Putih yang menyamar Hitam-Chapter 21

 


Cinta Tidak Harus Mengikuti Semua Maunya

 

~Untuk segala sesuatu ada masanya. Ada waktu tertawa, ada waktu menangis; ada waktu membunuh, ada waktu menyembuhkan; ada waktu mencari, ada waktu untuk membiarkan pergi; ada waktu memeluk, ada waktu untuk menahan diri~

***

Seperti yang pernah aku katakan, matahari hanya hidup sendiri. Bulan dan bintang membiarkannya kesepian. Mereka tidak pernah mengirim pesan untuk sekedar menyapa maupun bertanya basa-basi tentang keadaan matahari. Apakah ia lelah menyinari bumi? Apakah ia membutuhkan teman untuk sekedar berbagi lelah?

Apa sih rahasia matahari, kok mampu bertahan walau sendiri? Saking kagumnya, aku pengen kayak dia, ungkapku dengan bangga.

“Matahari dan bulan tidak pernah sendirian. Bintang selalu ada di siang maupun malam. Namun, kalau siang bintangnya enggak kelihatan karena cahaya matahari lebih mendominan,” jelas Bibi dengan nada khasnya yang lembut. Sudah belasan tahun aku tinggal bersamanya, tapi tak pernah kulihat ia marah. “Semesta tidak bersifat individual. Semua diciptakan untuk saling menemani dan melengkapi. Jika malam tiba, matahari akan mengalah untuk menyembunyikan sinar sebab ia tahu bahwa sudah waktunya bulan dan bintang yang berperan. Jadi…. Bibi mencolek hidungku pelan.

Jadi, bintang tidak pernah beranjak dari tempatnya. Benarkan?” Kulanjutkan kalimat Bibi yang menggugah rasa. Senyum manis pun dibuat sebagai balas.

Nest, kau harus segera bertemu dengan dia, ungkap Bibi secara tiba-tiba.

Aku takut tidak bisa Bi, bagaimana kalau aku kehabisan waktu? Bagaimana kalau perempuan tua itu terlanjur tiada?” Aku bangkit dari rebah di pahanya.

“Aroma makam juga punya kekuatan untuk menjawab rindu, tapi Bibi sangat yakin kalian masih sempat bertemu. Tuhan tidak sejahat yang kau kira, ujarnya dengan tegas, seolah dia bisa membaca pikiranku tentang sang Pencipta.

“Kuharap begitu, lirihku merasa malu.

Tangan yang lembut mulai mengelus rambutku dengan sangat perlahan. Banyak hal yang kudapat ketika berdiskusi. Mungkin pengalaman hidup membuat Bibi lebih mengerti akan perjuangan yang sedang kualami. Mata terus memancarkan rasa kagum. Pita suara selalu ingin bertanya tentang makna hidup yang sesungguhnya. Telinga sangat ingin mendengar jawab, lalu indra pendengaran akan mengirim data pada otak untuk memproses wejangan jadi  pegangan hidup.

Tidak peduli gagal seratus kali, tidak peduli jatuh sampai terperosok, aku tetap bisa mencoba untuk menakhlukkan masalah hidup. Tidak akan ada seorang pun yang mampu memaksaku berhenti. Motivasi diri, cukup mampu untuk membuat semangat bangkit kembali.

***

Di bawah bulan aku mulai berpikir “Apa gunanya manusia berusaha dengan jerih payah?”. Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin juga berhembus ke selatan, lalu ke utara dan kemudian kembali pada putaran semula.  Segala sesuatu terasa menjemukan, mata tidak kenyang melihat, bahkan telinga tidak puas mendengar.

Jika cinta membutuhkan bisikan, kita tidak perlu memberi teriakan. Hal itu malah akan membuatnya tidak siap untuk mengembangkan cinta yang sedang bergejolak. Namun terkadang, di beberapa jalan yang hampir salah tujuan, cinta memang perlu diteriaki agar mampu memilih dengan baik; agar kita tidak hidup dalam kebimbangan dan tidak mati dalam kehidupan.

Kesempatan yang kuberikan akan memperjelas masa depan. Aku akan menjaga jarak untuk sementara waktu. Kubiarkan saja ia memilih karena hati, bukan karena bujukan gadis perusak. Lagipula akulah yang pertama kali menemukan lelaki itu dan akulah yang selalu berhak memiliki Raka.

“Apa menurutmu kita memang saling jatuh cinta?” Semakin hari semua harus tampak jelas.

“I-ya tentu,” jawab Raka dengan ragu-ragu. Ia terlihat gusar karena bolak-balik mengusap hidungnya. Posisi duduk juga mulai tidak senyaman saat pertama kali datang. Tapi, untuk saat ini kau harus kusembunyikan. Bersabarlah sampai waktu yang tepat datang! Aku janji akan membawamu ke permukaan!” Sekarang Raka sudah sangat percaya diri dengan rayuannya. Tidak lupa mata yang mengedip menjadi pelengkap yang sempurna.

“Aku enggak ngerti kenapa kau sulit memilih antara kami, tapi aku hanya akan memberimu waktu tiga bulan. Kau putuskan Lisa atau kita berpisah!” Nadaku penuh ancam dan memaksa.

Untuk segala sesuatu ada masanya. Ada waktu tertawa, ada waktu menangis; ada waktu membunuh, ada waktu menyembuhkan; ada waktu mencari, ada waktu untuk membiarkan pergi; ada waktu memeluk, ada waktu untuk menahan diri. Begitulah yang seharusnya kuikuti, bertindak sesuai situasi.

“Nest, aku janji akan mengakhiri hubungan kami, tapi enggak dalam tiga bulan,” protesnya dengan raut memelas.

Ada hal lain yang kulihat di bawah matahari, di tempat keadilan masih terdapat ketidakadilan. Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik daripada melihat manusia gembira dalam perjuangan. Aku juga melihat kesia-siaan lain di bawah matahari; yaitu kesendirian.

“Tidak ada dispensasi lebih Raka, aku enggak mau dicap selingkuhan!”

Pada akhirnya aku membulatkan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki keinginan lubuk hati. Aku mengusahakan, menggali, mengumpulkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sukacita, dengan demikian aku akan memiliki kebahagiaan yang besar, lebih besar dari kebahagiaan segala makhluk hidup.

“Kau sahabatku, bukan seling_”

“Tiga bulan atau jangan temui aku lagi!” Wajah masam sudah terlihat mendukung suasana. Semoga Raka mengerti akan apa yang ingin kuhindari. Aku mencintainya, tapi tidak semua keinginannya harus kuturuti. Yang tepat adalah yang terbaik untuk kami.

“Iya,” jawabnya tanpa semangat.

Saat melempar koin, hanya ada dua kemungkinan; keberuntungan atau kebuntungan dan karena semua ada masanya, aku memilih untuk menahan diri. Seperti pohon apel di tengah hutan begitulah akan kulakukan, bersembunyi sampai sembilan puluh hari dari sekarang akan tiba.

Aku tidak merintangi mata dari apapun yang menghasilkan suka, tapi aku harus sadar ada yang tidak sesuai di muka bumi. Ahhh, rasanya tidak adil ketika seseorang yang telah berjuang mati-matian kalah oleh seseorang yang bahkan tidak pernah memulai dari nol. Sungguh ironis untuk dipikirkan. Akankah aku juga akan kalah dari kekasihnya?

Malam ini pun berakhir dengan kecupan hangat pada keningku.


LANJUT CHAPTER 22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)