DEPRESI


       

Rasanya sangat tertekan menjadi seseorang yang selalu dicampakkan pertanyaaan menuduh. Seolah-olah aku telah melakukan kesalahan yang besar, disudutkan tanpa berniat memberikan solusi. Lama aku merenung dan bertanya benarkah diri adalah yang salah? Kalaupun demikian, mengapa tidak memberi nasehat lembut? Haruskah dengan kalimat-kalimat mendukakan dan mengundang air mata?

            “Suka heran sama keadaan kamu, padahal taat banget beragama. Kok bisa sih? Orang yang biasa-biasa aja tidak sampai segitunya.” Saudara mulai membuat spekulasi.

            “Bagaimana kalau kamu menyerah saja? Hanya itu jalan terbaik, atau bagaimana bila mengambil jalan pintas?” tawar Ibu tanpa merasa bersalah.

            “Kalau aku jadi dirimu, aku enggak akan lakuin itu!” Kata-kata kekasih juga ikut menyakiti.

            “Kamu memang TOLOL! Semua memang salahmu, lihat berapa banyak yang mengatakan dan menuduhmu!?” teriak otak pada diri sendiri.

            Hari ini aku berjalan sambil menundukkan kepala dan pipi sudah lembab dibasuh air mata. Seharian kalimat-kalimat menjatuhkan berkeliling di atas kepala. Semua seakan ingin menghentikan denyut nadi yang sekarang sudah hampir mati. Syukurnya pekerjaan kantor masih bisa selamat dengan kewarasan yang tersisa sedikit. Namun, perasaan tertekan tidak bisa dibohongi sama sekali, melihat orang di hadapan membuat nurani ingin memerintah pergi. Telah muncul perasaan tidak lagi butuh bersosialisasi, merasa tidak ingin lagi membangun relasi.

            “Aku tidak mengerti, di mana-mana kamu selalu saja bermasalah dengan orang-orang!?”

            Tiba-tiba saja aku teringat kalimat tunduhan lain dari pasangan. Aku pikir, ia adalah sosok yang tepat untuk mengadu, ternyata kapal salah melabuhkan kenyamanan. Tadinya aku sangat bersemangat bercerita untuk mendapat pembelaan, ternyata kudapat sebuah hinaan. Bibir mengatup dengan sigap, tidak lagi ada yang ingin keluar dari hati. Nyatanya kekasihku tidak bisa seperti cara lelaki lain memperlakukan pasangan. Apa harapan ini ketinggian?

            Malam gelap, tiba-tiba bercahaya oleh lampu jalan yang menyala otomatis. Sangat romantis dan aku mulai tersenyum dengan alasan sederhana. Tarikan napas panjang meyakinkan kaki untuk melangkah lebih cepat.

            Tubuh yang lelah membaringkan diri di atas kasur. Satu per satu pesan WhatsApp mulai masuk, itu berarti wifi indekos sudah tersambung otomatis. Jemari meraih ponsel yang ada di dalam ransel kerja. Mulai membaca kalimat-kalimat yang masuk dari tiga saudara angkatku. Sebenarnya tidak pernah ingin membagikan masalah seolah-olah menjadi orang yang perlu dikasihani, tapi mereka selalu saja hadir saat kubutuh, bertanya saat benar-benar ingin didengar. Mereka lembut dan penuh kasih. Mereka tidak pernah menghakimi, yang satu memberikan ayat Alkitab untuk menenangkan, yang satu memberi saran untuk mencari tahu lebih dalam tentang penyebab permasalahan dan yang satu lagi meminta maaf sebelum menyarankan sebuah tindakan. Mereka manis dan kasihnya membuat aku kembali punya pengharapan.

            Terima kasih untuk orang-orang yang selalu baik dan tulus dalam pelukan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)