Putih yang menyamar Hitam-Chapter 19

 


Aku atau Dia

 

~Putih dan hitam sebuah lambang dalam kehidupan. Mereka harus memiliki kekuatan yang seimbang, agar siklus tidak berantakan~

***

Hari ini mentari tidak bersinar seperti biasa. Ia terlihat sedang memikul berbagai penderitaan. Sangat terlihat jelas dari cahaya yang semakin redup di setiap detiknya. Terkadang benda penerang itu bersinar cerah, tapi setelah ia tidak mampu menahan perih, cahayanya redup kembali. Hati juga ikut terbawa suasana kesedihan. Lama aku memandang angan, berharap ada yang mampu menguatkan.

“Makasih banyak ya, Abangda selalu ada buat bantuin aku.” Mata berkaca-kaca karena dia yang selalu ada. “Maaf cuma bisa traktir makan yang enggak seberapa.” Aku menumpuk mangkuk, lalu  menyisihkannya ke sebelah kanan.

“Apa pernyataanku kemarin kurang jelas?” Otak coba mencerna maksud perkataannya. “Soal perasaanku samamu, aku serius. Tetapi memastikanmu baik-baik saja, sudah cukup.” Dielusnya punggung tangan yang berada di atas meja.

“Abang benaran suka sama Nesta?” Aku masih menganggap yang kemarin adalah guyonan karena diungkapkan dengan candaan.

Nest, apa hari ini aku masih terlihat main-main?” Kepala menggeleng dan mengusahakan kesadaran tetap utuh. “Sayangnya kita bertemu di waktu yang salah, saat cintamu untuk cowok lain. Jangan merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaanku! Tidak semua cinta ada balasnya.” Karena tidak ingin terlihat kaku, Bang Depo menikmati jus jeruk yang tinggal setengah.

Tuhan telah mempertemukan aku dengan malaikat, aku menarik perkataanku yang mengatakan Bang Depo iblis bejat. Bahkan sekarang dia lebih sering ada daripada Raka. Mungkinkah yang dicinta akan kalah sama yang selalu ada? Tidak, aku tidak boleh gegabah!

Ayo aku antar pulang! Udah mau malam, aku enggak mau kau mengalami kejadian kemarin.” Aku mengangguk, lalu berjalan menuju kasir untuk melakukan pembayaran.

Apa yang terjadi kemarin masih menjadi luka, tapi aku juga berhak bahagia. Aku tidak ingin larut dalam cerita duka yang akan menghanyutkan suka hidup. Masih banyak yang bisa kugunakan sebagai alasan untuk bertahan dan aku menyerahkan Alfan pada orang tuaku sebagai urusan ke depan.

Aku tidak ingin ikut campur, biarlah mereka yang bertindak sesuai rencana. Yang penting, aku sudah melakukan tugasku sebagai kakak perempuannya. Masalah rasa bencinya, aku tidak mau terlibat lebih jauh. Kuanggap selesai, walau tak benar-benar usai.

“KAU PACARAN SAMA DIA!?” Raka tiba-tiba hadir saat kami sudah di parkiran. Mukanya merah padam karena kecemburuan. Mengapa ia bisa sampai di sini? Apa dia berniat menjemput atau sekadar memata-mataiku?

Aku cuma habis traktir Bang Depo sebagai rasa terima kasih kok. Aku harap api dapat diredakan dengan air.

Traktir? Kenapa enggak nikah aja sekalian!? Nadanya merendah, tapi ledekannya membuat jiwaku terbakar.

“Kau apa-apaan sih Raka? Enggak jelas banget. Mau jemput atau cuma buat marah-marah?” Otakku masih terus berpikir positif. Tiba-tiba suara ribut membuyarkan konsentrasi. Sepertinya telepon itu harus diabaikan. Maka setelah membaca nama yang tertera, ponsel itu kembali pada saku celana. “Kenapa enggak diangkat?” tanyaku penuh selidik.

“Bukan apa-apa, enggak penting juga!” Sejenak kami melupakan Bang Depo yang disimpulkan jadi masalah. Ponsel itu kembali bernyanyi dan Raka meraihnya lagi. Sebelum sempat ditutup, kurebut secara paksa dan jempol menggeser tombol warna hijau.

“Sayang, jemputnya kok lama sih? Nanti keburu telat ke bioskopnya, kan tiket udah aku pesan online,” ucap perempuan di seberang dengan manja. Kuserahkan alat komunikasi pada pemiliknya.

“Iya Lisa, sebentar lagi aku ke sana,” sambut Raka mengakhiri.

Aku menghela napas, kugigit tangan yang sudah mengepal. Aku mengangguk karena sudah mengerti yang terjadi. Raka hanya kebetulan lewat, saat perempuan itu minta dijemput. Betapa ironisnya kisah ini. Sangat tidak adil kala semua harus menimpaku serentak. Aku memijit pelipis yang mulai tidak habis pikir. Raka seolah tidak memiliki kata untuk disampaikan. Aku yakin, ia mengerti rasa sakit yang kurasakan.

He… he….” Tawa miris pun menunjukkan diri. Rambut yang terurai, mulai kusisir dengan jari ke belakang. “Udah sekarang, kau jemput aja pacarmu. Jangan sibuk ngurusin aku jalan sama siapa! Kau enggak berhak cemburu, ingat kau bukan siapa-siapa!” Kutunjuk dadanya sebagai peringatan keras.

“Nest… aku mau ngantarin kau pulang.” Aku menahan tawa, karena lelaki brengsek ini merasa tak berdosa.

A-ku bi-sa pu-lang sen-di-ri!” tegasku pada Raka. “Oh iya, kalau belum bisa pilih aku atau dia, lebih baik jauhin aku. Jangan serakah sama dua perempuan!” Aku berbalik dan masih mendapati Bang Depo dengan setia. Kujulurkan tangan, meminta dia memberikan pelindung kepala. Kami berlalu meninggalkan dia yang sok lugu. Sedangkan Bang Depo, tidak mau ikut campur dan hanya memberi bantuan kendaraan.

Putih dan hitam sebuah lambang dalam kehidupan. Mereka harus memiliki kekuatan yang seimbang, agar siklus tidak berantakan. Jika tidak, semuanya akan dalam masalah, akan terjadi kekacauan yang sangat mematikan. Jadi lebih baik sepadan, walau hati tetap ingin putih lebih dominan. Kuharap Tuhan mau menguatkan aku dari hari kemarin. Aku tidak ingin dipermainkan cinta.

Sempat terlintas apakah Raka benar mencintai? Jika iya, mengapa harus melibatkan perempuan lain? Mengapa ia boleh cemburu dengan lelaki yang dekat denganku, mengapa aku sendiri tidak diperbolehkan cemburu dengan kekasihnya? Tidak! Aku memang tidak berhak, sekalipun Raka mencintai perempuan bodoh ini, tetap saja aku bukan siapa-siapa. Rasanya seperti dicampakkan dalam lumpur yang menyebabkan wajahku menyerupai debu dan abu. Rasa suka akan kalah, dengan dia yang terikat dalam hubungan.

Apa aku bisa sekuat pohon kaktus yang mampu menahan kekeringan selama berbulan-bulan? Aku tidak tahu sama sekali. Tanaman berduri itu tumbuh menjadi sangat kuat dan hebatnya ia tidak butuh rasa kasihan. Mungkin aku perlu menyamar jadi kaktus. Seseorang tolong selamatkan aku dari patah hati.


LANJUT CHAPTER 20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)