Putih yang menyamar Hitam-Chapter 15
Kukendalikan para Lelaki
~Saat ini Raka sedang bekerja, tapi kejadian yang lalu membuatku trauma. Hadir para lelaki memang tergolong tiba-tiba; termasuk Bang Depo juga Raka~
***
“Terus kau setuju aja gitu!?” Gema tidak habis pikir dengan segala curhatanku tentang Raka. Sekarang kakinya melangkah seolah ia setrika yang sedang bekerja. Lalu ia berhenti dan menatapku dengan gawat. “Kau harus suruh Raka putusin pacarnya!” Aku mendongak agar Gema mengulangi kalimatnya, aku masih berharap salah tangkap.
“Untuk apa?” Aku coba mencari tahu maksud yang terselubung.
“Astaga Nest! Goblok kok masih dipelihara sih? Raka itu egois, kau disuruhnya jauhin Bang Depo, tapi dia masih pacaran sama cewek lain. Emang kau punya alibi yang kuat buat jauhin Bang Depo?” Gema membuat bahuku terguncang, seolah aku sedang tidak sadar.
“Enggak.” Perkataannya jadi sulit kucerna karena pusingnya kepala, jadi kujawab sekenanya.
“Terserah kaulah Nest, mau buat penawaran dengan Raka atau jauhin Bang Depo dengan alibi yang belum ada!” Sekarang gadis yang rambutnya habis di blow itu, duduk dengan posisi tangan yang menopang dahi; seolah ia yang sedang tertiban kesulitan.
“Bunuh diri kayaknya bagus deh. Huhft,” candaku pada Gema yang sudah tak habis pikir.
“Apa ada yang mengatakan bunuh diri?” Si mungil pun muncul entah dari mana.
Siska datang dengan rombongan camilan memenuhi tangan. Badannya memang tergolong mungil, tapi porsi makannya membeludak. Dia tergolong perempuan yang patut dicemburui. Asupannya bergunung-gunung, tapi berat badannya tidak membubung.
“Tuh, Nesta mau mati katanya!” tunjuk Gema seraya mengarahkan jarinya.
Mendengar kata bunuh diri, Siska terlihat sangat bergairah. Apa dia pikir aku bersungguh-sungguh? Apa gadis itu sedang mempersiapkan diri untuk ceramah? Kami melihat tangannya sibuk mengamankan bungkusan keripik kentang dan coklat. Lalu, dibuka tasnya dan keluarlah sebuah botol berisi cairan coklat muda. Ia datang menghampiri kami dengan seringai yang mengada-ngada dan itu menimbulkan rasa curiga.
“Maukah Nesta meminumnya untuk Siska?” Ia menyodorkan botol itu padaku sembari meniru pria yang sedang melamar kekasihnya. Aku menerima, lalu membuka tutupnya untuk dapat mengenali cairan dari aroma. “Minumlah! Itu akan mempercepat keinginan Nesta terwujud. Tenang saja, matinya tidak akan terlalu sakit kok.” Ekspresinya hampir membuat seluruh isi perutku keluar. Sangat menggelitik, tapi tak mampu kuberikan kritik.
“Kau gila ya mau bunuh Nesta terang-terangan!?” Gema segera berdiri dan menghardik Siska yang masih berjongkok dengan wajah gemasnya.
“Tapi, Siska membuat racun ini dengan segenap hati dan jiwa,” komentar Siska dengan wajah memelas. “Lagian Siska hanya coba membantu keinginan Nesta terwujud,“ timpalnya sebagai kalimat pembela.
“Tapi tidak untuk bunuh diri!!” Gigi Gema sudah saling menekan karena rasa geram.
Mereka memang seharusnya tidak usah berteman, musuh lebih cocok menjadi hubungan. Racun yang dibuat segenap hati dan jiwa, terdengar menarik! Kubuka tutup botol tersebut dan segera meneguk tanpa merasa takut.
“STOP NESTA!! KAU UDAH GILA YA? Kenapa malah diminum!?” Suara Gema menurun kala botol sudah berhasil diraihnya. Tumpahan mengenai bajuku, yang syukurnya berwarna hitam.
“Aku rasa itu cuma air jahe dicampur gula merah,” tebakku pada Gema dan itu membuatnya menepuk jidak. Dengan cepat mata mengarah pada Siska yang kini sudah berdiri. Namun, Siska hanya menampakkan gigi-giginya yang rapi.
“Cihhh....” Botol yang tadi di tangan segera diserahkan kembali pada Siska.
Walau Gema sudah menarik tanganku untuk pergi, simpul senyum Siska tetap mengikuti kami dari belakang. Entah ke mana gadis cantik ini akan membawaku. Tujuan yang diinginkan tidak jelas. Mungkin hanya ingin menghindari musuh yang disebut teman. Langkah Gema yang buru-buru terhenti oleh seorang lelaki berpostur besar. Aku mendongak kearah lelaki itu, sedang dua gadis aneh yang bersamaku berniat kabur meninggalkan.
“Sekarang tentukan keputusanmu!” bisik Gema sebelum menghindari kecanggungan.
Sekarang hanya ada aku dan Bang Depo. Aku tidak tahu mengapa setelah perkataan Gema tadi, jantungku seolah akan berubah posisi. Tidak ada sepatah kata yang dapat kujadikan tameng pertahanan dan rasa gugup tidak bisa dihindari. Pandangan datar, seolah tanpa tujuan. Otakku hanya mampu mengombinasikan satu kata yaitu ‘MENGERIKAN’.
“Ada apa dengan ekspresi ketakutanmu itu? Memangnya aku monster?” Akhirnya sebuah ocehan mencairkan suasana tegang. Aku hanya membalas dengan cengiran. “Hari ini aku nggak ada kerjaan, jadi nanti aku mau ngantar kau pulang!” Ia berlalu sebelum penolakan kukeluarkan dan aku pun mendengus sendirian.
Ini masih permulaan tapi rasanya sangat buruk. Jangankan besok, hari ini saja sudah terasa sangat sulit. Tidak... tidak... tidak selama Raka tidak tahu, semua akan baik-baik saja. Aku hanya perlu bungkam dalam diam. Semua akan mampu kukendalikan.
*
Keringat mulai mengucur deras dari peluhku. Mulai kugigiti kuku jemari yang sebenarnya tak panjang. Sepeda motor yang kami naiki, malah berhenti di depan sebuah warung pinggir jalan. Sekarang apa maunya? Rumit... rumit... rumit! Rasanya aku ingin mengutuki diri. Aku tidak mau turun dan Bang Depo juga tidak memintaku melakukan hal itu. Aku harap ia membungkus makanannya.
Setelah menunggu dengan ketidaktenangan lelaki itu menghampiri dengan senyum yang dibuat-buat. Harapanku memang terkabul, tapi laju sepeda motor menjadi sangat lambat; kurasa jalan kaki akan lebih cepat.
“Makasih Abangda, hati-hati di jalan ya!” ucapku sebagai tanda pengusiran. Namun, ia tidak memperdulikan dan segera masuk mendahuluiku. Kini ia sudah duduk di teras dan membuka yang tadi dibeli. Kupikir itu untuk makan malam, ternyata tak jelas untuk makan kapan.
Ingin sekali aku mencakar orang yang bertindak sesuka hati ini. Aku yakin keisengan baru sedang direncanakan. Kulirik jam di tangan, ternyata sudah pukul empat sore. Saat ini Raka sedang bekerja, tapi kejadian yang lalu membuatku trauma. Hadir para lelaki memang tergolong tiba-tiba; termasuk Bang Depo juga Raka.
Di bagian ini aku hampir tertipu dengan akhirnya😆😅
BalasHapus