TEMAN CERITA


“Jadi karena sering diperlakukan begitu, aku enggak mau lagi_.” Mulut bungkam karena otak memperintah jangan lanjutkan.

“Enggak mau lagi apa?” Sora bertanya penuh selidik. “Kok tiba-tiba diam sih!? Ada masalah?” lanjutnya lagi.

“Ra, kayaknya aku harus pulang sekarang!” Aku berdiri, meletakkan uang seratus ribu di meja, meraih tas dan beranjak meninggalkan Sora dalam posisi kebingungan.

“Lan, Lani mau ke mana!?” Teriakan yang cukup kencang tidak membuat langkah terhenti, beberapa orang di restaurant memandang ke arah kami, tapi aku sungguh tidak peduli. Sudah cukup malam ini, saatnya untuk pergi.

Bukan sekali dua kali dan aku masih saja jatuh di momen yang sama. Apa sulitnya membungkam mulut sendiri? Apa sulitnya menyimpan cerita dalam memori? Tak semua hal perlu dibagikan, tidak semua pendengar yang baik akan merespons dengan baik. Namun, menjadi pendiam bukanlah karakter yang mudah untuk diperankan.

Berbagi kisah membuat hati merasa nyaman dan lega, seolah ada beban yang hilang walau tak benar-benar keseluruhan. Di beberapa waktu, beberapa tanya muncul dengan ganas dan mulai memunculkan ketakutan dalam diri.

“Apa hal ini juga perlu kamu ceritakan!? Tidak semua orang perlu tahu kisah sedihmu, kamu berharap mereka mengasihanimu!? Dia juga tidak perlu tahu tentang keberhasilan dan momen bahagiamu, berharap dia bangga padamu!? Bagaimana kalau nanti dia malah merasa jijik, bagaimana kalau nanti dia jadi iri, bagaimana kalau nanti dia jadi merendahkan dan memandangmu sebagai kemirisan!? Bagaimana Lani!?”

“DIAM!!!” Aku berteriak pada suara dipikiran. Sendal bertumit rendah putus dan terpaksa harus ditenteng dengan tangan. Jalan yang penuh grasak-grusuk, langit malam yang tak bertabur bintang dan tiupan angin yang mengilukan tulang, membuat hari ini terasa sangat melelahkan. Dipaksa bergulat dengan pikiran sendiri.

Pintu indekos yang berwana coklat gelap terbanting dengan keras, sepertinya emosi belum stabil. Setelah benar-benar sendirian, air mata mengalir entah untuk apa. Dipojokan kamar, tubuh meringkuk dalam kesepian yang panjang.

“Aku butuh teman cerita, aku butuh seseorang yang mau mendengarkan,” ucapku pada degup jantung yang tak lagi berdetak dengan normal.

Sebuah buku yang tidak terlalu tebal seolah berbicara, judulnya muncul untuk kubaca dalam dada, ‘ALKITAB’. Benar, dengan Dia seharusnya semua bisa dikatakan, mulai dari yang sederhana hingga sesuatu yang kompleks. Tangan meraih dan memeluk dengan begitu dalam.

“Aku mencintaimu, aku merindukanmu, aku ingin mendapat pelukan darimu,” lirihku.

Segala hal, tanpa terkecuali, tapi mengapa rasanya ini berbeda dari yang aku maksudkan? Aku sungguh paham Ia benar-benar ada, sungguh percaya Ia maha mendegarkan. Namun, aku butuh sesuatu yang bernyawa, tidak bisa bicara dan tidak mengetahui semuanya. Aku harus menemukan media baru, mungkin aku butuh tanaman dan di aplikasi berbelanja online tangan sudah dengan cepat memesan.

Sebuah panggilan masuk mendendangkan kekhawatiran.

“Kamu kenapa main pergi-pergi aja sih!? Teleponku juga enggak diangkat dari tadi, kalau ada masalah, kamu bisa cerita, barangkali aku bisa menolong.”

“Tidak apa-apa, aku hanya lupa mematikan ketel elektrikku.”

“Bukannya milikmu yang otomatis ya!?” Sora mulai memasang curiga.

“Syukurnya begitu, kalau tidak kamarku sudah kebakaran. Aku benar-benar panik sampai tidak bisa berpikir jernih tadi. Maafkan aku, lain kali akan kita lanjutkan lagi.”

“Baiklah, tidak apa-apa, yang penting kamu baik-baik saja.”

Komunikasi terputus dan aku tahu tidak akan ada lain kali. Setelah pesananku datang, mental ini akan membaik, semua akan sempurna. Kecuali… jika ada orang yang tahu dan melihat kebiasaan baruku, mereka akan memandang aku sebagai orang gila.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)