Mendiskusikan Tuhan bersama pasangan
“Sepertinya kita tidak sepadan sayang, kamu jauh lebih baik
dariku,” ucap Atha dari seberang telepon. Aku yang tadinya asyik mengunyah buah
apel seketika tersedak dan memukul-mukul dada. “Hati-hati makannya!”
“Uhuk…uhuk….” Aku
berusaha melegakan tenggorokan. “Kamu sih, ngomongnya aneh-aneh. Kalau kita
enggak sepadan, berarti kamu bukan pasangan yang berasal dari Tuhan dan aku
tidak mau pernyataan semacam itu.” Aku mendengus kesal.
“Bukan aneh-aneh sayang, faktanya memang demikian.”
“Siapa kamu berhak menghakimi dan menilai manusia!? Yang
aku tahu kita sama, tak sempurna, namun sedang berusaha berubah. Aku tidak
lebih baik darimu, begitu pun sebaliknya, kamu tidak lebih baik dariku.”
Atha terdiam cukup lama dan aku membiarkannya untuk sejenak
menyusun kata. Kami sudah berpacaran selama dua tahun, menemukan banyak hal
yang tidak menyenangkan bukanlah suatu penghalang. Pasangan yang tepat bukanlah
ia yang sempurna, tapi seseorang yang mau berusaha menjadi versi terbaik dari
dirinya.
“Mau sampai kapan kamu mempertahankan laki-laki tak berguna
sepertiku!? Aku semakin merasa tidak pantas.” Suara dari seberang mulai
menunjukkan keputusasaan.
“Sampai Tuhan berkata kamu bukan untukku.”
Dari banyaknya lelaki yang berniat membangun cinta, aku
punya alasan tersendiri mengapa menjatuhkan pilihan pada Atha. Aku menyukai
parasnya yang lembut dan penuh pesona. Aroma tubuh yang membangun rasa nyaman,
seorang pekerja keras meski belum punya apa-apa dan sifat berbanding terbalik
yang bagiku mampu menyelaraskan pandangan. Aku menyukai delapan puluh persen
yang ada pada diri Atha, sisanya adalah hal yang paling kubenci dan benar-benar
tak kusuka. Namun, aku tidak ingin menemukan dua puluh persennya lagi dari
orang lain, lalu kehilangan banyak hal yang sebenarnya sudah ada.
Aku menarik napas dalam-dalam, coba menenangkan pikiran
dari segala macam hal negatif yang hanya akan merusak kedekatan.
“Kamu itu buruk, sama seperti aku. Hanya, cara kita berbuat
dosa dalam ranah yang berbeda. Aku tak bisa bilang sepenuhnya yakin bahwa kamu
adalah takdir dari Tuhan. Dari dulu, sampai saat ini, aku telah menemukan satu
alasan yang membuatku terus bertahan. Aku bisa dengan leluasa mendiskusikan
Tuhan denganmu. Aku tak akan dianggap munafik karena masih banyak melakukan
kesalahan, tak perlu merasa sok suci karena terus saling mengingatkan. Aku
hanya butuh itu sampai nanti menua.”
“Kamu benar, mendiskusikan Tuhan bersama pasangan adalah
momen terbaik yang tidak akan pernah bisa tergantikan.” Ini hanya panggilan
suara, tapi aku bisa merasakan Atha sedang tersenyum dengan lega.
“Maukah kamu bertumbuh dalam iman bersamaku?”
“Hahahaha… seharusnya aku yang mengatakan kalimat itu,”
tegur Atha sambil tertawa renyah.
“Sama saja, mau kamu ataupun aku, yang penting saling
sepakat.” Angan tentang menjadi keluarga kecil yang mendambakan Tuhan muncul
dalam pikiran. Tunggu lima tahun yang akan datang, semoga bisa terealisasikan.
Komentar
Posting Komentar