Putih yang menyamar Hitam-Chapter 14




Pasangan Pesta

 

~Meski tanpa bicara, malam dan pagi saling mengerti kapan harus pergi. Bagi mereka, tidak perlu saling bersama untuk bisa menjaga siklus hidup~

***

Kalau kau diajak ke pesta pernikahan, itu berarti kau dijadikan pasangan.” Penjelasan Gema membuat aku sedikit tak percaya. “Omong kosong kalau kalian bilang cuma sahabatan!” lanjutnya mempertegas ucapan.

Persahabatan kami itu konsisten, mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Sudalah cepat kasih aku saran pakaian,” paksaku pada Gema yang mulai menggaruk kepala yang tidak gatal dan aku tidak ingin lagi menggunakan busana gagal.

He’eh cuman sahabatan,” sahut Siska yang sibuk dengan cemilan di mulutnya, kami hanya menggeleng dan kembali pada pembahasan.

Saran aku pakai gaun aja, tapi jangan yang heboh-heboh amat. Terus nanti tambahkan usapan pelembab, bedak tabur, dan liptint. Alismu enggak usah diapa-apain, udah bagus soalnya. Tapi ingat, jangan berlebihan! Yang nikah bukan kau! Punya nggak? Perlu dipinjamkan make-up?” tanya Gema dengan semangat. Gadis ini memang sangat cerdas urusan penampilan, aku memang tidak salah tempat berkonsultasi.

“Punya walaupun pilahannya terbatas he… he….” Aku nyengir pada dia yang bersedia memberi saran.  Lalu kedua jempol diberikan sebagai respons.

Setelah dipikir-pikir lagi Gema ada benarnya. Sekarang saja rasa suka Raka sedang bergulat dengan jiwaku. Raka sudah punya pacar, tidak mungkin gadis sepertiku berubah menjadi perebut. Sekarang peringatan Bibi sudah menyusahkanku.

*

Kami bersikap seolah tidak ada yang terjadi kemarin malam, tapi dari tadi Raka memandangiku dengan sangat aneh; lebih tepatnya terperangah. Aku mulai salah tingkah dan beberapa kali terbata dalam berkata. Keringat dingin mulai mengucur di sekujur tubuh. Kumohon jangan panik dan jangan mempermalukan Raka! Berkali-kali aku menarik napas agar percaya diri kembali. Teman-teman Raka terlihat membawa pasangan dan mereka mengenalkannya sebagai pacar. Kalau Raka? Entahlah….

“Wah Raka juga bawa cewek cantik ya! Kenalin dong siapa namanya, sambut teman Raka yang terlihat rapi dengan kemeja peach, serasi dengan gadis yang di sampingnya.

“Jadi ini pacarmu sekarang? Yang lama ke mana? Seseorang yang mungkin kukenal bercelutuk dengan ramah.

Raka pernah bercerita tentang Bang Herdi dan di sampingnya adalah istri tercinta. Mereka baru menikah sekitar dua bulan lalu, Raka tidak sempat menghadiri acara mereka dan malam itu aku jadi tumbal untuk teman bercerita. Ia juga menunjukkan foto mereka yang diupload di sosial media.

Cuma sahabat kok Bang Herdi, namanya Nesta. Aku menyalami tiga teman Raka beserta pasangannya. Yang satu lagi lebih banyak diam tak berkomentar.

“Abang sama dia dulu juga berawal dari sahabat. Awas aja kemakan cakap!” Rupanya Bang Herdi sangat humoris. Pantaslah ia terlihat muda, meski umurnya sudah berkepala tiga.

Semua teman Raka spontan tertawa dan mulai menimpali dengan peringatan. Ada juga yang tertawa meski hanya mengatakan ‘amin’ sebagai doa. Aku hanya bisa ikut tertawa sebagai tanda terbawa suasana, semoga kelak aku tidak melukai wanita Raka.

*

Setelah membebaskan diri dari acara pesta. Sepeda motor Raka sudah terparkir di pasar malam. Selain taman, ini adalah tempat favorit ke dua kami untuk berbagi tawa dan cerita. Kami hanya akan menikmati lampu kelap-kelip yang dijadikan hiasan, juga gula-gula berwarna merah muda. Hari ini pun kami takkan melewatkan ke duanya.

“Kenapa tidak minta ditemani pacarmu saja? Bagaimana kalau Bang Hardi mengadukanmu? Aku masih mewaspadai persahabatan yang akan mengancam hubungan.

“Kau keberatan menemaniku?” tanyanya seraya membuat langkah kami seirama, mungkin jalanku terlalu lama. Dia tidak berhak cemburu dengan sahabatku! Pernyataan barusan membuat hati semakin bimbang untuk menilai yang terjadi.

Mengapa aku bersedia diperlakukan berbeda dari persahabatan pada umumnya? Mengapa menjadi berbeda kujadikan sebuah pilihan? Bukankah semua hal yang berbeda akan sangat menyulitkan? Bayangkan jika di dunia ini, yang memiliki rambut keriting atau yang memiliki tubuh tinggi hanya satu orang saja!? Jadinya minder bukan? Belum lagi harus tahan banting dengan berbagai hujatan. Aku tahu menjadi berbeda tidaklah seburuk yang dikira, namun jika dalam urusan cinta, berbeda akan menjadi siksa.

Nest, mulai sekarang aku akan menjagamu lebih ekstra. Jangan dekat-dekat lagi dengan seniormu itu, mengerti!?” Perintah yang terlalu tiba-tiba, hanya mampu membuatku mengangguk kepala. Astaga…! Mata itu mengedip-ngedip agar maunya segera kuiyakan. Sudahlah, biarkan dia semaunya.

Meski tanpa bicara, malam dan pagi saling mengerti kapan harus pergi. Bagi meraka, tidak perlu saling bersama untuk bisa menjaga siklus hidup. Cukup melakukan bagian masing-masing, tapi apakah benar hanya dengan begitu sudah cukup? Malam ini terlalu singkat untukku menemukan penjelasan. Lagi-lagi aku membiarkan dan mengikuti arus batin. Setelah ia nanti lengah akan kupaksa arus itu berputar untuk membawaku ke tempat seharusnya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)