Putih yang menyamar Hitam-Chapter 30

 



The Choice

 

~Mengikhlaskan adalah cara paling ampuh untuk berdamai dengan diri sendiri. Bukankah dendam adalah cara tercepat untuk bunuh diri?~

***

Berbagai persiapan telah selesai dengan matang. Liptint dan pensil alis yang tergores tipis memberikan kesan natural dan semua begitu sempurna. Kuhela napas sebanyak dua kali saat layar ponsel mulai disusupi pesan masuk dan sebuah panggilan yang tidak berniat kuberi jawab. Segera kumasukkan ponsel ke dalam tas sandang kecil, mengunci kamar dan melangkah pasti ke arah teras. Ini demi memantapkan hati.

“Apa kau sudah menunggu lama?” Pita suara coba membuka percakapan pertama. Kukenakan flat shoes berwarna coklat gelap dan segera berdiri lalu mengusap celana jeans yang mungkin tertempel beberapa butiran debu.

“Baru nyampe kok,” ujarnya dari atas sepeda motor. Kuambil posisi diboncengan, semoga saja jantungku tidak berdebar terlalu keras. Itu bahaya bila telinganya mendengar.

Karena sudah tidak sabar meluncur, Raka menyerahkan ponsel yang tadi dipakai menghubungiku. Aku menyimpan ke dalam tas sandang dan mulai memberi pelukan seperti sepasang kekasih yang akan berkelana.

*

Tiga jam perjalanan telah ditempuh dengan gairah yang bersemangat. Ia segera turun dan memarkirkan motor pada salah seorang penjaga taman bunga di tempat wisata ‘Sapo Juma’. Sangat unik, uang parkir dibayar di muka dan ia segera menerima karcis tanda pemilik. Tangan dengan cepat menarikku masuk ke pekarangan. Sekarang sudah hampir jam 12 siang, tapi suasana dingin masih sangat terasa.

“Bagaimana? Benaran bagus ‘kan?” Ia terlihat bangga dengan tempat yang disarankan. Aku pun mengangguk tanda kami sepemikiran. “Aku sangat senang masih bisa menikmati alam bersamamu.” Senyumnya tipis dan sangat menggugah selera. Semoga jantungku tidak meronta sesukanya.

Me too,” jawabku masih penuh waspada, barangkali mulut tidak bisa dijaga. “ Kenapa tidak mengundangku ketika wisuda?” layangku pada topik yang berbeda dan Raka terkejut tak menduga. Aku masih ingat kami selisih satu tahun di angkatan kuliah. Jadi sudah seharusnya ia wisuda. “Sudahlah tidak usah dibahas,” ujarku mengakhiri kecanggungan.

“Nest, makasih ya udah maafin aku.”

“Raka, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Baik di masa lalu atau malah di waktu yang akan datang. Sudah sepatutnya kita saling memaafkan.” Senyumku terlempar dengan tulus dan penuh kedamaian.

“Apa kau haus?” Raka menyodorkan minuman botol yang tadi kami beli di pinggir jalan. Tutup botolnya telah dibuka. Apa ia ingin bersikap romantis atau malah berpikir aku tidak mampu melakukan itu sendiri? Aku cukup tersinggung jika alasannya adalah yang kedua. Perempuan tidak selemah yang lelaki kira.

Kuteguk beberapa kali hingga membasahi bibir yang mulai kering karena udara dingin. Raka mulai memperhatikan diriku dengan sangat lekat dan seolah tidak ingin semua berlalu dengan cepat. Aku gugup dan beberapa kali memalingkan wajah agar tidak diketahui olehnya, tapi Raka masih tidak berniat untuk mengalihkan pandangan.

“Kau jangan terlalu serius mandangin aku, ngeganggu banget tahu!” Kupasangan tatapan sinis tanda tidak suka.

“Nest, aku sungguh sangat menyayangimu.” Raka tersenyum dengan sangat lembut.

Raka menarikku kepelukannya. Peluk yang berlandaskan syukur karena telah mendapatiku kembali. Aku cukup kaget dan sedikit bingung harus bertindak seperti apa. Bukan karena apa-apa, statistik pengunjung taman sudah hampir mencapai puncaknya. Ini akan semakin membuatku tersipu malu.

Krucukkkk…

Suara perut kelaparan telah berperan untuk menyelamatkan.

*

Aroma makanan di meja cukup membuat air liur minta dipuaskan. Kuraih sendok garpu dan segera mengarahkannya pada mi instan milikku. Saat itu juga tangan Raka menghentikannya, merebut garpuku dengan paksa. Lalu mencoba menyuapiku yang sudah dewasa. Mata benar-benar membelalak. Apa Raka kerasukan? Pipiku memerah dan sungguh tidak bisa lagi disembunyikan. Lelaki yang tiba-tiba menjadi romantis akut, terasa sangat mengerikan dan seakan membunuh keberanian.

“Aku bisa melakukannya sendiri,” ungkapku dengan hati-hati.

“Tidak apa-apa, aku lagi pengen aja suapin kau.” Setelah memakan suapan pertama dari Raka, ia segera menyuapi diri dengan mi instan miliknya, tapi dengan garpu yang sama ketika menyuapiku.

Berada di tempat seindah ini dengan lelaki yang kucintai adalah sebuah pilihan yang benar-benar telah dipikirkan dengan matang. Setiap orang berhak melakukan apa yang ingin ia lakukan. Tidak boleh ada larangan selama tidak menjadi batu sandungan. Hampir seharian bersamanya sungguh tidak terasa sama sekali. Matahari sudah mulai membenamkan diri ke balik selimut malam. Warnanya mulai samar dan senja mulai menghiasi langit yang indah.

*

Aku telah memutuskan untuk memaafkan Raka. Sakit memang telah melukai dengan sangat dalam, tapi apakah aku akan membiarkan dendam merusak masa depan? Aku tidak ingin menjadi Nesta yang terjebak dalam masa lalu. Mengikhlaskan adalah cara paling ampuh untuk berdamai dengan diri sendiri. Bukankah dendam adalah cara tercepat untuk bunuh diri? Namun, aku belum mau mati. Masih ada masa depan yang harus kuraih dan aku telah memimpikan kisah indah yang penuh tawa bahagia.

“Nest, sekali lagi makasih ya.” Setelah turun dari motor, Raka mengecup keningku tanpa aba-aba. “Aku pulang dulu,” lanjutnya dengan senyuman yang akan berhenti terpatri.

“Ra-ka tunggu sebentar! Aku boleh menahanmu sepuluh menit?” Aku meraih lengannya untuk meminta tinggal.

Kurasa itu waktu yang cukup untuk benar-benar melepas rindu. Sebab sedari tadi aku selalu sibuk menenangkan degup jantung. Raka mengarahkan pandangannya padaku. Mulai kugigit bibir yang tidak salah sama sekali. Tangannya dengan cepat menarik kunci motor.

“Ada apa? Masih rindu?” tanyanya penuh selidik. Napasku terhela dengan cepat dan keputusanku sudah membulat. Sudah waktunya.

“Aku ingin kau berhenti menemuiku!” Permintaanku telah menyerang kesadarannya.

“Kenapa Nest? Apa ada lagi kesalahan yang telah kulakukan?” Ia menarik wajahku agar memandangnya dengan tegas. Raka masih berusaha tenang. “Aku sudah minta maaf dan berjanji tidak lagi mengulangi.”

“Dengarkan aku Raka! Aku tidak bisa menjamin kau tidak akan meninggalkanku seperti kemarin. Aku telah hidup tanpamu selama ini, aku mampu dan semua tidak seburuk yang kukira. Meski sakit menyerang dengan hebat, kakiku masih berdiri dengan kuat. Kau juga harus cukup dewasa tanpaku. Mari kita jalani hidup masing-masing. Kalau kita jodoh, cinta di antara kita masih akan ada, meski temu harus terjeda sementara. Aku benar-benar sudah memaafkanmu,” lirihku.

Air mata Raka terjatuh. Ini pertama kali aku melihatnya menangis. Sebenarnya aku mulai tak tega, tapi kalimatku harus masih tetap berlanjut. Seperti kataku kemarin, semua harus Raka dengarkan. Semua hal yang sangat ingin kusampaikan. Aku sudah cukup kuat untuk menyampaikan. Bibir ini takkan lagi kehilangan kemampuannya, hati takkan lagi kehilangan konsistensinya. Air mata pujaan hatiku semakin mengucur dengan deras.

Sungguh aku paham betul, jika seorang lelaki telah menangis untukmu, itu berarti ia sangat tulus mencintaimu. Namun, berubah bukanlah perkara yang mudah. Selingkuh dan kerakusan merupakan penyakit yang akan terus berlanjut. Setahun ke depan mungkin ia tidak akan mengulangi atau mungkin sepuluh tahun yang akan datang kala aku telah melahirkan seorang anak baginya, tapi siapa yang akan menjamin di tahun kedua belas?

“Apa kau yakin dengan keputusanmu?” Disekanya air mata dan Raka berusaha tegar dengan setiap keputusanku.

“Seberapa ingin pun dirimu, jangan mengirimiku pesan, jangan menghubungiku, dan jangan menemuiku untuk alasan apapun! Mari berpisah dan bertemu dengan aturan semesta yang akan kita sebut sebagai takdir yang tanpa sengaja. Belajarlah jadi lelaki yang setia pada pasanganmu. Kerakusan hanya akan membuatmu kehilangan.” Kini bergantian, air mataku yang berderai dengan deras.

Aku harus memperingatkan Raka tentang kerakusan Papah yang telah menjadikanku korban. Kulirik segala sudut dan setelah merasa semua aman, kupeluk ia dengan erat, kucium pipinya dengan mesra. Inilah salam perpisahan yang akan membawa langkah baru bagi kami berdua.

Raka sungguh kecewa dengan keputusanku, ia sangat tidak percaya dengan pilihanku. Setelah pelukan berakhir, motornya melaju sangat kencang. Emosi meluap bagai tak tertahan, tapi setiap orang berhak memilih. Bahagia setiap insan adalah tanggung jawab masing-masing. Aku tidak perlu takut ia bertindak diluar kendali. Aku tak perlu takut ia mencelakai diri. Itu urusannya dan akan kulakukan urusanku. Saat aku mencelakai diri kala ditinggalnya pergi, itu juga salahku.

Aku memberi Raka kesempatan untuk membangun kenangan terakhir. Ucapan yang tergolong tiba-tiba bukan bermaksud balas dendam. Semua kulakukan setelah hati benar-benar siap. Setelah menatap raut yang bahagia, aku yakin inilah saatnya bertindak. Berita buruk yang dikabarkan kala sukacita mendera hebat adalah cara terbaik mengurangi frekuensi kecewa. Lukanya takkan lama, Raka akan sembuh dengan segera.

Aku menutup pintu kamarku, menganti pakaian dengan baju tidur, mencuci muka dan segera menarik selimut yang sangat nyaman. Malam ini sudah harus berakhir dan kuraih boneka dari Raka. Senyuman merekah dengan lega.

“Selamat tinggal Raka, selamat beristirahat jiwa! Kita akan memulai hidup baru di pagi yang cerah,” ucapku dengan sepenuh hati.



LANJUT CHAPTER 31


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)