Putih yang menyamar Hitam-Chapter 29
More Time
~Setiap manusia akan berubah seiring
berjalannya waktu. Begitu juga denganku, boneka kelinci hanya bagianku dari
masa lalu~
***
Setelah
mengantin pakaian, tampaklah lutut yang lecet dan berdarah. Sakit makin terasa
kala terkena udara. Semakin kaku dan perih. Bibi mengambil air dan obat merah. Sementara
sibuk dengan luka, kami meninggalkannya di ruang tengah. Bibi mulai
menceritakan semua yang telah terjadi dengan rinci. Walau meringis, aku tetap
mendengarkan dengan teliti.
Perempuan
yang dahulu aku panggil Bunda adalah jawaban dari semua penantian panjang.
Tanpa sepengetahuanku, Bunda sering datang dan coba menemuiku di kampung. Mamah
terus pada api kebencian yang menyala-nyala. Selalu saja Bunda terusir dengan
paksa. Sedangkan Papah tentu lebih membela istri tercinta.
Alfan
menjadi saksi bisu dari setiap perjuangan Bunda untuk berjumpa denganku. Mamah
semakin tidak memperdulikan apapun lagi. Di pikirannya, hanya bagaimana agar
aku tetap tersembunyi. Alfan merasa tidak terperhatikan karena Papah juga hanya
melirik pada putri bungsunya. Adik lelakiku merasa seperti pajangan yang tidak
ada guna.
Selama
aku tidak menginjakkan kaki di rumah Bibi, Alfan datang memberitahu semua yang
terjadi. Mereka sepakat untuk menemukan Bunda untukku. Alfan tidak membenciku,
tapi dia benci sikap Mamah yang selalu hanya ada tentang aku. Sedangkan aku?
Menyalahkan Chika yang baru bebarapa tahun ada. Kami saling iri tanpa tahu rasa
yang pasti. Mungkinkah Chika juga penuh dengki? Semoga tidak.
Dengan
bersusah payah, timku membujuk Papah memberi alamat Bunda. Namun, dengan segala
kecurigaan yang ada, Mamah menemukan suaminya tidak lagi berpihak. Mamah gusar
dan berusaha menghalangi semua, tapi itu sudah terlambat karena pergerakan Bibi
cukup cepat.
“Pergilah!
Temui Bundamu, jangan lewatkan kesempatan!” Bibi mengelus pundakku.
Aku
melangkahkan kaki yang tertatih, bibir mulai menjadi sasaran gigi. Aku mulai sedikit
cemas. Bagaimana kalau tidak ada jawaban yang kutemukan? Bagaimana jika rindu
tidak lagi bergejolak? Senyum lembut mulai menyambut. Mata kami saling beradu. Sedari
manusia lahir, bentuk, ukuran dan sorot mata akan tetap sama meski tubuh telah
termakan usia. Hanya itulah yang kukenali setelah 15 tahun tanpa kata dan
jumpa.
“Gracia…
kemari sayang!” Air mata tumpah tanda haru yang luar biasa.
Aku
memeluk dengan erat, semoga tumpukan rindu yang mengendap bisa tenang. Namun, rasanya
sudah tidak senyaman dahulu kala. Terasa asing dan berbeda. Kecupan mendarat
pada kedua pipi, isyarat rindu sedang diramu dan aku masih dengan nelangsa yang
terpaut.
“Maafkan
sikap Mamah hari ini. Apa pipi Bunda masih sakit?” cemasku dengan tulus. Ia segera
menggeleng. Bunda meraih kotak merah yang tidak terlalu besar dan menyodorkan
padaku. Tangan mulai sigap membuka dengan hati-hati serta dahi mengerut tanda tidak mengerti.
“Waktu
kecil kau nangis minta dibelikan boneka itu dan Bunda janji akan membelikannya.
Sebelum sempat terpenuhi, kau malah sudah dibawa pergi.” Mata yang mulai
ditutupi selaput putih, menerawang ke masa lampau.
“Tapi
aku menyukai boneka beruang bukan kelinci.” Aku tidak ingin membuat Bunda
kecewa, tapi ia harus kebenarannya. Aku bukan lagi Gracia yang lama.
Cubitan
kecil mendarat di hidung. Senyum mulai mengembang dan dengan lembut jemari
mulai mengelus helai rambutku yang panjang. Bunda tidak masalah atau
tersinggung. Setiap manusia akan berubah seiring berjalan waktu. Begitu juga
denganku, boneka kelinci hanya bagianku dari masa lalu.
Bunda
tahu aku butuh jawaban tentang masa lalu. Jadi sebelum kuminta, ia segera memulai
kisah.
“Bunda
dan Papahmu sudah bersahabat sejak kecil. Kami saling jatuh cinta tanpa membuat
komitmen apa-apa. Berjalan bersama layaknya remaja yang sedang dimabuk asmara.
Kami cukup bahagia tanpa hubungan status, hingga__” Kalimatnya terhenti sejenak
dan aku masih coba mencerna setiap kata yang terucap.
Air
mata Bunda mulai menetes dan penglihatannya kabur tertutupi air yang tak
terbendung. Tak ingin berlama-lama dalam duka ia segera menyeka tanpa sisa. Dengan
lembut, suara pilu mulai melanjutkan nostalgia.
Papah
bertemu dengan gadis yang lebih muda dan menarik. Papah begitu tergila-gila
hingga tidak bisa menahan diri untuk segera melamar perempuan yang sekarang
kupanggil Mamah. Bunda terluka, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Menurut Papah,
cinta tidak pernah kandas, hanya menambah personil saja. Ia tidak mau
melepaskan Bunda, sifatnya rakus dengan dua wanita.
Melihat
lelaki yang dicintai bersanding dengan perempuan lain merupakan perih terdalam.
Mamah mengenal Bunda sebagai sahabat Papah, padahal dibelakang mereka bermain
gila. Namun, semenjak Mamah melahirkan dua anak, Papah semakin tidak
memperdulikan Bunda yang berstatus simpanan.
Cemburu
hebat tidak membiarkan setetes cinta tinggal. Bunda menghapus jejak dan
membawaku kabur dari rumah. Tanpa sadar, rasa sayang Bunda terpupuk penuh
untukku. Bunda menganggap aku sebagai tebusan untuk mengembalikan senyum dan
mendamaikan cemburu. Baginya tak apa kehilangan kekasih asal ada pengganti. Namun,
suatu hari orang tuaku menemukan dan membawaku pergi. Hidup Bunda mulai lagi
dengan sepi, tapi ia bersyukur tidak dilapor ke polisi.
Entah
siapa yang berhak disalahkan, entah siapa yang berhak dimaki. Hati mulai sadar
mencintai tanpa harus memiliki adalah awal saling menyakiti. Tidak sepatutnya
cinta terbagi, tidak sepatutnya Bunda setuju dengan perselingkuhan yang ngeri.
Bahkan sampai detik ini, Mamah tidak tahu suaminya pernah bermain gila. Yang ia
tahu, Bunda telah mencuri anak pertamanya.
Mataku
berkaca-kaca, tapi masih sanggup kubendung semua. Bagaimana Bunda bisa tahan
dengan perlakuan demikian? Bundalah yang terlebih dulu menjalin cinta tidak
terikat dengan Papah. Adakah yang sanggup bila di posisinya? Melihat lelaki
yang dicinta menikah dengan perempuan pilihan dan malah menjadikan diri sebagai
selingkuhan adalah kutukan.
“Setelah
mengetahui semua, apa yang akan Gracia perbuat?” ujar Bunda membuyarkan lamunan.
“Aku…
aku tak tahu Bunda.” Pandanganku berpaling tak tahu harus apa.
Kini
aku mengerti semua. Ingatan telah kembali pada porosnnya. Nama kecilku Gracia.
Jati diri pemberian Bunda. Tidak ada lagi hal yang tersembunyi, tanya yang
sedari lama mengusik kini telah tertangani. Namun__
Hati
kosong, rindu seperti tidak terpuaskan. Aku tidak mengerti, apakah selama ini benar-benar
ada rindu? Atau, rindu telah mati dimakan waktu? Tidak ada yang berubah setelah
kedatangannya, bahkan aku tidak tahu harus memperlakukan Bunda seperti apa.
Meski memeluknya dengan derai air mata, pelukan terasa asing dan berbeda.
Memilih
tanpa jawab sepertinya lebih baik. Karena sampai detik ini belum ditemukan
inginnya hati.
“Apa
kau bisa memaafkan Bunda?” Tangannya menarik daguku dan mata kami dipaksa
bertemu. Aku mengangguk dengan senyum ikhlas.
Aku
tidak tahu untuk apa maaf kuberi. Bunda merawatku dengan penuh cinta. Kini aku
mengerti bahwa egois hanya akan membawa kekelaman yang semakin getir. Tidak ada
yang salah sama sekali, Mamah berhak mendapatkan anaknya kembali. Bunda pun
berhak kecewa dengan pujaan hati. Kali ini air mata tak terbendung lagi. Meski
hanya dua tetes, namun mampu melapangkan dada.
Untuk
hari ini kurasa cukup, untuk selanjutnya biar kupahami ingin hati sedikit lagi.
I need more time.
LANJUT CHAPTER 30
Komentar
Posting Komentar