Putih yang menyamar Hitam-Chapter 28
Jawaban
Rindu
~Orang
yang selalu menghindar pasti punya rahasia yang tidak ingin diumbar~
***
Plakkk…
“MAMAH STOP!!” Aku berlari menarik Mamah yang terlihat beringas membantai
mangsa.
Apa yang sedang terjadi kali
ini? Kenapa Mamah bisa sampai di rumah Bibi? Siapa perempuan yang sedang
menjadi akar keributan ini? Tatapan yang seolah pasrah, membawa tangisnya pecah
tanpa berbuat apa-apa. Bahkan tamparan kasar tadi tidak membuat pita suara
bekerja. Untuk menyaksikan inikah aku di sini?
“Biar Nest, biar dia rasain
sakit hati Mamah!!” semburnya menyala-nyala. “Aku kecewa Melani! Untuk apa kau
bawa perempuan itu ke sini? UNTUK APA…!?” teriak Mamah pada Bibi, sambil terus
berusaha meraih perempuan yang tadi ditampar.
Mamah mulai ngos-ngosan setelah
pertengkaran itu kuhentikan. Napas pun tersenggal, mata melotot serasa ingin
keluar. Sudah seberapa jauh pertikaian ini terjadi? Mengapa Mamah bertingkah
sangat sadis?
“Aku hanya ingin Nesta tidak
menderita lagi.” Perbedaan volume suara Bibi, sangat kontras dengan Mamah. Bahkan
jawaban Bibi sangat lembut dan penuh peyakinan agar terjadi perubahan
pandangan. Tangannya terus berusaha melindungi perempuan itu dari kegilaan yang
sulit diberi jeda.
“Apa yang sebenarnya
terjadi?” Mata bergantian meminta jawaban dari mereka bertiga. Namun, tatapan
Mamah pangling dari rasa penasaranku.
“Ayo kita pulang, Nest!”
Bukannya menjelaskan, malah menarik lengan dengan paksa. Aku yakin, ada yang
sedang disembunyikan. Orang yang selalu menghindar pasti punya rahasia yang
tidak ingin diumbar.
“Nggak mau, Nesta mau di sini!” Setelah lengan terlepas dengan hentakan,
kuelus kulit yang sedikit memerah. Semua hal yang dipaksa akan selalu meninggalkan
luka. Parahnya jejak juga ikut membekas. Aku akan terus menghujam tuduhan agar
segera mendapat kejujuran.
Kulirik ekpresi perempuan
yang ketakutan, ia terus berlindung pada punggung Bibi yang sebenarnya tidak
tangguh. Dalam tangis tanpa suara, perempuan itu terus memandangiku. Seperti
ingin menyentuh, tapi tak mampu. Ia menanti saat yang tepat untuk bisa mendekat.
Kulit telah mengeriput,
kantung mata telah mengendur dan setengah rambutnya tidak hitam lagi. Mungkin
usianya 5-10 tahun di atas Mamah. Tatapan itu mengharapkan aku tinggal.
Sambil terus memperhatikan,
pandanganku seperti buram tak tentu arah. Ada bayangan yang tidak kukenal
mencoba singgah. Potongan-potongan ingatan seakan mulai hadir untuk memperjelas
sesuatu yang telah lama hilang entah ke mana. Kukedip-kedipkan mata yang hampir
kehilangan daya. Aku seperti mengenal dia yang kini menjadi penyebab amarah
Mamah.
Ternyata sudah 15 tahun
telah berlalu. Banyak yang telah berubah dari wajahnya, tapi manik tentu masih
sama. Bola mata berwarna hitam pekat dan sorot yang selalu memancarkan iba. Dari
mana datangnya ia, hingga aku seperti bermimpi mendapatinya tanpa usaha?
“Apakah dia__?” Mata
bekaca-kaca hingga mulai menangis tanpa tahu artinya. Senangkah? Sedihkah?
Tetapi tidak untuk keduanya.
“TIDAK! BERHENTI MENDEKATINYA
NESTA!!” Tiba-tiba beringas Mamah meningkat saat aku mulai coba mendekati
perempuan itu. Mamah kembali memaksa untuk ikut pergi. “MAMAH BILANG PULANG, YA
PULANG!!” Kini pergelangan tangan atas menjadi target kekerasan.
Perempuan yang melahirkanku
seperti kesurupan setan. Urat-urat leher menyembul keluar, bahkan bola mata
membelalak menimbulkan ketakutan. Bibi pun seolah tidak berani lagi mengambil
tindakan, tapi aku tidak ingin melewatkan kesempatan. Apalagi setelah belasan
tahun dinantikan. Mengapa kali ini aku tak berdaya menghadapi orang yang tidak
kucinta?
Biasanya aku mampu
mempertahankan apa yang kusuka, tapi orang yang jarang marah menyulutkan kengerian
yang tak mudah ditenangkan. Mamah sudah tidak peduli, kini bukan hanya
pergelangan tangan yang menjadi korban. Tubuh ini terjatuh dan Mamah menyeretku
sekuat tenaga. Lutut yang terbentur batu serasa nyeri dan perih.
Arti tangis mulai berubah,
aku meringis karena luka fisik yang seakan memaksa menyerah. Mamah menjadi gila
seperti singa. Para tetangga mulai berkumpul menonton adegan yang menimbulkan
duka. Pemandangan yang tidak mengenakkan mereka nikmati layaknya sebuah acara.
“Tenanglah Dian! Lihat kau
melukai Nesta.” Bibi mencoba melepaskan cengkraman Mamah. Namun, sungguh tidak
bisakah ia memaksa lebih keras lagi? Rugi sekali rasanya saat ingin marah,
suara masih saja melemah.
“DIAM………………………………….!!!”
Mamah benar-benar menjadi gila. Suara melebihi delapan oktaf dan melengkingnya
sangat menyiksa gendang telinga. Kami tercengang seketika.
“Di… di… an lepasin dia, aku
akan pergi! Maaf telah kembali.” Ia lunglai seakan tak tahu mengambil sebuah
peran.
Jangan merusak penantian panjangku
akan sebuah kerinduan! Bila semua berakhir sebelum waktunya, berapa lama lagi
harus kutunggu penyelesaian yang mungkin akan hilang ketika semesta menjemput
usia yang menua. Bila tanpa jawaban, rindu ini takkan mereda dan takkan pernah
tahu untuk siapa.
“MAMAH CUKUP!!” Seorang
lelaki yang sangat kukenal muncul entah dari mana. Empat pasang mata melongok
kearah pekik. Ia sudah lebih dewasa dari yang terakhir kali kulihat. Ketampanannya
juga semakin bertambah. Lalu mengapa ia bisa ikut hadir di antara kegaduhan? “Mau
sampai kapan Mamah begini? MAU SAMPAI KAPAN!?” Teriakan Alfan membuat Mamah
melepas tekanan pada lengan. Kesadaran seolah kembali dari petualangan. “Kak
Nesta berhak mendapatkan kebahagiaan. Apa Mamah pikir sudah menjadi Ibu yang
baik? Setelah melukai batin, sekarang Mamah juga telah melukai fisiknya,” tegas
Alfan dengan suara yang lebih rendah, tapi lebih seperti menyudutkan Mamah.
“Alfan….” Seketika suara
Mamah menurun bahkan hampir tak terdengar.
Mamah mulai menangis.
Seperti orang yang baru sadarkan diri, ia bergerak mundur tidak percaya apa
yang telah dilakukan. Langkah mundurnya tertatih, mulut menganga, terkejut dan
masih tak percaya. Kini aku bergidik ngeri menunggu reaksinya. Meski begitu,
aku masih terus dicambuk pertanyaan akan lontaran kasar dari Alfan. Aku cukup
berterima kasih, sekaligus tercengang akan kalimat yang ia beri.
Setelah kesadaran mulai
terkumpul, ia mulai mendekatiku dengan derai air mata. Spontan aku menghindar
tak ingin disentuh. Mamah menjadi orang gila yang tidak terkontrol dan itu
membuatku merasa ngeri. Gertakan giginya seakan ingin menerkamku, bahkan
pelototan seakan mengancam nyawaku. Segera Bibi menarikku mundur dan
membersihkan celana yang kotor terkena tanah. Ia segera memeluk dan mencium
keningku dengan perasaan syukur.
“Nest, maafkan Mamah. Kemarilah
sayang…!” Mamah mengulurkan kedua tangan, berharap aku datang. Namun, aku menggeleng
dan membenamkan wajah pada dekapan Bibi. Aku tidak lagi mengenali Mamah yang
biasanya tidak suka keributan, bahkan saat aku dan Papah bertengkar tak karuan,
ia hanya bungkam. “Alfan, lihat! Kakakmu tidak mau pulang. Alfan tolong bujuk dia
agar pulang!”
Dengan mencuri pandang dan
dengar, aku melihat Mamah berubah menjadi sosok anak kecil yang putus asa.
Suara mulai menjadi seperti pengemis yang tersiksa. Memohon tidak pada
tempatnya. Suara tangis mengeras dan memohon tak kuasa.
“Alfan akan bawa Mamah
pulang. Kakak harus menyelesaikan semua segera,” ujarnya lembut, membuat aku
terperangah. Ia berbeda dari yang terakhir kali kujumpa.
Alfan mulai mendekap erat
Mamah dan aku hanya membalas ucapnya dengan angguk sebagai tanda sepakat. Mamah
menjadi lemah tak berdaya. Sekuat itukah pengaruh kata-kata Alfan?
“Dian dengar! Aku janji
tidak akan membiarkan kau kehilangan Nesta lagi. Kau percayakan?” Kini ucapan
Bibi sudah berfungsi. Mamah hanya menahan tangis dan terlihat pasrah. Alfan
menyalami Bibi sebagai bentuk pamit.
Sebenarnya, aku melihat
depresi yang mendalam dari sorot mata Mamah. Bahkan setelah tenang, ia terlihat
khawatir dan linglung. Sosok yang tadi sangat menyeramkan berubah menjadi
pribadi yang penuh kecemasan. Aku pun
ikut bingung akan keadaan, satu sisi aku harus mendapat jawaban, satu sisi lagi
aku harus berbakti pada Ibu yang rela menjadi mediaku lahir ke dunia. Walau
masih tanpa cinta, walau masih dengan ketakutan, seorang anak akan tetap
khawatir dengan orang tuanya.
Ketika beberapa pilihan
dihadapkan, manusia kerap melantun kebingungan. Seorang perempuan terlihat
ingin membeli sepatu di sebuah mall
akan sibuk memilih satu dari ribuan model yang dipamerkan. Namun, tiba-tiba ia melirik
pada sebuah tas lucu. Ia butuh sepatu untuk menghadiri acara pernikahan teman,
tapi hati sudah tertambat pada tas yang memikat.
Yang menarik ialah, perempuan
itu pulang dengan gaun dalam bungkusan. Di saat seperti ini, rasanya lebih baik
tanpa sebuah pilihan. Akan lebih sederhana bila disuguhkan sesuatu tanpa harus
memikirkan yang mana, cukup menikmati yang ada.
LANJUT CHAPTER 29
Komentar
Posting Komentar