Putih yang menyamar Hitam-Chapter 25
Tahun-tahun Panjang
~Berterima kasihlah pada Sang
Pencipta, kita tidak akan pernah tahu betapa susahnya Ia menjaga ciptaanNya
agar baik-baik saja~
***
Hari-hari
yang terasa panjang, berhasil kulalui; enam bulan lagi sudah kumenangkan. Sangat
berat, tapi tidak setiap saat, hanya di kala hati menunjukkan sikap tidak
terima saja. Bila itu terjadi, tangis pecahku harus terkurung dalam kamar.
Tidak cukup di situ saja, bantal dan boneka beruang akan menjadi sasaran empuk
untuk membekap kegilaan suara dari mulut.
Sisanya hanya hari di mana semua terasa sama, terasa tidak berwarna dan tidak
perlu menimbulkan emosi apa-apa. Tentu saja aku lebih menyukai tangis pecah
yang sesekali menghampiri.
Tuhan
menciptakan emosi untuk membuat kita semangat menjalani hari. Ketika amarah telah
padam, setelah kesedihan bersembunyi, aku kembali menjadi seseorang yang hitam
putih. Tidak ada apa-apa selain tenang dan temaram. Aku semakin terlihat
seperti orang gila setiap harinya. Benakku terus meronta dan bertanya, apakah
aku masih kuat bertemankan realita?
Aku
menutup mulu ketika menangis karena ingin dianggap waras oleh tetangga kamar. Aku
tidak mau berbagi dengan mereka; kehidupan pahit yang hanya boleh ada aku di
dalamnya. Lagipula, apa mereka akan benar-benar peduli? Bagaimana jika alur
hidupku hanya sebatas koleksi cerita dramatis bagi mereka?
Aku
pernah mendengar sebuah motivasi untuk orang-orang yang sedang dilanda
kekalutan. Seberat apapun tekanan, bertahanlah hingga suatu hari kau mampu
bangkit kembali! Jika tidak bisa bertahan semuanya akan selesai, kekalahan
sudah menanti. Jadi tetaplah bertahan, tetaplah hidup hingga tiba waktunya
melonjak dari kegetiran!
Drrrttt…
Drrrttt…
“Ya
halo….” Dengan sedikit malas kuangkat panggilan di ponselku.
“Sekarang
keluarlah dari kamar sumpekmu, aku sudah di depan dengan keju kesukaanmu!”
Aku
membelalak hingga hampir saja biji mataku melompat. Segera kaki berlari ke
luar. Aku benar-benar melihatnya sekarang. Tanpa mendapat perintah, badan
menerjang tubuh yang semakin gagah. Hati benar-benar sangat merindukannya.
Pelukan erat kini kugelayutkan. Air mata mulai tumpah karena penuhnya wadah. Dicobanya
melepas tanganku yang semakin kencang, tapi aku memohon jangan.
“Biarkan
dulu aku memelukmu sampai selesai. Aku malu dengan wajahku.”
Hembusan
napasnya sangat terasa di kepala. Biasanya ia tidak pernah bersikap lembut,
tapi kali ini usapan pada rambutku sangat mendamaikan suasana. Aku malu sekali,
hati menjadi ciut untuk memperlihatkan raut. Namun, mana mungkin aku terus
dalam posisi seperti ini. Kutarik wajah perlahan dan aku masih membuat tatapan
ke bumi.
“Pasti
Adekku sedang menghadapi hal berat ‘kan? Ada apa?” tanyanya dengan keyakinan.
Hal
berat? Ini lebih dari kata berat Farhan. Aku mengajaknya ke teras untuk duduk,
pita suara mulai menunjukkan aksi. Tanpa terkecuali, semua hal kuberitahukan
pada Farhan. Dia mendengarkan dengan sabar dan penasaran.
Sampai
akhir cerita pun Farhan tidak memberi komentar. Mungkin ia tidak tahu harus
berkata apa. Bukan berarti tidak peduli, hanya saja ia menjaga ucapan agar
tidak membuatku semakin bersedih. Begitulah terkadang, hati hanya butuh tempat
curahan, bukan wadah penghakiman apalagi bacotan. Beberapa detik selanjutnya
kami sama-sama terdiam menatap ke depan. Sama seperti yang kulakukan bersama
Bang Depo di café.
Adakah
faedah menatap kekosongan? Tidak banyak dampak yang dihasilkan, tapi ketenangan
akan didapatkan. Entah sedikit atau banyak, terasa atau tidak, percayalah itu
sungguh bekerja. Terdiam menatap kekosongan juga membawa setiap orang menuju penikmatan.
Terkadang
kita tidak sadar udara itu ada dan terus memberikan kehidupan. Tentu ini dari
sang Pencipta, tapi masih banyak yang sering lupa. Berdiamlah sejenak jika sedang
lelah, tatap ke depan dan bertanyalah apa atau siapa yang membantumu hidup
sampai hari ini? Berterima kasihlah pada sang Pencipta, kita tidak akan pernah
tahu betapa susahnya Ia menjaga ciptaanNya agar baik-baik saja.
“Kau
tahu dari mana alamatku?” Setelah satu jam lebih, aku baru sadar ada yang
mengganjal.
“Dari
Bibi.” Sekarang aku mengerti apa yang membawanya ke sini. “Kau sudah jarang
mengunjunginya ‘kan?” Rupanya cukup banyak yang mereka bahas bersama.
Sudah
lama semenjak aku pindah ke indekos, rumah lama jadi jarang kudatangi. Aku juga
merindukan tidur dan elusan dipangkuannya. Aku tidak ingin Bibi sedih dengan
tahun-tahun panjangku yang kelam.
“Aku
tidak mau beliau khawatir,” ujarku dengan polos.
“Apa
kau tidak pernah bertanya, jangan-jangan Bibi dapat menjadi obat bagi lukamu?”
Aku mengarahkan pandangan padanya. Pertanyaan cerdik yang tidak pernah muncul
di otak kecilku. Meski hanya berisi warna hitam-putih seharusnya pikiran tidak
semerosot ini ‘kan? “Fix. Otak kecilmu
telah menciut.” Dia mencari gara-gara pada orang yang salah.
“Sudah
tidak usah ngebacot. Mana kejuku?” Aku pun kembali pada mode normal dan tanpa
bantahan, Farhan memberikan kunci motor. Pertanda yang kuminta ada di jok.
“Wah
ini banyak sekali. Makasih Abangku tersayang dan terkasih.” Aku bersorak
girang. “ Oh ya, mau minum apa? Kopi, jus atau teh?” sodorku beberapa menu yang
muncul di kepala.
“Kopi
deh.”
“Habis,”
cengirku dengan manja.
“Jus?”
cobanya sekali lagi.
“Buahnya
habis. Teh ajah ya? Hehehehe….” Aku
mengusulkan menu yang akan membuatnya ngamuk.
“Enggak
usah nawarin kalau ujung-ujungnya gadak
pilihan!” Terjadilah apa yang barusan kukatakan.
“Gitu
aja marah, percuma gaya udah keren, masa masih ngambekan?” Kalimat ini berhasil
membuatnya menghela pasrah.
Aku
tertawa geli meninggalkannya. Jangan salahkan aku, ini hanya bercanda! Aku juga
perlu tertawa. Kurasa dulu ia lebih keterlaluan saat berniat membuatku malu di
depan Sata. Aku tidak balas dendam kok, ini hanya terapi khusus untuk membuat
yang disayang merasa kesal. Adegan ini hanya dapat dilakukan oknum yang telah
berpengalaman dan profesional di bidangnya.
*
“Tumben
kau bisa pulang?” tanyaku seraya menyodorkan segelas teh hangat dan sepiring
camilan keripik.
“Abang
yang paling tua akan menikah. Minggu depan juga aku udah balik lagi,” ujarnya
setelah membenarkan posisi gelas panas. “Oh ya Nest, aku mau masukin nomor WAmu ke grup SMA. Enggak keberatan ‘kan?
Enggaklah ya ‘kan!? Apalagi di situ ada Sata juga,” sambarnya sebelum aku
sempat mengutarakan hatiku. Ternyata dia masih orang yang ingin kumusnahkan.
“Em...,”
sahutku dengan sikap tak acuh.
Bibir
hanya mengulum senyum tanpa bicara, Farhan mulai asyik dengan makanan yang
kusajikan. Semoga aku segera bahagia. Namun, batas mana yang dapat kusebut
bahagia? Terserah Tuhan dan semesta saja. Tugasku hanya menjalani dan tetap
bertahan sampai waktu yang ditentukan. Pulihlah hati yang mati, aku butuh hidup
sesekali.
LANJUT CHAPTER 26
Komentar
Posting Komentar