CERPEN-Tarombo Si Raja Batak

 

Tarombo Si Raja Batak

Senna Simbolon



“Kau enggak boleh kabur-kaburan dari rumah, Bapak-Mamakmu pasti kecarian!” Nasehat khas logat Batak tidak ingin dihiraukan, bahkan di wajah Ilona tidak ada raut penyesalan. Di sinilah ia seharusnya berada sejak lama, menemukan jawab dari ribuan tanya yang hinggap.

Tidak peduli akan konsekuensi yang akan ia alami, tidak peduli akan pengetahuan yang masih samar; Ilona tetap bertekad menemukan jati dirinya, menemukan keluarga yang tidak pernah tercatat dalam sejarah hidupnya.

“Wajar saja keluarga kita betah tinggal di sini, udaranya sejuk, pemandangannya bagus  lagi. Beda banget sama Jakarta yang penuh hiruk pikuk.” Ilona mengarahkan topik pembicaraan pada apa yang lebih menarik perhatian.

Memandang dari jendela Rumah Bolon khas Batak yang unik dan antik, menambah kesan menarik. Hamparan air berwarna biru nan jernih serta bukit-bukit hijau yang terpampang indah, mampu mendamaikan suasana. Keindahannya melebihi foto yang Ilona lihat di mesin pencarian. Saat ini ia berada di kota Muara yang terletak di pesisir timur Danau Toba. Danau ini merupakan danau kaldera terbesar di dunia. Panjangnya sekitar 87 Km dengan lebar 27 Km. Jadi, butuh waktu berhari- hari untuk dapat mengelilingi danau tersebut.

Bah i do? Hape marlumba-lumba do halak tu Jakarta an. Na ni rippu do um tabo i san,”[1] sambut wanita paruh baya itu dengan gerutuan. Ilona tampak kebingungan karena lawan bicara tidak menggunakan bahasa persatuan. “Yang enggak diajari Bapak-Mamaknya kau bahasa Batak? Bah, nga maup timba[2]!”

“Maaf Bou[3], Ilona tidak pernah diajarkan,” jawabnya dengan rasa bersalah.

“Ya udah, nanti Bou suruh Pariban[4]-mu ngajarin kau.” Ilona mengangguk tanda setuju, ini adalah hal baik untuk mempelajari suku. “Biarpun kau tinggal di perantauan, adat dan bahasa Batakmu janganlah sampai dilupakan!” Suara yang cukup besar bukanlah sebuah tanda kemarahan, tapi intonasi tinggi itu adalah sebuah ketegasan. Penekanan pada setiap huruf ‘e’ menambah kesan lucu bagi mereka yang baru saja mendengarkan. Ilona yang berbekalkan setitik pengetahuan, tetap berusaha menahan tawa sebagai bentuk penghormatan.

***

            Sehari sebelumnya…

Setelah menyebut nama lengkap kedua orang tuanya, seorang lelaki yang sudah sedikit beruban menatapnya dengan kekagetan. Hadirnya Ilona di kampung halaman menjadi tanda tanya besar. Bapak yang tadi sedikit sangar, menjadi lebih penyabar. Dengan sigap, ia pun mengantar Ilona ke tempat yang menjadi tujuan tepat.

“Ngantarinnya sampai sini saja Pak. Terima kasih atas bantuannya,” ungkap Ilona pada sopir travel yang ia pesan sejak lama. Kedatangannya telah disiapkan dengan matang, uang tabungan selama lima tahun pun rela dikuras habis-habisan. Kepergian tanpa pengetahuan orang tua memang butuh pembiayaan besar.

Sekarang ia berjalan dengan lelaki paruh baya yang berbaik hati mengantarkan. Namun, suasana canggung selama berjalan 10 menit, membuat keduanya tidak tahu cara bersikap. Ilona sibuk mempersiapkan mental untuk menemui seseorang yang tidak ia tahu siapa, sedangkan Bapak yang mengantarnya sibuk dalam lamunan panjang. Untung saja mereka segera berhenti di tempat tujuan.

Ketukan di pintu membuat seorang perempuan berjaket tebal keluar dari tempat naungan. Lelaki yang ada di sebelah membuat isyarat dengan mulut menganga tanpa suara. Keadaan berubah menjadi tangis pecah yang bertaburan, pelukan erat telah membuat dada Ilona sesak. Ia belum mengucap sepatah kata, tapi sambutan sudah menjamah. Ilona mulai yakin isyarat itu mengandung informasi penting, informasi yang ia sendiri tidak paham artinya. Meski belum mendapat penjelasan tentang hubungan, Ilona membalas pelukan.

Margorak do mudar ki Parumaen. Nungga balga be hape ho, mirip tu Ito ki do hape bohim.[5] Keributan di luar memancing seisi rumah keluar, untuk menyaksikan kejadian. Sekarang tangis benar-benar menghiasi gelapnya malam.

***

Semua penghuni mulai mengatur duduk untuk makan bersama. Ada sang kepala keluarga, ibu rumah tangga, anak lelaki satu-satunya dan yang pasti Ilona. Ikan Mas arsik saat ini berperan sebagai penyambutan anggota keluarga yang baru dipertemukan. Ilona terlihat senang luar biasa, sekarang ia bisa merasakan duduk di tengah-tengah keluarga besarnya. Walau belum lengkap, tapi sudah cukup untuk melengkapi dan sudah cukup sebagai awal menemukan jati diri. Sebelum angkat bicara, pemilik rumah menarik napas panjang.

“Sebenarnya, kami sangat rindu sama Bapak-Mamakmu. Apalagi, semenjak mereka pergi ke Jakarta. Acara pernikahannya pun kami tak tahu. Malungun[6] kali pas kami lihat kau udah anak gadis. Inilah yang bisa kami bikin untuk menyambutmu ya Maen,[7]” ungkap Tuan rumah dengan haru, lalu semua bergantian menyuapi Ilona dengan sajian yang tadi disiapkan. Air mata yang kemarin sudah berhenti, kini kembali membanjiri.

*

Meski sesi pemberian jawaban atas keluarga yang terpisahkan sudah selesai, jantung Ilona masih berdebar-debar mengingat tutur sejarah yang tadi dijelaskan tadi. Cerita dengan alunan yang lebih lambat membuat kejadian seolah baru saja lewat. Ternyata rasa cinta yang seharusnya menjadi berkat, malah menjadi alasan utama putusnya hubungan keluarga akrab. Orang tua Ilona telah melakukan pernikahan sedarah, sedarah yang tidak satu orang tua, sedarah yang hanya diakui peradatan suku Batak saja.

Awalnya, kedua belah pihak keluarga tidak mengetahui mereka menjalin hubungan asmara. Sang lelaki bermarga Rajagukguk dan Sang perempuan boru[8] Simare-mare; mereka satu rumpun Aritonang. Aritonang ialah keturunan dari Raja Lontung yang merupakan salah satu keturunan langsung Guru Tateabulan. Guru Tateabulan adalah anak sulung dari si Raja Batak, yaitu nenek moyang suku Batak.

Masih terbayang dalam ingatan Ilona, bagaimana sang Bou menunjukkan kertas besar yang bertuliskan ‘Tarombo ni Si Raja Batak[9]’. Jika diperhatikan dengan seksama, gambar di dalam kertas seperti pohon keturunan dari suku Batak. Sangat jelas dan lengkap. Rumpun Aritonang terdiri dari 3 marga, yaitu Ompusunggu, Rajagukguk dan Simare-mare. Cinta mereka dianggap terlarang karena mereka kakak-beradik dalam peradatan.

            Dengan aturan yang begitu ketat dan mengikat, orang sekampung yang telah kecewa akan perbuatan orang tua Ilona, memberi sanksi berupa pengasingan dan diusir dari kampung halaman; bahkan mereka tidak dianggap bagian keluarga lagi. Setelah keduanya merantau ke Jakarta, gosip dan cemooh masih diterima keluarga yang menetap.

Kakek Ilona yang menjabat sebagai salah satu tetua kampung, sakit hati berkepanjangan dan membuat nyawa melayang. Sementara Neneknya menaruh dendam atas kepergian suami tercinta. Secara agama, hubungan itu wajar saja. Neneknya akan sangat histeris dan tidak segan-segan mengucap sumpah serapah kala nama putranya menyusupi telinga. Akar pahit masih membenam sangat dalam. Ia juga berkata tidak pernah melahirkan anak bernama Lamhot Rajagukguk. Kasih ibu yang katanya sepanjang masa, bisa hilang karena suatu dosa.

Kini Ilona menatap lesuh makam Kakeknya yang sangat bersih. Di situ hanya ada beberapa pusara keluarga, sangat terawat dan tidak dibuka untuk orang banyak. Pusara lain terlihat saling berjauhan, hanya pusara keluarga yang berdekatan. Pusaranya dipagar rapi, dibuatkan keramik dan sungguh sangat apik. Bahkan lebih mirip rumah mini, bedanya tidak ada pintu dan jendela. Ilona memeluk bangunan bersalib, berharap Tuhan menyampaikan rindu dari cucunya yang tidak dikenali. Gadis itu sangat ingin menciumi Kakeknya, tapi kini hanya dapat dilakukan dalam doa.

 Amarah segeralah usai, sakit hati segeralah pulih. Aku ingin keluarga besarku. Ahhh, tidakkah Nenek ingin memeluk cucunya? Tidakkah Nenek ingin melepas siksa batin yang mendarah daging?” batin Ilona sambil melayangkan angan pada sang Nenek yang masih hidup, tapi tidak ingin amarahnya surut. Setelah menaburi bunga di pemakaman, Ilona segera menghela napas panjang.

“Bagaimana kalau pulang nanti, aku mengantarmu ke bandara?” tawar pemuda yang disebutnya Pariban. Ilona mengangkat kedua alis sebagai tanda tidak memahami. Kalau mengantar ke bandara, berarti pemuda itu harus ikut ke Kota Medan. Itu jauh sekali. “Aku sekalian balik ke Medan, kebetulan jadwal Coass.” Ungkapan itu bukan sebagai alat kesombongan, tapi agar Ilona tidak merasa jadi beban.

“Keren banget! Kok kamu enggak bilang calon Dokter muda?” Ilona menangkap sinyal kagum yang luar biasa. “Nama kampusnya apa? Swasta atau negeri?” Gadis berambut sedikit pirang itu coba membaur untuk membangun kesan akrab.

“Puji Tuhan bisa diberi kesempatan kuliah di USU,” jawabnya dengan senyum lugu.

            Ilona terpana melihat raut wajah yang penuh misteri. Untuk dapat masuk jurusan Kedokteran di PTN dibutuhkan kecerdasan yang tinggi. Ilona tak menyangka banyak sekali orang Batak yang berprestasi. Seketika ia mengingat Hotman Paris dan juga penyanyi bersuara emas, Judika.

*

“Aku salut denganmu, berani datang sendiri ke sini, tidak takut kesasar?” tanya Togi saat mereka berdua sudah duduk di bibir Danau Toba.

“Tapi aku lebih takut tidak bisa menemukan keluargaku. Rasanya selama ini aku sangat kesepian. Tidak ada cerita yang bisa kubagikan pada teman. Setelah nanti aku pulang, akan kukatakan pada teman kampus bahwa keluargaku sangat hangat.” Senyum Ilona mengembang bagai kembang. “Tapi…, Nenek pasti tidak mau menerimaku. Dari cerita Bou, kelihatannya Nenek masih dendam banget.” Kini wajah lesu telah menjadi peluh.

“Ada kok cara untuk meluluhkan hati Opung[10],” hibur Togi dengan elusan di pundak.

“APA?” sambar Ilona dengat cepat dan antusias. Yang ditanya malah membuat sikap gugup, ia tak menyangka akan jadi terpojok. Maksud hati ingin mencairkan suasana, malah harus memberitahukan cara yang sejak awal bertemu telah memenuhi kepala.

“Ba… ba… bagaimana kalau kita menikah, mungkin itu satu-satunya cara agar keluarga besar kita kembali utuh dan bersama?” Togi menutup mata dalam ragu.

Malam mulai memberi efek hitam dan titik-titik lampu telah menghiasi malam. Pemuda itu tahu bahwa Ilona tidak akan memberi jawaban. Memang pernikahan ini tidak akan ada masalah, malah ini akan memperbaiki derita. Dalam suku Batak, pernikahan antar Pariban bukanlah bencana, malah sudah menjadi anjuran keluarga .

Jika penyebab putusnya hubungan keluarga adalah cinta, maka cinta pulalah yang harus mengobati luka lama. Namun, ucapan itu masih terlintas di kepala. Togi harus maju dengan cara yang lebih terhormat, bukan minta menikah secara mendadak. Tunggu saja sampai ada celah yang tepat untuk menyusupi hati gadis yang mulai mencuri hatinya sejak hari pertama. Yang saat ini ia syukuri adalah, bahwa gadis cantik yang berada di sebelahnya tidak membawa masalah jika diajak berumah tangga.

“Nanti aku pikirkan dulu ya,” jawab Togi untuk menenangkan suasana. Ilona semakin semangat dan berharap rencana yang belum ia tahu apa, akan berhasil nantinya.


(Cerita ini hanya fiksi belaka)




[1] Eh, iyanya? Tapi berlomba-lombanya orang ke Jakarta sana. Yang kupikirnya enak di sana.

2 Eh, hanyutlah timba! (Ungkapan menyayangkan suatu kejadian yang tidak sesuai harapan).

[3] Namboru/Bou ialah Panggilan untuk saudara perempuan ayah kita (Dalam suku Batak Toba).

[4] Pariban ialah panggilan antara anak lelaki dari saudara perempuan ayah dan anak perempuannya ayah kita (Keduanya boleh menikah, meski berstatus sepupu).

[5] Berbunyinya darahku (Ungkapan bahwa firasat pada sanak saudara atau keluarga terutama semarga sangat kuat). Ternyata kamu sudah dewasa dan sangat mirip dengan saudaraku laki-laki/Ayahmu.

[6] Malungun artinya keadaan hati yang sangat sedih sekali.

[7] Parumaen/Maen: Panggilan untuk Pariban anak lelaki kita, yang artinya menantu perempuan.

[8] Boru = Marga, hanya saja marga penyebutan untuk lelaki, boru untuk perempuan.

[9] Silsilah atau garis keturunan Raja Batak.

[10] Sebutan/Panggilan untuk kakek dan nenek. Kalau kakek disebut opung doli dan nenek disebut opung boru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)