Putih yang menyamar Hitam-Chapter 26
Datar
~Aku ingin segera merebahkan tubuh
yang pilu, mengistirahatkan otak yang terenyuh dan mendiamkan hati yang terlalu
sering terkena sembilu~
***
Setiap
orang butuh alasan untuk mempertahankan sesuatu, tapi aku? Tidak ada alasan
untukku bertahan hidup dan ini semakin membuat sulit di setiap detik. Setiap
pagi aku bangun dengan sikap uring-uringan, menatap jam yang menandakan
keterlambatan, hingga rasa tidak peduli akan resultan.
Tuangan
air dari gayung menuntunku menutup mata, nikmatnya sampai ke jiwa. Aku masih
berdiam diri meski tubuh sudah bersih. Suara air dari keran membantuku menikmati
kedamaian. Pernahkah kalian merasakan kamar mandi sebagai tempat ternyaman?
Mungkin inilah jawaban dari kebiasaan pecandu obat terlarang. Bukan hanya untuk
menyembunyikan diri, tapi untuk menikmati mimpi. Bebas berimajinasi, seperti
tidak ada lagi beban di hati.
Napas
serasa lebih cepat. Bahkan aku lebih banyak menghela daripada menghirup oksigen
di udara. Helaan kelegaan, seolah semua masalah telah sirna. Untuk setiap orang
yang sedang digerogoti tekanan, jadikanlah kamar mandi sebagai kehidupan! Namun….
Tok…
tok… tok…
“Nest,
udah hampir sejam kok belum siap juga!? Yang lain sudah pada ngantri,” tuntut
Kakak kos yang tidak terlalu kuhapal namanya.
“Eh
sebentar Kak, ini udah mau selesai.” Kenapa aku terlalu menikmati mandi pagi
ini?
Aku
menyesal karena kamar mandi ini berstatus milik bersama. Lebih baik menikmati
tekanan daripada nyawa terancam. Semoga mereka tidak mengiris tubuhku yang
menyedihkan. Segera kubalut tubuh dengan handuk yang sedari tadi terkait pada
gantungan. Handuk juga hal yang tidak boleh disepelekan sebagai anak kos sejati. Mungkin anggota keluarga
akan mengambilkan jika kalian lupa membawa, tapi hal itu belum tentu terjadi di
sini. Aku yang tidak terlalu dekat dengan mereka, mengharuskan diri lebih dari
kata mandiri.
“Lain
kali jangan diulangi Nest! Kau ‘kan tahu, tiap Selasa banyak yang masuk kuliah di
jam kedua,” sambarnya dengan raut kesal. Terlihatlah tiga gadis lain sedang
membuat antrian dan mereka memasang tatapan sinis.
“Maaf
Kak,” ucapku tak memperpanjang masalah, ini memang salahku yang tak tahu
tempat.
Semua
yang terhenti tanpa kuakhiri, masih mampu menciptakan hal positif pada diri.
Memilih baju bukan lagi hal yang rumit, apa yang lebih dulu terlihat, itulah
yang akan kukenakan. Usapan make-up tidak
usah terlalu dipusingkan, yang penting lipstik tetap menyamarkan kepucatan.
Urusan rambut juga tidak terlalu buruk. Ikat saja seperti ekor kuda, yang terpenting
rapi dan mampu menutup kekelaman.
Kuraih
tote bag berwarna hitam. Jam kuliah pertama
sudah tidak memungkinkan, yang kedua akan jadi pilihan. Syukurlah di masa
kuliah, urusan masuk kelas tidak menjadi persoalan. Cukup ingat saja jatah
absen, semua akan aman terkendali.
*
Kulangkahkan
kaki menuju kantin yang tidak terlalu jauh dari fakultas. Soto Medan akan
melengkapi pagiku hari ini. Aroma segar dari jeruk nipis menggiurkan lidah.
“Bukannya
masuk kelas, malah duduk-duduk di kantin!” Siska mengomel dengan berkacak
pinggang.
“Siska,
aku lagi makan bukan duduk doang. Gini nih kalau makan yang enggak bernutrisi,
otaknya ikutan nggak bergizi.”
“Lagian
dari tadi Siska nelepon bukannya dibalas, chat
juga enggak diangkat.” Sekarang gadis imut nan lucu itu ikut duduk di
sampingku.
“Gini
nih kalau lahirnya dari air gobokan,” ejekku karena mendapati kalimatnya yang
tidak sesuai.
Kucari
ponsel di tumpukan materi kuliah yang ada pada tas. Benar saja, ada dua puluh
panggilan tidak terjawab, sembilan pesan di Whatsapp
dan semua dari Siska. Aku yakin dia menelepon saat dosen mata kuliah pertama
masih di kelas. Hanya dia seorang yang mencari keberadaanku. Aku mulai
melanjutkan suapan-suapan masam yang gurih.
“Nest,
jangan pura-pura dalam kondisi baik terus!” Sekarang ia malah memandangku
dengan penuh iba.
“Jadi
menunjukan keterpurukan lebih dianjurkan gitu!?” tanya ini penuh penasaran
meski aku sudah tahu jawaban. Aku ingin ia tidak mengomentari keadaan.
“Tidak
ada yang lebih baik, selain bangkit dari kejatuhan!” Aku sadar betul akan
kebenaran ini, tapi jiwa seolah menolak.
Aku
menghela napas untuk pertanyaan sobatku ini. Ternyata sulit untuk meyakinkan
dunia bahwa hati telah pulih. Semua masih sama seperti pertama kali dipatahkan.
Belum ada yang berbeda. Hanya kini tak mampu lagi kurasakan tawa, karena semua
sangat datar. Patah hatiku terjadi karena racun ganda yang tertelan tanpa
sengaja dan mereka lupa meramu penawarnya. Sahabat dan cinta telah membuat
hidupku hancur tanpa sisa.
Ini
bukan hanya tentang seorang lelaki, ini tentang kesepian yang mencekam.
Sekarang hanya tinggal dia seorang, bahkan Farhan telah kembali meraih masa
depan. Aku hanya terus diam sambil menikmati soto yang tidak lagi berasa.
Ketika melihat orang lain terluka, kita hanya mampu merasakan sepersekian
sakitnya. Meski ia mencoba untuk mengerti, percuma. Setiap orang memang sudah
memiliki jatah.
“Ayolah
Nest! Kita harus sama-sama semangat, kita harus ngejar wisuda semester depan.”
Aku tahu sebentar lagi kami harus berjuang lebih untuk dapat menyandang gelar
sarjana. Saat sisa mata kuliah ini
selesai, kami tidak bisa main-main lagi. “Gema tidak akan suka Nesta begini
terus,” keluhnya dengan lunglai, aku terkejut kenapa setelah sekian lama, kini
harus terdengar kembali namanya.
“Sis,
sahabat yang peduli akan lebih memilih aksi daripada pergi. Kuharap kau dapat
memahami perasaanku. Aku tidak melarang kau bersikap seperti apa padanya, itu
hakmu. Tapi, jangan pernah menyebut nama Gema lagi di hadapanku. Aku ingin melupakan
perempuan itu,” ucapku sedikit berapi-api.
“Aku
hanya percaya terlupa bukan melupa. Jangan bohongi dirimu tentang betapa
pedulinya Gema dulu!” Mata Siska berkaca-kaca dan ia beranjak meninggalkanku.
Apa
lagi yang bisa kuharapkan saat ini, mungkin ia sakit dengan perkataanku.
Biarlah sejenak ia pergi mengobati luka akibat kata dan semoga semesta berbisik
padanya, bahwa luka ini bukan perkara biasa. Jika seseorang meninggalkanmu
tanpa alasan, pasti rasanya sangat tidak terima.
Ketika
aku terjebak di rumah sakit, saat hati tidak lagi mampu berpikir, seseorang
yang katanya peduli malah menjadi salah satu penyebab perih. Jika yang ada
hanya terlupa, aku akan berdoa pada Tuhan agar mengambil ingatanku tentangnya.
Bersahabatlah dengan seseorang yang pantas disebut sahabat. Bahkan jika aku tak
pantas, kalian pun berhak bertindak.
*
Walau
jarak ke kos’an pun semakin terasa
jauh, manik akhirnya bisa memandang pintu. Aku ingin segera merebahkan tubuh
yang pilu, mengistirahatkan otak yang terenyuh dan mendiamkan hati yang terlalu
sering terkena sembilu.
Tidak
ada pesan atau pun panggilan dari Siska. Perempuan riang itu tidak pernah
semarah ini. Kini semua menghilang dan tidak mau lagi mengambil bagian. Biarkan
saja. Biarkan aku berjuang sendiri. Biarkan aku menyelesaikan lukaku sendiri.
Kalau Siska tidak masuk kuliah karena aku, itu juga pilihannya. Semua harus
berubah seiring keperluan. Apapun yang kurasakan biarkan alam menikam.
My Bi 24 September 2019 20.03
Apa kabar sayang? Sudah lama Bibi tidak mendengar tentangmu. Apa
kau baik-baik saja? Sabtu nanti bisa datang ke rumahkan? Bibi sangat merindukanmu.
Jangan lupa dandan yang cantik! Bibi menunggu.
|
Apa
sih spesialnya pertanyaan, apa kau baik-baik saja? Belakangan aku selalu
mendapat pertanyaan seperti itu. Apa mereka pikir aku terlalu menyedihkan? Apa
penyamaranku yang seolah baik-baik saja tidak tertutupi dengan sempurna? Aku
sangat benci pertanyaan yang selalu membuatku semakin mengasihani diri. Sambil
menatap keasingan pada pesan tersebut, dahi mengernyit membentuk lekukan.
Sambil
melamunkan kemungkinan yang terjadi, pandangan terhenti pada diari biru tua.
Semua tentang Raka. Aku menjadi gusar dan beralih pemikiran. Sedang apa lelaki
pujaan hatiku saat ini? Apa ia bahagia dengan perempuan pilihannya? Apa ia
pernah mengingatku kala dipelukan kekasihnya? Apa tidak ada penyesalan atas keputusannya?
Tidak adakah rindu walau secuil? Kubaca kembali kenangan yang pernah terukir.
“Raka,
bagaimana mungkin kau terganti? Ada yang hilang dari perasaanku. Kau pergi
membawa seluruhnya tanpa meninggalkan sisa,” lirihku saraya menghapus
bulir-bulir bening yang jatuh tak beraturan.
LANJUT CHAPTER 27
Komentar
Posting Komentar