Putih yang menyamar Hitam-Chapter 23
Bagaimana melukiskan kehilangan?
~Tidak ada insan yang dapat
kupercaya, semua penipu ulung yang menikam secara terang-terangan. Awalnya
memberi cinta, lama-lama menyodorkan racun kematian~
***
Hati gelisah karena kejutan meliputi jiwa, tidak ada lagi yang bisa
kurindukan. Bumi berkabung dan layu, kegirangan suara musik sudah berhenti. Tiada lagi segores senyum yang
bisa dilontarkan untuk sekitar. Hati remuk redam, bulan purnama tersipu dan
matahari terik telah mendapat tinju. Aku tidak mengerti letak cacatku.
“Gem, kenapa enggak pernah cerita mau pindah
kampus?” tuntutku sebuah penjelasan. Aku terus mengikuti dia yang bolak-balik
mengurus berkas di ruang administrasi, sedang Siska malah diam tak bertanya.
“Gema, ayolah! Kenapa harus pindah sih? Bentar lagi mau semester dua,” ulasku
tentang keadaan pendidikan kami. “Gema!?” Aku menahan lengan yang sedari tadi
sibuk tak mau berhenti.
“Nest, kau harus tahu ada
beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa kita lawan. Sekarang kita hentikan aja semuanya,
jangan lebih jauh lagi,” kilahnya dengan raut
datar.
“Hah? Maksudnya apa sih? Kasih
penjelasan dong sama aku dan Siska!”
“Kita enggak usah temanan lagi.” Aku merasa ucapannya sedikit kasar.
Lalu apa artinya tidak usah berteman lagi? Aku diam pada pijakanku, Siska juga
demikian, tapi Gema sudah pergi mengurus berkas-berkas lagi.
***
Dua bulan setelah Gema sibuk dengan urusan administrasi dan
menyelesaikan UAS pertama, ia benar-benar terbang ke pulau Jawa. Aku mendapat
info dari Siska. Sedangkan padaku ia tak mau bicara. Sudah berulang-ulang kucoba
mencari tahu apa yang salah, apa ada perbuatanku yang mungkin menyakitinya?
Namun, satu pun tak kutemukan.
Saat aku ingin duduk di sebelahnya, ia akan pergi mencari bangku yang
lain. Saat aku menghampiri dia yang tertawa bersama Siska, dia langsung
memasang wajah datar dan beranjak menghindar. Mengapa ia hanya menjauhiku?
Mengapa rasanya sakit diperlakukan demikian? Kehilangan teman bukanlah satu hal
yang mudah. Padahal aku sudah berniat mengukir nama Siska dan Gema sebagai
sahabat perempuan pertama.
Malam ini ada seseorang yang ingin kutemui. Aku ingin bercerita tentang kepergian Gema,
sekaligus mengingatkan dia akan janji yang seminggu lagi harus ditepati.
Aku merasa
terguncang, tolong
tegapkan kembali kepalaku dan hentikan gemetar pada tubuhku! Karena sangat
membutuhkannya, aku datang satu jam lebih awal dari yang kami
sepakati. Pantat
sudah duduk di salah satu bangku taman. Aku membutuhkan
obatku sekarang. Pelukan dari dia
yang kucinta, lalu mata sudah bisa melihatnya di hadapan.
“Raka, aku mau cerita kalau Gem_” Aku menjadi
sangat bersemangat, meski mata sudah sedikit berair.
“Nest, aku nggak bisa mutusin Lisa. Aku enggak akan ninggalin dia hanya karenamu.”
Aku terdiam dengan kondisi yang tidak lagi terkendali. Telingaku seolah
berdengung, denyut nadi dan jantung terhenti, pita suara tercekat, kepala
dihantam keras oleh palu besar. Dia ‘kah sosok yang kusebut obat? Aku tidak mampu merasakan tubuhku lagi. Bahkan deru napas pun tidak
bisa kuatur dengan baik. Obat itu malah menyakitiku. Tubuh semakin gemetar, pikiran tidak lagi
bekerja. Inikah yang disebut kehancuran?
Jiwa remuk oleh rasa dicampakkan.
Yang terlihat hanya
cahaya lampu
nanar, otak rasanya tertembak
senapan dan seluruh hidup menjadi kalbu dengan warna yang perlahan memudar.
Seketika saja, Raka berubah menjadi bayangan dan secara perlahan berubah menjadi
kekaburan lalu hilang lenyap. Hanya suara pelan yang masih terdengar samar-samar.
“Maafkan aku Nest...,” ucapnya tanpa menatap ke manikku. Kakiku
mundur dua langkah ke belakang.
“Hah…,” lirihku hampir tak
terdengar.
“Kalau kita berjodoh, kelak kita akan dipersatukan Tuhan,” lanjutnya
tanpa mau memahami luka di hati. Tidak hanya tergores, tapi sudah tercabik sangat
dalam. Sungguh perih dan aku ingin mati.
“ARGGGHHHHHHHHHH….
PENIPU, BRENGSEK, KENAPA
TIDAK MEMBUNUHKU SAJA SEKALIAN!?” Aku menjambak rambutku
dengan sangat kencang, tapi tidak terasa saking parahnya luka. Raka hanya diam
tanpa berniat menenangkan. Kumajukan lagi langkah kaki, kupukuli dadanya
berkali-kali, tapi ini tidak seberapa dibanding tikamannya yang dalam. “Bajingan…
bajingan….” Aku terisak di tengah terurainya air mata.
“Aku harus pergi Nest, jaga dirimu baik-baik!” Raka menepis tanganku,
lalu berjalan meninggalkanku. Benar-benar pergi tanpa berniat kembali.
“Tidak... tidak... Raka tidak boleh
pergi…,” Aku berusaha mengejarnya, tapi aku kehilangan
dia yang kuharapkan. Air mataku semakin mengalir deras, bahkan tidak habis
meski sudah terbuang sangat banyak.
Ada beberapa waktu
yang kuketahui; Pertama, Ion yang
berarti waktu yang kita tidak tahu kapan datang; kedua, cranos yang berarti waktu yang berulang; dan ketiga, waktu yang
tepat yaitu waktu yang tidak dapat disentuh manusia dengan kecepatan saja, tapi harus disertai
ketepatan.
Saat ini aku
berpikir apakah yang ingin kuraih tidak mempertimbangkan ketepatan? Atau memang
ini telah menjadi takdir dari sebuah pengharapan? Orang-orang menyebutnya harapan dan
sekarang aku menyebut sebagai sebuah kisah menanti kekecewaan, sama seperti cinta
sebagai sebuah kisah yang menanti luka.
Kecewa dan luka
hanya tentang waktu saja. Persis
dengan yang sudah kualami. Tidak ada insan yang dapat kupercaya, semua penipu
ulung yang menikam secara terang-terangan. Awalnya memberi cinta, lama-lama
menyodorkan racun kematian.
*
Setelah menghabiskan jatah tangis dan melangkahkan kaki yang lunglai,
akhirnya aku masih sanggup sampai di tempat ramai ini. Aku butuh hiruk-pikuk
yang bisa memberiku hipnotis lupa tentang tragedi. Kududuki
sebuah kursi kosong di sudut
tempat tongkrongan yang tak jauh dari kos’an.
Memesan sebuah kopi
panas pasti mampu meredakan patah
hati. Aku
benci rasa pahit, tapi aku memesan tanpa diberi gula.
Larutan itu tidak berfungsi sama sekali. Untuk kedua kalinya aku memberi
kesempatan meredakan kecewa. Aku tak mau mengeluarkan
suara, jadi secarik kertas kedua kuberikan pada pelayan perempuan yang selalu
tersenyum manis, tapi tipis.
Apakah pelayan itu sedang
bahagia? Atau terpaksa oleh orang-orang di sekitarnya? Saat kecewa atau luka
aku boleh menangis dan marah. Apa dia
juga dapat melakukannya? Mungkin saja ia ingin menangis, namun tertahan oleh
kebutuhan hidup.
Banyak orang menjadi
semakin naif di setiap waktu. Manusia
cenderung menggunakan topeng kehidupan. Mengapa mereka tidak tetap pada
kenyataan? Marah ketika ingin marah,
menangis ketika ingin menangis, tertawa ketika merasa bahagia. Semua orang tidak perlu
pura-pura, sedang di belakang mereka mengucap sumpah serapah untuk mengutuki.
Entah apa yang coba kularutkan dari gelas kopi kedua tanpa gula ini,
tapi aku juga sedang ingin melarutkan diri dalam gelas kehidupan yang
pahit. Kutelan beberapa butir paracetamol, karena
satu saja sudah tidak mampu meredakan
sakit yang mencekam. Kuteguk dengan sebotol air mineral yang juga disediakan
pelayan.
Aku berhenti berharap, dan
menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat, tak ada
cinta kudapat
Kenapa ada derita, bila bahagia
tercipta
Kenapa ada sang hitam, bila putih
menyenangkan…
Aku pulang, tanpa dendam,
kuterima kekalahanku
Aku pulang, tanpa dendam,
kusalutkan kemenanganmu…
Lagu pengiring yang disediakan, membuat aku ingin beranjak pulang.
*
Kaki terus
melangkah menuju tempat
peristirahatan. Sudah sejam sejak aku menelan pil
tersebut, tapi bukannya membaik kepala semakin terasa pusing. Menyinggahi apotek merupakan pilihan. Aku akan mencoba merek lain yang mungkin lebih
efektif. Beberapa obat tidur menjadi tambahan.
Semoga kantuk
segera menyerang agar otak berhenti berpikir tentang diriku yang mengenaskan. Lagi-lagi, butiran itu tidak berfungsi sama
sekali. Pandanganku semakin samar, tubuhku bergetar tak karuan. Aku serasa melayang dan tidak
berpijak lagi. Tubuh pun berubah jadi kapas kosong. Walau terlihat tidak jelas, aku dapat mengenalinya dengan baik.
“Abangda?” Lalu gelap pun menghadang.
***
Aku tidak tahu
berapa lama sudah berbaring pada khayal mimpi kelabu. Kubuka secara perlahan
kedua bola mata, ternyata aku hanya bisa membuka mata, tubuh belum bisa digerakkan sama sekali.
“Eh, jangan banyak gerak dulu, istirahat aja!”
Siska berlari ke arahku dan membenarkan kembali posisi kepala. “Semalam Bang Depo nelepon, katanya Nesta minum obat dalam dosis besar.” Dugaanku benar, Bang Depo sosok yang selalu
ada. “Kalau langsung mati enggak apa-apa, ini setengah mati. Kenapa sih? Goblok
tahu nggak?” Baru kali ini aku merasa
takut pada omelannya. Gadis yang sangat imut, ternyata bisa menjadi sangat
mengerikan.
“Maaf.” Mengapa aku yang minta maaf ketika aku yang
menjadi korban?
“Sudahlah, sekarang
lupakan aja si brengsek itu! Keadaan ini karena Raka ‘kan?” tebaknya dengan
benar. Aku ingin berkomentar, tapi Siska langsung mencegahnya. “Enggak usah belain
bajingan itu. Nesta ngingo tentang Raka semalaman. Apa itu
tidak cukup sebagai bukti? Bahkan saat menelepon, si brengsek itu malah menghindar dan tidak ingin tahu. Cih… dasar keparat!” Aku tidak dapat lagi berdalih. Aku percaya
Siska menelepon Raka, karena tentu ia tahu sandi ponsel yang selalu kubawa ke
mana pun. “Nest, hubungan itu tentang
keseimbangan bukan tentang berjuang sendirian.”
“Tidak sesederhana itu Sis, kita
bisa berkata akan melupakannya,
tapi apa hati benar-benar bisa? Bahkan
cinta mampu mengelabui otak untuk terus berharap, meski terkadang logika mengusik tentang perihnya
luka.” Sial, aku masih terus
melakukan pembenaran dan kini Siska mengalah tanpa kata.
Sungguh aku tidak
berniat untuk menghilangkan nyawa.
Bukankah bunuh diri hal yang sangat berlebihan ketika
sedang patah hati? Ketika jasad
sudah di pusara, gunjingan akan tetap berserakan. Sekarang aku sudah tidak akan menahan kepergian siapapun, lelah juga dapat menyerang jiwaku.
“Nest, apa kau sudah mendingan?” Bang Depo memasuki
ruangan dan Siska merasa perlu keluar. Aku tersenyum karena mendapati dia yang baik
bak malaikat. Kini senior itu duduk di pinggir kasur. “Dampak putus cintamu
sangat keterlaluan,” sungutnya.
“Aku enggak putus cinta!” kilahku dengan cepat.
“Apa kalian memberitahu Bibiku?”
tanyaku penuh selidik.
“Selama masih bisa mengatasi, tidak akan kami beritahu
pada orang tua dan Bibimu. Apa respons mereka kalau tahu kau hampir bunuh
diri?” Aku menghela napas mendengar pernyataan Bang Depo. Kalau Bibi aku yakin
dia akan panik, tapi orang tuaku, aku tak ingin tahu.
Ia tersenyum dan menarik selimut putih
khas rumah sakit untuk menutupi tubuhku, mengelus rambutku kemudian pergi tanpa
berbalik.
Mengingat semua
perbuatan baiknya, membuat jantung berdebar. Semua kebersamaan yang sering
terbangun di antara kami membuat sebuah perasaan tumbuh di hati masing-masing.
Perasaan perempuan ini hanya berbatas pada perasaan seorang adik, tapi aku
tidak bisa menyalahkan lelaki itu karena telah membangun rasa cinta.
LANJUT CHAPTER 24
Komentar
Posting Komentar