang?” lanjutnya
karena sudah mengerti jawabanku yang tanpa suara.
Bukankah aneh
bila bertanya kabar dengan seseorang yang selalu kalian lihat setiap hari? Namun,
kehadirannya
seperti tidak nyata. Ini sebuah kesempatan yang tidak akan terulang kembali. Tidak pernah kupikirkan apa
yang akan terjadi.
“Aku rindu persahabatan kita yang
dulu.” Aku tidak mengacuhkan pertanyaan Sata.
“Aku tidak tahu ada apa dengan kita,
yang jelas aku
tidak suka kita berhenti bicara,” ujarnya dengan lugu.
Kini aku mengerti, bahwa ke dua belah pihak tidak pernah
sepakat untuk saling senyap. Angin sepoi berhembus lembut, menyentuh kulit kami
yang berbalut hidup.
“Bagaimana dengan Gladies?” Mataku
menyipit, pertanda merutuk mulut lantang yang mengajak berperang.
“Kami memutuskan berpisah.” Aku
terperangah dengan tuturnya. “Aku tidak ingin menjadi penghambatnya meraih
cita-cita,” sambungnya
sembari menarik tanganku untuk kembali ke acara.
Hanya dengan satu tatap yang tepat
sasaran, cinta bisa hadir dan mengisi setiap kekosongan. Semoga tidak
terulang, cinta yang tak terbalaskan.
Aku menerawang sangat jauh. Di mana hati awalnya memilih Sata sebagai tempat bermuara. Aku
pernah melihatnya di kelas berbeda, lalu tanpa isyarat yang tersampaikan takdir
datang sebagai salah satu kebetulan; tahun berikutnya kami sekelas. Semenjak itu Sata datang untuk menyirami benih rasa setiap hari.
“Farhan nggak datang ‘kan? Aku duduk di sini
ya? Kau bisa ajarin aku tentang persilangan
yang barusankan? Kalau tentang asam-basa-garam
kemarin gimana? Kau perempuan pertama yang berhasil membuat aku paham. Padahal guru privat saja sudah angkat
tangan. Mau jadi sahabat pertamaku?”
Sebuah kesepakatan yang tidak pernah
kujawab membuat benih cinta mulai bertunas. Setiap hari otak berpikir keras agar bisa
membantu Sata
mengerti materi pelajaran. Semenjak ada dia, aku lupa caranya berjalan
tanpa tersipu malu. Aku lupa caranya bermimpi saat sedang tertidur, karena saat terbangun sekalipun bayangnya sering menyelinap ke alam bawah sadarku. Setiap kehadirannya kutampung
dalam wadah pengharapan.
Di bawah redupnya lampu jalan, Sata sering mengantarku pulang dengan
berjalan kaki. Aku terlalu sering melewati rumahnya saat pulang dari suatu
tempat, lalu
berharap ia muncul dari balik pintu berwarna coklat. Kemudian ia menyapa dengan tawaran mengantar
pulang. Itu
selalu terjadi berulang-ulang hingga aku merasa ketergantungan. Pernah sekali Sata tidak muncul. Sempat kecewa,
hingga tersadar bahwa takdir akan datang tepat waktu. Tidak pernah terlambat maupun terlalu
cepat.
“Apa kau akan berjalan tanpa menungguku?”
sambar Sata dari belakang. “Aku akan mengantarmu
pulang,” ucapnya menenangkan.
“Lebih tepatnya menemani bukan mengantar,” protesku dengan rasa tidak terima.
“Intinya sama saja,
bersamamu sampai tujuan.” Sambil berjalan di sebelahku, Sata menggiring
sepedanya.
Bahkan saat tidak bersama lagi, mimpi
tentangnya datang
secara bergantian. Meski gelap
pergi,
bayangnya tetap menghantui.
Setiap orang akan berkata kami berdua sedang merajut
cinta. Tanpa sadar sebuah kesalahan sedang terjangkit. Tatapan matanya
kuartikan dengan obsesi. Cinta untuk persahabatan tertangkap sebagai cinta
untuk pasangan kekasih. Waktu yang tak pernah kuharapkan tiba. Kejadian yang
tidak pernah kupikirkan pun telah mencekikku sekuat tenaga. Aku
menyaksikan Sata menyatakan cinta. Aku ambruk, hatiku remuk dan isi kepalaku buyar entah kemana. Ternyata
ada gunting yang telah memutus mimpiku, yaitu Gladies.
Semenjak saat itu bibir telah
terkatup rapat untuk Sata. Bukan hanya aku saja, entah dengan alasan apa semenjak itu Sata juga mulai menjauhiku.
Apa karena waktunya telah tersita? Seolah ada kaca tebal yang memisahkan,
mata hanya dapat memandang. Tanpa bicara sepatah kata aku selalu memperhatikan
semua tentangnya. Mulai dari caranya berpacaran dengan Gladies, hingga ketika dia
bermain bersama teman yang lain tanpa melirikku walau sedikit.
Aku bersyukur semua ini telah
berakhir. Tidak akan ada penyesalan di kemudian hari. Semua telah baik-baik
saja. Kenangan itu sendiri yang telah memperbaiki semua. Kami semua tersenyum saat
berpose dalam sesi foto. Semuanya memasang ekspresi terbaik mereka.
Kurangkul Farhan
dengan rasa sukacita.
Hanya tempat ini saja yang selalu membuatku penuh ekspresi. Ada tawa, canda,
juga tangis. Segalanya akan kubingkai dalam memori jiwa; dengan setangkai bunga mawar di
sampingnya.
“Emm... aku udah baikan dong sama Sata.” Aku mulai
menyombongkan diri di hadapan Farhan.
“Syukurlah. Jadi, kalian berdua akan
merasa ringan dan tenang meninggalkan masa SMA.” Farhan memelukku mesra
tanda terbentuknya sejarah.
*
Aku membiarkan satu lotre
keberuntungan untuk dimenangkan. Melaju secara perlahan. Kubisikkan
pada udara malam agar menitipkan salam pada semua; pada semua cerita lama yang telah terkubur indah. Bola mata memutarkan
arahnya pada sebuah pundak yang tegap. Aroma sejuk angin merasuk pada indera
penciuman. Kuhirup dalam-dalam agar aku dapat selalu mengingatnya. Suatu hari aku akan
membutuhkannya.
“Kau tidak apa-apa naik sepeda
motor?”
“Ada yang jemput aja, sudah syukur. Terima kasih Raka,” kataku
sambil menikmati malam yang sejuk.
Aku benar-benar memulainya.
Entah mengapa kisah ini selalu terlihat sama dengan ceritaku.
BalasHapusTapi tidak begitu rumit, mungkin aku terlalu menjiwai cerita yang menyebalkan ini. Mata ini selalu menahan rasa kantuk untuk meneruskan bagaimana kelanjutan ceritanya :)
OMG dan tidak terasa waktu bergulir begitu kencang, namun aku ingin meneruskan perjalanan kisah ini.........!!!!
_aku sudah terjebak
Jangan lupa beristirahat sayang, satu cerita saja untuk menemani harimu.
Hapus