LUPA (Sebuah tutorial ingin lari dan mengubur diri di perut bumi)
Aku berjalan sambil memegangi tali ransel dengan kedua tangan. Semua aktifitas masih sama, tapi entah mengapa sedari bangun pagi, senyum ingin sekali ditunjukan pada dunia. Hari ini adalah jadwal piket kelas yang seharusnya mengubah mood hati, untuk kali ini urusan apapun tidak berlaku lagi; meski aku datang sedikit lebih lama.
Sejenak kaki berdiri di depan bendera merah putih yang
telah berkibar. Menatap langit, bangunan sekolah dan kain merah putih yang
berkibar. Tarikan napas mulai menaikkan semangat yang sebenarnya hampir over dosis. Suara meja dan kursi yang
digeser menyusupi telinga, teman satu tim pasti sudah datang dari lama. Setiap langkah
semakin dipercepat dengan sigap, tak ingin melalaikan tanggung jawab.
“Rahel datang jam berapa tadi? Diantarin sama kakak kamu
yang ganteng itu enggak?” Suara girang sungguh tidak bisa disembunyikan.
Perempuan dengan rambut ekor kuda masih sibuk menyapu
tanpa menjawab pertanyaanku. Mata melirik Narnia yang terlihat cemas dan tahu
apa yang sedang terjadi. Dengan bahasa isyarat aku bertanya ada apa dan dia
menarik tangan keluar menjauhi kelas.
“Nah, di sini pasti sudah aman.” Narnia sedikit
ngos-ngosan, mungkin karena tenaga sudah terkuras sebelumnya. “Otak lo
benar-benar sakit ya,” tuduhnya sambil mengarahkan telunjuk pada diri yang tak
tahu apa-apa.
“Apaan sih!? Aku enggak paham sama sekali.”
Anak Jakarta ini memulai penjelasan dengan helaan napas. “Lo
‘kan habis berantem sama Rahel kemarin, enggak ingat lo!?”
Jidat pun mengeryit karena telah melupakan sesuatu. Mengapa
setelah adegan sok ramah tadi sih? Malu banget sampai ingin menghilang dari
muka bumi. Kami bertiga satu kelas dan telah memustukan untuk bersahabat sejak
awal masuk sekolah. Bertengkar memang hal biasa di antara hubungan yang
memiliki kedekatan lebih, tapi kalau sudah begini, rasanya ingin lari dan
mengubur diri di perut bumi.
“Mati gue!” Aku menepuk jidat. “Nia tolongin, gue malu
banget sumpah!” Aku meringis panik.
“A-KU, enggak usah pakai gue-gue segala. Enggak pantas,
enggak imut lagi!”
“Aku lagi serius Ni.” Bibir maju tiga senti.
Sekarang mode serius sudah dipasang, kami mondar-mandir
sambil memegangi jidat sambil berharap datangnya sebuah jawab. Pertengkaran
kemarin memang bukan hal besar bagi kebanyakan orang, tapi menurutku hal ini
penting untuk Rahel. Sore itu kami bertiga sedang berjalan pulang karena arah rumah
yang sama. Retina menangkap sebuah pena imut yang tercantol di ransel milik
Rahel. Aku mengambil dan memainkan pena bergambar wajah oppa-oppa yang tak
pernah kutahu namanya.
Rahel salah satu fans fanatik boy band Korea. Entah mengapa hari itu rasanya sial sekali, aku tersandung
dan pena terlempar ke jalan raya. Hal yang menjadi pemecah adalah sebuah sepeda
motor menggilasnya hingga hancur lulu lantah. Rahel terdiam beberapa detik, lalu
pergi tanpa berucap sepatah kata; termasuk mengeluarkan maki untuk marah. Aku
tahu rasanya kehilangan benda kesayangan dan aku pernah kehilangan novel Boy
Candra yang sengaja kubeli dengan uang tabungan. Membuka lembarannya saja aku
tak tega, jadi hancurnya hati Rahel, aku bisa merasakannya.
“Enggak usah malu, gue udah maafin lo,” ucap Rahel yang
tiba-tiba muncul. Kami mengangkat kepala dan langsung mendekati Rahel.
“Eitss, jangan
senang dulu! Gue udah pesan lagi ke store
barang Korea, bayarin setengah harga ya?” Pelukan pun tertunda.
“Bayar semua juga enggak apa-apa.” Tubuh akhirnya dibalut
kehangatan pertemanan. Pada akhirnya pertengkaran tidak menyelesaikan apapun. Bila
masih sayang, sebaiknya saling menurunkan ego dan emosi.
Komentar
Posting Komentar