Putih yang menyamar Hitam-Chapter 18
Tidak
Kuketahui Lukanya
~Terkadang aku berpikir, bahwa tidak semua yang pergi
akan kembali. Namun aku masih berharap, akan bahagia yang telah
lama dicuri~
***
Aku harus berjalan dari simpang gang karena sampai
sinilah alamat yang diberikan. Setiap detail tempat kujamah dengan kecemasan. Sedikitpun mata tidak ingin
berpaling ke belakang, hanya menatap ke depan untuk sebuah harapan. Aku terus
menyusuri lorong yang sepertinya buntu. Saat sudah di ujung, telinga menangkap tawa yang
kukenal. Kupercepat langkah untuk memastikan dugaanku benar.
Bisa kurasakan ada luka yang tersirat dalam tawanya,
ada jerit putus asa di setiap desah napasnya. Aku menemukan Alfan dalam kesakitan. Kini aku bisa
melihat mereka berbincang dengan sebuah gitar di tangan. Rupanya mereka sedang
menikmati malam di teras yang tidak berpagar. Hadirku masih belum diketahui,
Alfan menarik napas panjang. Kuhampiri dia dengan rasa lega.
“Alfan?” Dua pasang mata menatap dengan amarah. “Kau
kenapa lari dari rumah? Mamah terus menelepon karena khawatir,” ungkapku dengan
nada cemas. Wajahnya berubah pucat pasih dan Rio paham kami butuh waktu berdua.
“Aku juga ingin bebas sepertimu. Kenapa? Tidak
boleh!?” Aku sungguh tidak mengerti sama sekali.
“Alfan kau kenapa? Ada masalah,
cerita sama kakak,” tawarku seraya mengelus bahunya.
“Memangnya apa yang bisa kau lakukan
selain bertindak sesukamu? Kau mendapat semua yang kau inginkan, baik universitas,
uang, kebebasan memilih dan mampu memaki jika mau. Sementara aku? Diam dan harus
mengikuti semua yang dikatakan orang tua kita. Enak banget ya jadi kau, kenapa
kita diperlakukan berbeda? Sekarang aku harus menunda cita-citaku sampai kau
tamat kuliah. AKU BENCI KAKAK, PUAS!?”
Alfan berlalu dan aku masih membatu.
Sungguh aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Mengapa cita-citanya harus
tertunda karenaku? Mungkinkah ekonomi keluarga sedang tidak memadai? Mamah
tidak pernah cerita apa-apa. Tidak! Akulah yang tidak ingin mendengar suara
mereka.
Jantungku terasa ditikam berulang-ulang, dicabik
berkali-kali bahkan ditetesi asam yang tak terhitung sama sekali. Air mata mengalir deras, kaki berlari dengan
kencang. Realita kali ini sungguh membuatku hampa. Tolong siapapun, bawa aku pergi! Angin lenyapkan aku dari
luka, malam tutupi aku dari duka, hujan jauhkan aku dari sakit jiwa.
Aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki. Rinai hujan
menguatkan suasana kesakitan. Dingin menjadi sangat nikmat, sepi menjadi sangat hangat. Aku ingin
tersesat karena hati sudah tersayat. Dibenci keluarga sendiri rasanya sangat
menikam, beginikah yang juga mereka rasakan saat aku bersikap tak peduli?
“Kau akan sakit. Ayo ikut aku! Tidak perlu menjelaskan apapun
padaku. Menangislah semaumu. Aku akan menemani sampai kau tenang.” Dia tidak
lagi menarik tangan, tapi sudah memapah seolah aku jatuh parah. Aku bersyukur
hadir lelaki tidak pernah terduga.
Lajunya sangat kencang. Ia sengaja menutupi suara isak
dari bibirku. Entah ke mana ia membawa gadis penuh luka. Rintik hujan mulai mereda
secara perlahan. Sepeda motor berhenti di sebuah halte tanpa pengunjung. Kami
turun tanpa menunggu intruksi dari siapapun. Tanpa ada kalimat yang terucap, ia
memelukku dengan sangat akrab. Kami berbagi hangat pada baju yang menyisakan lembab. Ia memintaku membagikan
luka tanpa harus bercerita.
Aku semakin membenamkan wajah, pada dada yang
lapang. Ada
banyak hal yang ingin kukatakan pada dunia, tapi aku tak mampu membuat suara asing selain menangis dengan luar
biasa. Semua
serasa berjalan keluar dari lingkaran hidupku. Tidak ada lagi kata menunggu
keajaiban dunia. Aku menelan pil pahit dari kehidupan.
*
“Makasih Abangda,” ucapku seraya
melembai lesuh.
Lelaki itu pergi dengan senyum kelegaan di bibirnya.
Lalu kaki mulai memasuki rumah. Waktu pulangku sudah lebih dari kata telat, tapi
Bibi tahu aku mencari dia yang kusebut adik. Sebelumnya telah kukirim pesan
ijin.
“Nest, kenapa bajumu basah, matamu juga merah dan
bengkak? Apa yang
terjadi? Kau belum menemukan Alfan?” Bibi meraih wajahku dan memperhatikannya dengan
lekat.
Pertanyaan Bibi membuat persediaan air mata bertambah
hingga penuh. Lalu bulirnya memaksa ditangiskan satu persatu.
“Alfan membenciku, tapi aku tidak tahu alasannya. Pikirku,
akulah yang menderita dengan situasi keluarga. Aku dipisahkan dari kebahagian
hidup, mereka memaksaku mencintai sesuatu yang sulit, mereka tidak pernah bertanya
maupun memberiku pilihan. Namun, ternyata Alfan menganggap aku gangguan!”
Tangisku kembali pecah, padahal tadi sudah mereda. Aku pun mendapat rangkulan
mesra darinya.
Akankah yang pernah kupunya pulang
kepangkuan? Terkadang
aku berpikir bahwa tidak semua yang pergi akan kembali. Namun aku
masih berharap, akan bahagia yang telah lama dicuri.
LANJUT CHAPTER 19
Komentar
Posting Komentar