Baik-baik Saja

“Kak, aku boleh cerita?” tanya gadis imut yang saat ini duduk di bangku kuliah semester akhir itu.

“Emangnya Jen mau cerita apa?” tanyaku balik sambil grasak-grusuk dengan buku di tangan.

    Kami memang terbiasa melakukan video call sambil menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing. Namanya Jenni, juniorku ketika masa kuliah yang kini malah sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Perhatiannya mampu meluluhkan hati keras yang kumiliki.

“Aku sedih banget kak, kemarin itu aku kecopetan pas di angkot. Padahal itu untuk bayar tagihan kak,” dumelnya sembari memasang raut wajah sedih dan kurasa ia sedang menahan tangis ketidakberdayaan.

“Kok bisa!? Berapa yang hilang?” Aku menghentikan kegiatanku selama tiga detik. Telinga mendengar suara yang sedikit serak, kulanjutkan kesibukan agar tidak terjadi penumpahan air mata.

“Iya kemarin itu aku pulang naik angkot kak, pas turun aku baru sadar salah satu dompetku diambil. Padahal di dalamnya hampir delapan ratus ribu.” Volume suara memelan dan hampir pudar.

Aku memaksa mulutku yang hampir membentuk buncis agar tetap terkatup, “Kakak boleh ketawa nggak!?” ijinku padanya.

“Kak! Aku lagi sedih, kenapa kakak malah mau ketawa!?” Kini ia terlihat sedikit tidak senang, tapi masih dalam suasana manja pada kakaknya. Pipi itu semakin terlihat berisi karena bibir yang dikuncupkan.

“Tahu nggak?”

“Enggak!” balasnya cepat dan sedikit ketus. Kini ia benar-benar kesal denganku.

Aku tersenyum kecil, tidak peduli dia mendengarkan atau tidak. Penjelasan ini jauh lebih penting.

“Bulan lalu kakak dan teman-teman menghilangkan motor orang, jadi kita harus ganti motornya," kataku tanpa memberikan detail kisah.

"LOH KOK BISA!?" 

Aku tersenyum kecil mendapati pupil gadis manis itu membesar dari layar ponsel.

"Ceritanya panjang, tapi yang pasti kita berlima harus ganti motor yang seharga tiga belas juta itu bulan ini, karena bulan lalu uangnya belum ada."

    Jenni diam sejenak, mencoba mencerna apa yang kuceritakan barusan. Mungkin pikiran sedang melayang pada beban yang kutanggung. Aku masih pura-pura menyibukkan diri dengan kegiatan di depan layar. Aku tidak ingin ada suasana pilu hari ini. Kami biasanya menangiskan segala sesuatu bersamaan. Bahkan jika hanya salah satu yang sedang bermasalah, yang satunya lagi pasti akan menemukan alasan untuk ikut mengairi mata.

    Selama empat bulan belakangan, banyak hal besar yang telah terjadi di hidupku. Ada sebuah pencapaian besar yang tak pernah disangka-sangka. Bahagianya luar biasa dan tak terkira, tapi..., jatuhnya ada puluhan, sakit juga lukanya pun tak main-main. Tentu saja salah satunya adalah musibah yang baru saja kuceritakan pada Jenni. Jadi dengan jujur kukatakan bahwa, pencapaian itu menjadi tidak ada artinya sama sekali. 

"KENAPA KAKAK NGGAK CERITA!?" Ada bentakan tidak terima dari intonasi yang kudengar.

"Kakak pikir ini bukan hal yang penting untuk dibicarakan my Jen. I mean, kakak nggak sedih sama sekali kok tentang hal ini. Ya memang, awal kejadian kakak diam sejenak dan karena masalahnya udah terlalu overload malah ketawa sendiri." Jenni memandangku dengan tatapan curiga. "Seriusan!" Kutunjukan jari telunjuk dan tengah yang sedang berdampingan. "Udah enggak bisa nangis lagi. Udah capek!" Aku menarik napas lega setelah mendapati perempuan itu mulai percaya.

"He...!" Jenni ikutan menarik napas lega setelah cengir kecilnya muncul ke permukaan. 

"Mau ketawa bareng?" tanyaku dengan alis yang terangkat sebelah. Kami saling bertatapan, cengiran kecil mulai tak tertahan.

"HA....HA....HA....HA...huhft....!" Seperti tangis, kami juga menertawakan masalah bersama-sama. Terlihat tangan mungilnya mengusap setitik air yang keluar di ujung mata. Sebuah kesedihan yang dipaksa bahagia.

"Semua orang itu selalu bermasalah dengan hidupnya, tapi ada beberapa orang hebat yang mampu menyimpan semua lelahnya, hampir menyerahnya, dan putus asanya dengan sangat baik. Sebagiannya lagi ada yang sudah terlalu terbiasa, akhirnya mati rasa, bosan, dan memilih merespons dengan tawa. Seperti yang kita lakukan barusan. Sisanya adalah orang-orang yang butuh mengekspresikan masalahnya sebagai sarana untuk merasa baik-baik saja."

"Iyakan kak, kadang bisa capek juga kalau udah terlalu banyak yang datang. Satunya belum selesai, eh udah ditambahin lagi yang baru. Akhirnya numpuk deh!"

"Jadi intinya!?"

"Harus tetap bersyukur dan kuat!" Dia mengepal kedua tangan, membentuk tanda semangat ke layar. Intonasi kali ini jauh lebih nyaman untuk masuk telinga, energi yang terpancar juga terasa lebih bergairah. Senyuman Jenni kecil mulai mengembang secara perlahan. "Oh iya kak, kemarin itu......................................................."

    Topik cerita melebar entah ke mana, kami membicarakan berbagai hal yang sekiranya mampu mengeratkan  jiwa. Suasana menghangatkan malam dingin. Malam itu, aku dan Jenni menyadari satu hal, yang terlihat baik-baik saja, belum tentu tidak ada masalah. Bukan perkara kecil atau besarnya hal yang kita alami, tapi seberapa mampu kita mengontrol diri agar tidak menyerah.

Karena sebelum Jenni menelponku, aku sempat berpikir dia baik-baik saja dan ternyata aku salah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)