Putih yang menyamar Hitam-Chapter 31

 



Penobatan Sahabat

 

~Keadaanku jauh lebih baik, setelah ia memilih untuk tidak berbalik~

***

Sekitar lima bulan setelah perjumpaan dengan Bunda (08 Maret 2020).

“Aku sudah kembali dan tidak akan pergi lagi!”

“Aku tidak berharap kau selalu menetap. Lakukan apa yang ingin kau lakukan! Aku sudah cukup dewasa untuk menghargai setiap keputusan.” Aku tersenyum memberi tahu isi hatiku.

Drama Queen,” ejek Siska karena kata-kata kami yang terlalu serius.

“Udah deh, enggak usah ikut campur!” bentak Gema.

Masih sama seperti yang dulu, perang mulut akhirnya dimulai.  Saat memperhatikan mereka dengan perasaan haru, getaran di ponselku  berkali-kali minta diladeni. Ternyata pesan dari teman spesial di zaman SMA. Aku membalas dengan singkat karena ingin quality time dengan sahabat. Ia akan mengerti karena pertemuan ini sangat penting bagi kami.

***

Sekitar lima bulan lalu (28 September 2019).    

“Ternyata aku masih secantik yang dulu.” Berbicara di depan cermin akan memberi kepuasan tersendiri, lagipula menambah senyum akan membuat bibir terlatih saat berbicara nanti.

Mulai sekarang, aku bukan Nesta Alyani yang menyedihkan. Apa yang menjadi milikku akan tetap jadi milikku. Sejauh apapun ia pergi, suatu saat akan kembali. Cinta sungguh mengenali kekasih aslinya. Setelah mengunci kamar, langkah kaki berjalan dengan pasti, bahkan senyum ikut terpatri kembali. Waktunya menemui dia yang telah lama pergi.

Dugaan memang terkadang salah diartikan. Pada kenyataannya bukan Raka yang datang. Betapa terkejutnya hati saat melihat Gema dan Siska berdiri di hadapanku. Tiba-tiba aku kehilangan pita suara.

“Boleh aku minta waktu sebentar? Ada yang ingin kujelaskan!” Gema sama sekali tidak kebingungan seperti diriku. Padangan dan pembicaraannya terarah. Semua seperti telah dipersiapkan. Lagi-lagi aku hanya mengangguk, sementara Siska memilih bungkam. “Lisa adalah sepupuku!” Mendengar pernyataan Gema membuat aku terkejut bukan main.

“Sepupumu!?” Aku coba memastikan pendengaranku. Meski sudah cukup lama tidak berhubungan dengan Raka, aku sungguh ingat jelas nama perempuan yang menjadi kekasih Raka. Perempuan yang menjadi alasan Raka meninggalkanku.

“Suatu hari Lisa mengenalkan Raka padaku. Jika kuberitahu, Lisa akan terluka parah karena Raka cinta pertamanya. Aku mengancam  Raka agar meninggalkanmu. Bajingan itu terus menghindar dan menolak. Aku semakin tidak tahan dan berkata akan mempertemukanmu dengan Lisa. Raka menyerah dan berjanji akan meninggalkanmu. Sementara aku? Aku malah merasa bersalah. Rasa egois diri memilih untuk menjaga perasaan keluarga daripada sahabat. Maafkan aku Nest.” Air mata Gema mengucur sangat deras.

Pilihan memang sangat merepotkan. Kini semua semakin cukup jelas kuketahui. Ini akan memudahkanku bertindak, mengajari cara mengambil keputusan yang tidak akan pernah kusesali.

“Gema, kau harus tahu alasanku terluka bukan hanya karena Raka!” Aku masih sangat tidak terima dengan apa yang baru saja ia jelaskan.

“Aku akan semakin merasa bersalah jika melihatmu patah hati. Jadi, aku memilih pergi sebelum semuanya terjadi di depan mataku.” Gema terus menangis. Begitukah kuatnya perasaan bersalah? Apa ia merasa telah mengkhianati sahabatnya?

“Jadi untuk apa kau kembali, aku tidak butuh kau datang lagi!?” Aku pun masih menjawab dengan sedikit kasar.

“Siska melihat Raka mendatangi kosmu. Kami takut kau tertipu lagi dengan mulut buayanya. Bahkan aku tidak sempat membawa baju sepasang pun. Aku langsung membeli tiket pesawat karena khawatir padamu.” Gema terus menjelaskan dan sesekali aku melihat bukti dari apa yang ia katakan. Termasuk tas kecil yang terletak di atas meja teras. Mungkin hanya muat dompet dan ponsel saja.

“Emangnya kenapa kalau Raka datang!? Apa kau tidak mau sepupumu patah hati karena Raka lebih memilih aku? Hah!?” Aku tahu Gema sangat tulus padaku, tapi entah mengapa ada yang masih menolak untuk percaya.

Gema mengambil ponsel dari tas kecilnya. Ia sungguh semakin membuatku meragu sekaligus deg-degan, barangkali ada bukti yang ingin ia tunjukkan. Sepertinya ia menelepon seseorang. Aku dan Siska hanya diam dan menunggu jawaban. Setelah diangkat, Gema me-loudspakerkan panggilan.

“Halo Lisa?” Sapaan Gita membuatku panik. Apa yang ingin ia tunjukkan? “Bay the way masih pacaran sama Raka? Udah lama enggak dengar kau curhatin dia. Ha… ha....” Gema terlalu to the point, tapi masih sangat santai memainkan dialog. Teruntuk diriku, rasa penasaran sangat kuat menyerang.

“Masih pacaran kok Kak. Malah sekarang Raka makin romantis banget.” Lisa, aku bisa mengenali suaranya dari percakapan di waktu itu. Percakapan yang membawa aku dan Raka dalam sebuah pertengkaran. “Kakak buruan deh cari pacar, biar bisa ngerasain serunya diperhatiin! Hi… hi.…” Tawa Lisa sangat renyah. Apa jadinya kalau ia tahu percakapan ini diloudspaker?

Aku cukup terkejut dan syok. Penipu akan tetap menjadi penipu. Bisa-bisanya Raka datang dengan membawa kebohongan besar. Kurang puaskah ia atas sakit yang kurasa? Mulutku ternganga dan mataku menatap tidak percaya dan karena pikiran yang melayang, aku tidak menyadari telepon itu sudah berakhir. Seketika air mata tumpah dan Gema memelukku dengan rasa iba.

Sekarang aku bisa melihat kebenaran dengan jelas. Betapa sakitnya sebuah kenyataan saat terpampang dengan jelas. Ternyata Gema pantas disebut sebagai sahabat. Aku mulai mengumpulkan kembali kesadaranku dan inilah akhirnya bahwa persahabatan kami harus dinobatkan.

***

Sekarang (08 Maret 2020).

Aku bersyukur bisa mengakhiri semua dengan Raka. Saat itu, aku tidak serta merta mempercayai tuduhan dari satu pihak saja. Itu sungguh tidak adil seperti matahari yang ditinggal sendiri. Aku memutuskan membuat suatu pertemuan, yang tidak Raka ketahui adalah sebuah akhir dari cerita kami.

Di tengah perjalanan ada getaran yang menyatakan pemberitahuan pesan WA. Aku tentu tidak membaca semua karena tidak tahu kata sandinya. Aku hanya melihat pengirim pesan diberi nama ‘Lisa sayang’. Raka tetaplah pecundang yang tidak akan pernah bisa memilih.

Aku tidak memberitahunya tentang apa yang kuketahui. Bajingan akan tetap beralibi meski sudah ketahuan dan tertangkap basah. Dengannya semua telah kuakhiri, semua telah kuanggap selesai. Keadaanku jauh lebih baik, setelah ia memilih untuk tidak berbalik. Memang sangat mudah melepaskan, tapi selain butuh waktu lebih, melupakan juga butuh pengganti. Inilah aku dan kedua sahabatku, bersama menikmati indahnya hidup.

“Memang ya, kalau udah wisuda bawaannya songong. Yang ditambahin itu ilmu, bukan sikap menyebalkan!” omel Siska tiba-tiba. Ya tentu Gema wisuda lebih cepat karena di Jawa lebih memungkinkan untuk mengambil semester pendek.

“Makanya otak dipake, biar lulusnya enggak lama!” Sejauh apa aku melamun hingga ketinggalan episode paling penting?

“Nest, kita dibilangin enggak pake otak sama Gema!” Aku mendengar percakapan mereka, tapi Siska masih merengek menyampaikan apa yang menjadi keluhannya.

“Besok mau aku traktir makan mi ayam legendaris dekat kampus enggak?” godaku untuk menghentikan perdebatan mereka.

“MAU!” Mereka pun merespons serentak. Bertengkar bukan berarti tidak ada kecocokan. Itulah Gema dan Siska, sahabat terbaikku.



LANJUT CHAPTER 32 (END)








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)