Putih yang menyamar Hitam-Chapter 20

 


Tidak Semudah Yang Dikira

 

~Bahkan aku berjuang mati-matian untuk tidak memulai percakapan. Kita akan merasa ada yang kurang, jika yang biasa kita lakukan hilang~

***

Nest, kalau mau nginap jangan bawa-bawa hewan peliharaan dong, sungut Gema padaku.

Cewek imut gini dibilang peliharaan. Kalau nggak dibolehin nginap bilang! Biar Siska pulang aja!” Saat wajah Siska sudah menggemas, aku hanya diam tak membalas.

Yaudah pulang sana! Oh ya, jangan lupa tutup pintu kamarku!” ketus Gema dengan ekspresi serius. Hal itu membuat Siska marah, meraih tas sandangnya, lalu berjalan ke arah pintu keluar dan kami hanya membiarkan.

“GE-MA, NES-TA!! Bukannya dicegah, malah diam aja! Bete… bete… enggak jadi pulang!!” Kami pura-pura tidak tahu apa yang dia maksud. Siska menghentakkan kaki dan melempar tas berwarna putih ke sembarang tempat, direbahkan tubuh tanpa peduli pada yang punya. Kebiasaan wanita pada umumnya jika sudah dibuat marah. Kami tertawa melihat sikap yang kekanak-kanakan.

“Nest HPmu bercahaya tuh, coba lihat siapa tahu ada yang nelepon!” Aku mengangkat ke dua bahu tanda tak tahu. Aku memang sengaja memberi mode diam karena ingin quality time bareng teman. Saat aku sudah sampai di meja belajar, telepon itu sudah mati dan terlihatlah lima panggilan tak terjawab dari Raka. Ia masih berusaha sekali lagi hingga aku memutuskan untuk meladeni.

“Halo.... Suaranya sudah seperti ibu-ibu cerewet yang menanyakan kabar. Ini sudah seminggu sejak pertengkaran kami kemarin, selama itu pula kontak berjeda. “Iya….” Aku masih kesal dengan adegan drama minggu lalu. “Enggak, di rumah Gema.” Raka masih tidak membahas persoalan yang membuat kami tidak saling bicara. Pertanyaan pak polisi pun terhenti karena aku tidak ingin balik bertanya.

Ia mengangkatku ke langit, melayangkan aku bersama ribuan bunga, lalu menghancurkanku dengan angin topan. Tanpa berniat minta maaf, Raka mengobati luka akibat badai yang diciptakannya sendiri. Suara yang sangat rendah, membuat hati luluh seketika. Aku sedikit mengutuki diri, mengapa aku masih mau berbicara dengan Raka? Namun, sahabat tidak boleh terkubur dalam amarah. Bagaimanapun dia adalah lelaki yang membantuku mengurangi rasa pada Sata.

“Siapa? Jawab teleponnya datar banget.” Gema bertanya ketika aku sudah menghampirinya.

“Raka,” jawabku singkat.

Apalagi sih maunya dia, dasar buaya, cowok rakus, gadak akhlak!! Lagian kau kok masih mau ngomong sama dia!? Enggak capek dimainin?” Kecepatan bicara Gema meningkat sepuluh kali lipat.

Cuma nanya kabar doang, enggak macam-macam kok.” Aku coba membela diri, padahal aku tahu tindakanku diluar kendali.

“Tapi…, jadi gagal move on seminggu perkara nanya kabar. Kau jauhin dia segera deh, cowok kayak gitu pasti punya banyak cadangan,” tuduh Gema sembarangan.

Diusahain. Mendingan kau selimutin dulu teman berantemmu, udah molor kayak bayi beruang hibernasi.” Aku menunjuk dengan dagu, pengalihan topikku cukup bagus.

Sontak cengiran kecil timbul pada bibir, bagaimana tidak? Memangnya ngejauhin orang yang telah merebut hati kita semudah membalikkan telapak tangan? Dengan entengnya jawaban dari bibir malah “Diusahain”. Mungkin aku hanya ingin lari dari desakan. Seminggu tanpa pesan darinya saja, sudah membuat hati tak karuan. Bahkan aku berjuang mati-matian untuk tidak memulai percakapan. Kita akan merasa ada yang kurang, jika yang biasa kita lakukan hilang.

*

Aku melihat kebun bunga dan kuntum-kuntum pada lembah. Tatapan mata tertuju pada pohon mangga yang teduh, bahkan kumpulan delima sedang berbunga indah. Aku menikmati pemandangan yang jarang sekali kulihat. Aku seperti pernah ke tempat ini, tapi aku tidak ingat kapan.

Seseorang terlihat sibuk memandangi delima yang tumbuh di pot. Kucoba meraih punggung perempuan yang kuyakin sudah melewati usia setengah abad, setidaknya aku ingin tahu di mana aku berada. Ia berbalik, melempar senyum lalu memelukku dengan hangat. Aku melepas paksa tangan yang sudah mulai keriput, tidak kukenali dia siapa.

“Apa kau tidak merindukanku? Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Aku sudah bisa membelikanmu boneka kelinci, terimalah!” suruhnya sambil menyodor paksa sebuah boneka putih yang kira-kira berukuran 30 senti. Aku ketakutan dalam rasa bingung yang berkelimpangan.  Pemberiannya kutolak mentah-mentah. “Gracia tidak ingat?”

Siapa yang dimaksud perempuan itu dengan Gracia? Aku celingak-celinguk untuk meminta bantuan, tapi hanya ada dia seorang.

“Aku Nesta, bukan Gracia!!” Aku memberi jarak di antara kami, tapi ia terus mendekatiku sambil memaksa aku menerima boneka. “Sana! Jangan dekat-dekat, aku tidak mengenalmu!” Tangannya mencengkeram lenganku kuat. “LEPAS…!!” Aku  berteriak dengan suara panik. Suasana berubah gelap dan kalut. Seluruh pot-pot delima ikut mengejarku, semua meminta aku berbalik, mereka tidak ingin aku pergi walau sedetik.

Nest… Nest… bangun!” Aku terbangun kala mendengar suara Gema yang terasa dekat, syukurlah ini hanya mimpi belaka. Gema yang masih menggulung rambutnya dengan handuk, beranjak ke meja dan mengambil segelas air. Kuteguk dengan terburu-buru, sampai benturan gelas dan gigi menghasilkan bunyi.

Rasanya kosong dan tidak dihiraukan oleh siapapun. Lebih-lebih lagi arah pandang terasa diuji. Seakan ada jawaban namun tidak ada penjelasan, seakan ada harapan namun jalan menunjukkan kebuntuan. Hanya ada kegelapan yang kelam kabut, tidak ada cahaya yang kutemukan. Tidak ada warna, tidak ada rasa, hanya kekalutan yang ditembus oleh ribuan kunang-kunang yang memancarkan sinar.

Pelan-pelan Nest, kau mimpi apa sih? Sampai wajah pucat gitu, keringat dingin di seluruh tubuh,” tanya Gema sembari mengusap lembut pundakku.

Gema membantuku memegang gelas yang sedari tadi gemetar oleh tangan. Aku masih ngos-ngos karena takut yang luar biasa. Perempuan itu tidak menyeramkan, tapi pemaksaannya membuat aku ingin hilang. Situasi yang berubah gelap membuat aku semakin tidak mengerti, delima yang berbicara membuat aku ingin kabur sejauh mungkin.

Huhft… ada ibu-ibu yang manggil aku Gracia, terus dia narik tanganku untuk tinggal bersama.” Aku memutuskan tidak menyampaikan secara detail. Ini hanya bunga tidur yang tidak ada kaitannya dengan realita.

Sudah, itu hanya bunga tidur! Sekarang Nesta mandi biar kita enggak telat ke kampus,” suruh Gema setelah memberikan handuk yang di ambil dari lemari.

Siska mana?” Aku bertanya karena tidak mendapatinya di salah satu sudut kamar.

“Di dapur, biasa cari perhatian sama Mamah dan Kakak. Jadi, mereka sekarang lagi menyiapkan sarapan untuk tuan putri, alias kita berdua. Udah sana!” pinta Gema. Aku sempat tertawa untuk mengisyaratkan semua sudah baik-baik saja.

Di dalam tertawa pun hati dapat merana dan kesukaan dapat berakhir dengan kedukaan. Orang yang sangat bahagia ialah mereka yang telah melewati kesakitan, namun yang paling bahagia mereka yang belum hadir untuk berjuang dalam kesakitan.

Aku menjadi semakin rindu pada perempuan tua itu. Seperti apa keadaannya saat ini? Sudah 13 tahun berlalu, tapi kami tak kunjung bertemu. Mamah, katakan padaku mengenai perempuan tua itu! Rindu ini semakin menyiksa rongga dada.


LANJUT CHAPTER 21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Natal Berantai judul "Indahnya Natal di Hatiku"

Putih yang menyamar hitam-Chapter1

KehendakMu Baik-Evi Zai (Lirik lagu + motivasi rohani)