Putih yang menyamar Hitam-Chapter 16
Sahabat Rasa Pacar
~Sebelum
rasa ini muncul kepermukaan, aku harus membabat semua habis-habisan. Aku juga
manusia, yang berusaha menghindari luka~
***
Aku kembali membuka lembaran lalu membawa
imajinasi mengitari tawa, tangis, dan perasaan lainnya. Ketika lembaran tawa yang terbuka,
mulut ini juga ikut tertawa. Jika lembar tangis yang terbuka maka wajah
mengekspresikan kesedihan mendalam. Rasanya seperti sedang bercermin ke masa
lampau. Sambil terus mencari jawaban untuk hati, kunikmati setiap kenangan di
dalam. Kenangan bersama Raka di buku harian yang entah sejak kapan mulai
kutuliskan.
“Cie ada yang lagi jatuh cinta.
Senyam-senyum pula,” sambar Bibi yang mendapatiku di kamar.
“Menurut Bibi persahabatan Nesta dengan Raka gimana?” tanyaku
tanpa berpikir respons yang akan didapat.
“Dari kemarin ‘kan udah Bibi bilang kau jangan
terlalu sering jalan sama Raka, karena apa? Karena berhubungan dengan lawan
jenis yang udah pacar hanya akan membawa masalah. Nanti kau yang malah kecewa.”
Seluruh semesta akan berpendapat demikian, jadi suara tak mau membuat dalih
yang berkelanjutan. Bibi meninggalkanku dengan kecupan, sepertinya aku
dipersilahkan merenung.
Mulut hanya terkatup, coba membiaskan
kata yang sempat terdengar. Namun percuma, hanya sesaat saja, berbagai kalimat
baru tercipta tentang perasaanku terhadap Raka. Sebelum rasa ini muncul kepermukaan, aku harus
membabat semua habis-habisan. Aku juga manusia, yang berusaha menghindari luka.
Lalu, bagaimana caraku melakukannya?
Aku kita tidak akan pernah bisa
memastikan bagaimana perasaan ini esok. Masih sama atau akan berubah. Setahun penuh sudah
persahabatan ini terjalin dengan baik-baik saja, tapi sebuah ego berusaha meenghancurkan ikatan. Sekarang aku membutuhkan
coretan kenangan yang akan tersimpan rapi di salah satu sudut memori.
***
Kami adalah sahabat rasa pacar. Di
mana hubungan tercipta tanpa rencana. Defenisi sebuah hubungan tidak pernah melintas begitu
saja. Setiap bagian datang satu persatu tanpa memikirkan susahnya ke depan. Ada yang kecil juga besar,
ada yang cerah juga kelam. Yang paling diinginkan ialah berwarna cerah. Sayang, kita tidak bisa memilih dan hanya
dapat merenung tentang kata ‘Seandainya’. Semua seperti sesal yang tak
seharusnya terjadi.
Drrrrtttt… Drrrrttttt…
Sebuah panggilan tak terduga, membuat
dahi berkerut mengundang tanya. Ini masih pagi, seharusnya kami sibuk dengan
jam kuliah. Aku masih ada waktu lima menit untuk mengobrol. Barangkali ada hal
yang mendesak.
“Apa senior itu masih dekat-dekat samamu?” Semua yang dikatakan semakin
membuat hatiku terbakar gemas. Tanya yang tanpa basa-basi itu, menyuruh tanganku
mengakhiri panggilan. Namun, aku tak sampai hati melakukan.
“Enggak lagi kok, tenang aja!” Dusta
tidak akan membuat hati tenang, detak jantung tidak pernah stabil karena takut
ketahuan. Harus segera kuhentikan, tentu dengan kebohongan lain. “Raka dosen
aku udah datang, bye.” Suara berbisik
menambah kesan kebenaran dan begitulah kuakhiri sambungan. Aku menghela tak
tahan.
Aku seolah melihat diri menangis di atas panggung
kehidupan. Menyesali setiap perasaan yang tercipta tanpa dikehendaki. Mengapa
harus aku yang Raka sukai?
“Masih juga pagi, bohongnya udah kali. Mau sampai
kapan!? Saran
aku, langsung aja bilang sama dia, biar tahu diri juga tuh cowok!” sambar
Gema yang duduk di sampingku. “Kau juga harus siap jauhin, kalau dia milih
pacarnya.” Karena tidak memberi tanggapan, tudingan pun diberikan. “Atau
jangan… jangan… kau suka juga lagi sama dia!” Volume suara Gema memancing
pandangan teman sekelas.
Rahasia tidak akan bisa disembunyikan terlalu
lama, apalagi untuk gadis yang tak berpengalaman. Ujung-ujungnya pasti ketahuan, tapi
manusia bagai tidak memiliki kesibukan, sehingga memilih berbohong
sebagai petualangan. Malah ada beberapa yang berkata; jika mampu ditutupi sampai akhir, maka terhitung
sebagai kejujuran.
“Eng... gak... enggak mungkin lah!!” Aku gelapan
seolah ada yang tersimpan.
“Sekarang periksa dan pahami dulu hatimu lalu
bertindak, agar semua tidak jadi penyesalan yang berkepanjangan. Aku takut
kau benar-benar suka sama si toxic
itu.”
Seolah mengerti dengan saran Gema kepala ini mengangguk
refleks. Memahami keinginan hati tidak akan ada habisnya. Kadang hati suka
bertindak dengan berlebihan bahkan ia sering lupa diri. Ia cemburu dengan sangat keterlaluan, marah dengan tidak
semestinya dan kesal dengan sesuatu yang tidak perlu. Hati tidak boleh diberi kebebasan
bertindak. Jika tidak ingin dikendalikan, belajarlah untuk bisa mengusainya.
*
Sudah tidak seharusnya bantahan keluar untuk menutupi kenyataan. Aku telah gagal membuat
kebohongan ini menjadi sebuah kebenaran. Bukankah hadirnya cinta karena kita
sering bersama? Harus kuakui, aku juga menyukai Raka. Jujur aku
cemburu kala dia sedang bersama kekasihnya. Aku hanya mendoktrin diri bahwa
kapalku masih mengitari samudra dan belum menemukan tempat singgah.
Aku takut terluka. Berani jatuh cinta
adalah cara terbaik untuk menanti kecewa, aku tidak siap seperti kisahku dengan
Sata. Jadi, tatapan Raka kuartikan
sebagai cinta persahabatan.
Aku
tidak ingin salah menilai seperti kejadian di masa lalu.
“Raka gimana kalau aku juga suka samamu? Kau datang dengan rasa cemburu yang
tidak masuk akal dan aku harus mengungkap semua. Aku mau kita pacaran
atau kita akhiri saja persahabatan,” ancamku penuh dengan ekspresi
serius. Keadaan yang sepi membuatku berani.
“Nyatain perasaan kok sama pohon tua. Teriakin aja
terus biar diganggu penghuninya seumur hidup. BETINA GOBLOK!” Seperti
yang sudah kubilang, hadir lelaki cenderung tiba-tiba. Namun, untuk kampus
hadir Bang Depo sudah semestinya.
“Namanya juga latihan. Lagian siapa tahu pohon ini
bisa dijadikan alat komunikasi untuk menyampaikan isi hati. Sekarang ‘kan
teknologi udah semakin canggih.” Kulakukan dengan nada angkuh.
“Kalau aku yang nyatain perasaan ke kau gimana?” ungkap Bang
Depo dengan mata menggoda. Aku menelan liurku yang belum waktunya. “Oh aku tahu,
kau suka sama cowok yang di pantai kemarin ‘kan? Aku enggak yakin dia lebih
baik dari aku, tapi enggak apa-apa, bagiku cinta tak harus memiliki.” Sekarang
dia membuat spekulasi sendiri.
Sebuah hubungan bukan tentang menyepakati keadaan, tapi tentang bagaimana menaruh
akar pada hati seseorang. Semakin dalam akar itu tumbuh, maka semakin dekat pula keberhasilan. Banyak orang mengira hubungan
hanya sekadar
menanam tanpa perlu dirawat. Hubungan itu seperti biji tanaman, perlu ditabur lalu dirawat
hingga benar-benar memiliki akar yang kuat.
Kebanyakan orang hanya sibuk mencari biji hubungan, lalu menanam dengan rasa
yang menggebu-gebu. Itulah akhir biji hubungan yang masih memunculkan satu senti
akar.
“Abang lagi bercanda ‘kan? Mana
mungkin Bang Depo suka sama aku! Ha… ha…
ha….” Aku berusaha membuat ke dua alisku menyatu, lalu tertawa karena
mendapati dia yang tersipu.
“Nest, cinta ini enggak sebercanda yang kau kira.”
Tampaknya ia mulai kesal.
“Aduh… ha… ha…! Bilang apa tadi!? Coba replay!”
Aku menutup mulutku yang masih ingin terbahak.
“Kayaknya kau udah mulai gila ya
karena cowok itu, ayo aku antar ke rumah sakit jiwa!” Aku tidak membatah kala
ia merangkul tanpa bertanya. Bang Depo akan membawaku pulang ke rumah, bukan
rumah sakit jiwa. Senyum masih mengembang sepanjang jalan.
Aku berjanji pada diri akan
menyelesaikan rasaku padanya. Namun, saat ini mulut ini masih tercekat dan aku
punya alasan yang mengikat yaitu bingung cara bersikap. Bisu bukan sekedar mendiamkan pita
suara. Bukan pula sekedar mengatupkan mulut untuk tidak bicara. Bisu yang
sesungguhnya ialah berusaha berkata namun tidak bisa.
Tercegat oleh berbagai alasan yang selalu ingin
mempermaikan hidup. Bersenang-senang dengan pesakitan lalu tertawa bersama
kesengsaraan. Membangunkan yang tertidur tidak mampu, melanjutkan yang tertunda
tidak sanggup, bahkan
melahirkan yang belum ada tiada daya. Gugur secara perlahan, mati secara
dramatis dan terkubur tanpa disadari. Seperti rasa yang sampai kini belum bisa
menepi.
Harus cepat kuselesaikan yang mengganggu, sebab usik baru telah menyiapkan diri
untuk datang. Jika aku menekan tombol tunda semua akan menumpuk bagai benang kusut.
Masih pagi buta, mata masih segar layaknya embun pagi yg membasahi bumi. Chapter 16 Done๐๐
BalasHapus