Putih yang menyamar Hitam-Chapter 22
Pilunya Jiwa
~Seperti
kijang yang dikejar-kejar dan seperti domba yang tidak digembalakan,
demikianlah bahagia
akan berpaling dariku~
***
Aroma
tubuh bagai ikan busuk dari timbunan sampah. Langkah kaki terseret karena ditekan
masalah. Aku sedikit tersenyum karena nasib yang
menimpa. Ternyata bukan hanya aku yang sedang merana.
Dia terus mengomel pada setiap orang yang lewat,
tapi hanya bungkam yang didapat.
Tiba-tiba ia melontarkan
senyum sambil sedikit tertawa. Ibu itu sangat kumuh dan kotor. Sambil meringkuk
ia berteriak, “Sana pergi kau orang gila!”. Aku tertegun karena tidak ada yang
mendekatinya. Semoga aku tidak
dimakan ketidakwarasan yang sudah lama terpendam.
“Aduh…! Maaf ya.” Semua orang membalas dengan senyum dan
anggukan.
Sopir angkot itu merasa tidak enak karena para
penumpang harus menunggu beberapa saat. Salah satu ban belakang mengulah dan
untunglah ada cadangan, sehingga kami hanya menunggu sekitar sepuluh menit
untuk diganti. Memang tidak masalah jika turun dan menaiki angkutan yang lain,
tapi lima penumpang seperti sedang tidak terburu-buru; termasuk aku. Dengan
kesabaran kami menunggu hingga selesai.
Mesin angkot mulai dihidupkan kembali dan lajunya
mulai terkendali. Aku masih melihat orang gila itu berusaha mengusir yang tidak
ada. Aku mendekatkan dua kardus kecil yang mulai bergeser menjauhi kakiku. Aku
menghela napas, ibu itu semakin jauh dan mengecil, masalah terus datang silih
berganti.
*
Mamah
dan Papah semakin mempermainkan hidupku belakangan. Dulu aku masih bisa menolak, tapi kali ini mereka
mengancam seolah ada yang sedang ditahan. Terkadang ingatan menjadi alasanku untuk
berjuang. Mereka memperlakukanku bagai bunga dalam pot, dipindahkan ke mana mereka suka.
Tidak diberi kebebasan memilih seperti yang Alfan pikir.
Aku iri dengan dia yang bisa dekat dengan keluarga,
sedangkan dia cemburu karena aku terlihat mampu mendapat yang kusuka. Dia tak
mengerti bahwa seluruh milikku telah dicuri. Kami hanya melihat tanpa bertanya
pada yang mengalami. Apakah orang tersebut bersuka dengan yang ia punya?
“Apa
orang tuamu sudah gila!?
Kalau Nesta kos, malah akan nambah biaya.” Siska masih tidak percaya cara Mamah-Papah
mengendalikanku.
“Memangnya
aku pernah bilang mereka
waras!?” Aku terus membereskan baju-bajuku, tapi Siska berhenti dan menggeleng
karena perkataan barusan.
Barang yang dibawa masih sebagian, aku berniat
menyicil sedikit demi sedikit agar tidak terlalu berat. Hanya butuh waktu satu jam, semua sudah tersusun
rapi. Aku sedikit bingung ketika membicarakan
mengenai pindahanku, tapi Bibi seperti sudah menduga; tidak ada pertanyaan mengapa, tidak
ada marah, dan tidak ada niat melarang.
Tentu saja
sikap beliau membuat aku yang dihujani keheranan.
“Wih, udah rapi
aja nih kamar! Tidak terlalu buruk,” ungkap Gema yang baru datang. Segera
diletakkannya tiga bungkus nasi padang beserta tiga cup es jagung. Karena jarak kos
yang dekat dari kampus, membuat Gema gampang menemukan kami. Lagipula sekarang
ia lebih sering membawa sepeda motor, jadi menyusuri tempat bukanlah hal yang
rumit.
“Nest, hewan peliharaan
dikasih makan yang sisa aja ya,” ujar Gema mencari
gara-gara.
“GE-MA!!” histeris Siska
yang membuat peka telinga.
Tangannya dengan sigap mengambil satu paket menu siang
ini. Dengan moncong yang sudah memanjang, dia memojokkan diri ke sudut kamar.
Aku dan Gema langsung tertawa karena tak kuasa melihat tingkahnya. Merasa tidak
terima, gadis mungil itu meraih buku tipis yang tersusun di dekatnya, lalu
dilemparkan pada Gema, tapi malah aku yang kena.
“Hiks… maaf
Nest enggak sengaja,” tangis Siska yang tidak niat beranjak dari duduknya. Gema
terus menjulurkan lidah, tanda kepuasan yang tak terkira.
“Udah dong, kalau berantem terus kapan nasi padang
terenak ini bisa dimakan?” Tanpa menjawab, mereka berdua langsung membuka karet
yang mengikat. Aku pun mengikuti dengan cepat.
Seperti
kijang yang dikejar-kejar dan seperti domba yang tidak digembalakan,
demikianlah bahagia akan berpaling dariku. Setiap orang akan
ditangkap oleh kekhawatiran lalu rebah mati oleh pedang penghakiman.
Merataplah! Sebab semua tangan akan menjadi lesu, setiap hati akan menjadi
tawar.
Mereka
akan saling memandang dengan tercengang,
sebab bintang-bintang dan gugusan di langit tidak akan memancarkan cahaya;
matahari akan menjadi gelap pada waktu terbit, dan bulan tidak akan memancarkan
sinarnya. Panah kesalahpahaman akan menyita kebahagiaan. Masih banyak
rintangan yang akan akan datang, minta untuk dilalui dengan kekuatan.
***
Aku telah mengambil keputusan untuk membuat temu
terjeda, tapi Raka sangat gigih ingin berjumpa. Jadi, kami membuat kesepakatan
akan bertatap sekali dua minggu. Diri pun tidak ingin menahan rindu. Kurasa ini
cukup sembari menunggu dia jadi milikku yang utuh, tentu setelah meruntuhkan
spekulasi bahwa aku pengganggu.
Hari ini penampilan Raka membuat aku terpukau, hampir
lupa kalau dia belum jadi kekasihku. Di tengah cepatnya kaki melangkah, aku
tetap sadar betapa tampannya dia.
“Nest, kau nipu aku.
Bilangnya tadi dekat, kok enggak sampai-sampai? Aku capek, cepat gendong aku!”
sungut Raka yang membuat aku terperangah. Dia berhenti dan tak mau lagi
menggerakkan kaki.
“Raka,
jangan
bertingkah, nanti kita terlambat! Ayo cepat!” pintahku memberi semangat, tapi
ia tetap tidak mau beranjak.
“Aku
enggak mau
mati kelelahan!” Ucapannya membuatku dongkol setengah mati. Ada apa dengan
lelaki manja ini?
Tidak ingin berdebat, kutinggalkan saja dia di
belakang. Aku tahu dia sedang mengerjaiku dan benar saja dugaanku. Yang tadi
tertinggal, sudah berjalan di depan sambil menggandeng tanganku. Senyum
malu-malu pun tercipta di bibirku. Ingin
teriak saja rasanya.
Saat Raka menjemput aku dari kampus atau ikut ke acara
lainnya, hal yang paling
mengganggu ialah; “Pacarmu Nest?, Sudah
berapa lama pacaran?,
Kalian sangat serasi!”.
Ahhh... pertanyaan idaman, tapi dia milik orang. Apa aku terlalu jahat untuk ukuran
perempuan?
Ketika
sampai di tujuan, hanya panitia penyelenggara yang sudah tiba, terlihat jelas
dengan dresscode merah yang mereka
pakai. Seharusnya acara sudah dimulai sekitar setengah jam lalu. Kuhela napas lega, sambil memilih duduk di pinggiran trotoar.
Rasanya
tidak nyaman jika menjadi tamu pertama. Sedikit menyebalkan memang, tapi bagaimana
lagi? Seperti tradisi yang telah melekat pada setiap orang, jam karet sudah jadi
kebiasaan. Kuharap suatu
hari ada pahlawan yang mampu mengubah kebiasaan buruk itu.
Jangan berharap itu aku! Kami juga terlambatkan?
Kami pun menunggu sampai Siska dan Gema datang, supaya
bisa duduk berdekatan.
*
“Nest, aku lapar! Tadi aku udah bilang bawa sepeda motor aja. Kau bilang tempatnya dekat, ternyata jauh; kau
bilang acaranya mulai pukul tujuh, ternyata pukul delapan.
Seharusnya aku masih sempat
makan. Sekarang mau cari makan aja,
gadak kendaraan,” keluhnya dengan nada
yang membuatku naik darah.
“Apa
semuanya salahku? Dari tadi juga kau bukannya memperhatikan acara, malah main game enggak jelas!” Wajahnya semakin
kusut dan diraihnya tangan seperti memohon untuk dibelikan makan. “Jangan sentuh
tanganku, aku bukan sahabatmu!”
Raka kembali tenang dan menikmati permainan tak
berguna. Keadaan ini
membuatku tak menikmati
acara. Apa ia harus menyalahkanku begitu?
Aku merasa tidak terima dia lebih memilih game
daripada aku. Apa ini sebuah lelucon baginya? Sekarang aku memiliki saingan tambahan; perempuan cantik dan satu lagi sebuah game dari ponsel bodoh.
Andai mampu, sudah kutarik ponsel itu lalu kubanting sampai hancur. Aku lebih benci saingan dengan
benda mati.
“Nest, aku akan mati dalam beberapa detik lagi.” Raka
kembali mengoceh di saat acara hiburan akan dimulai.
Dipasang raut menyedihkan yang membuatku tak tahan.
Sambil terus menarik-narik tanganku, ia memanyunkan bibir dan memasang mata
berkaca-kaca. Ada apa dengan Raka? Dia tidak pernah seaneh ini. Aku sudah
seperti ibu yang membawa bayi ke sebuah acara. Karena acara inti sudah selesai,
aku pikir tidak apa-apa keluar sebentar.
“Gema, pinjam motor dong?” bisikku memohon pada dia
yang tepat di kiriku.
“Buat apa? Beli makanan buat si brengsek rakus itu?
Ogah! Aku udah bilang ‘kan samamu buat jauhin dia, kenapa kau enggak paham
sih!?” Gema memasang mimik tidak suka, suaranya tidak ditahan dan membuat Siska
ikut memandangi kami. Semoga Raka tidak tersinggung. “Yaudah nih, hati-hati!
Aku pakir dekat gedung L.” Gema mengalah karena dia tahu aku akan terus
memaksa.
Sekilas aku melihat Gema menatap sinis Raka yang
berada di sebelah kananku. Raka terlihat canggung dengan tatapan yang bertemu
dalam peperangan. Seperti ada cahaya merah di retina, Gema terlihat ingin
memangsa Raka.
“I-kut….,” sambar Raka yang mulai tidak nyaman. Aku
hanya terus berjalan dan dia mengikuti dari belakang.
Aku menghidupkan mesin motor dan mengendarainya. Meski
Raka meminta agar dia yang memboncengi, tapi aku tidak peduli dan yang terjadi
adalah sebaliknya. Gaun berbunga takkan menjadi penghalang untukku berkendara. Raka
memelukku manja, bukan pelukan pertama, tapi rasanya sangat aneh dan tanpa
aba-aba. Seluruh darah berhenti mengalir, badan menegang seperti orang mati.
Dia juga menyenderkan telingannya kepunggungku. Kalau saja malam tidak sepi,
mungkin aku telah membuat kami menghadap alam baka.
*
Setelah acara selesai Raka masih bersikap manja dan
bergelayutan di lenganku. Ini membuat tubuh kelelahan sepanjang jalan pulang.
Entah mengapa aku jadi sangat emosi dengan tingkahnya.
“Raka, aku susah jalan! Gaunku juga jadi turun-turun
ke bawah. Lepasin dong!” Ingin kulayangkan tinju karena dia yang tidak
kukenali. Sekarang kepalanya ikut tersandar di bahuku.
“ENGGAK MAU! Aku mau peluk tanganmu terus.” Sungguh
Raka sangat keterlaluan.
Apa dia ketakutan? Tidak mungkin ia takut dengan
gedung-gedung kampus yang kami lewati. Meski terkesan horor dan sedikit
menyeramkan saat tengah malam, tapi itu tak patut dijadikan alasan. Pertama,
Raka itu laki-laki. Kedua, dia tidak berjalan sendiri. Apa aku perlu bertanya
akan tingkah manjanya? Ahhh… tidak… tidak,
dia akan berdalih seolah tidak menyadari. Dengan susah payah kami akhirnya
sampai di kos, tapi tingkah aneh Raka
belum juga usai.
“Aku ingin tidur di sini sampai pagi!” paksa Raka
seraya direbahkannya tubuh di bangku panjang yang ada di teras.
“Raka, pu-lang!!” pintahku sembari mengancam dengan
tatapan tajam. Dengan terpaksa, ia mengeluarkan sepeda motor dari dalam kos, lalu dihidupkan mesin dengan
lunglai.
“Kau tidak mencintaiku lagi,” ujar Raka setelah berada
di atas jok. Kecewa terlihat jelas di wajah lelaki yang amat kucinta. Ia pun
berlalu dengan sesal yang mendalam.
Tiba-tiba aku merasa iba, ingin menangis rasanya.
Namun, memilih tidak menggubris adalah hal yang tepat saat ini. Raka harus
pulang. Aku masuk setelah suara motornya hilang. Kubuka pintu kamar sambil
memikirkan malam yang telah lewat. Mungkin ini perpisahan, suara angin pengap membisik
merdu.
LANJUT CHAPTER 23
Komentar
Posting Komentar